Jumat, 05 September 2008


Konferensi Internasional Budaya Sunda
The International Conference on Sundanese CultureGedung Merdeka, Bandung - Indonesia22-25 Agustus 2001


TRADISI KELISANAN PADA ANAK-ANAK
TRADISI YANG TERPINGGIRKAN

Oleh: Taufik Ampera

I. Pendahuluan

Bila kita menyadari bahwa anak-anak merupakan bagian kehidupan kita, dan menganggap mereka sebagai pewaris kebudayaan, maka kita harus memahami pentingnya pewarisan kebudayaan itu bagi anak-anak sebagai generasi penerus yang memiliki tugas sebagai pelestari dan pemelihara tradisi.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kian maraknya teks kompetitor semacam animasi (film kartun), yang sekarang ini sudah terbangun sebagai suatu kekuatan yang kokoh, suatu rezim yang besar dan tangguh telah menggeser tradisi yang pernah berakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Sunda. Pudarnya sakralisasi dan romantisme tradisi kelisanan pada anak-anak telah membuat berbagai pihak merasa prihatin. Orang tua dituding sebagai pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai pemelihara kebudayaan, karena terlalu sibuk dengan berbagai urusan mereka sendiri. Sekolah dituding sebagai lembaga yang tidak bisa menjaga kelestarian budaya, tidak menyediakan waktu untuk kegiatan ritual dalam pemeliharaan tradisi. Maraknya komik dan science fiction, dengan tipuan-tipuan yang tidak masuk akal dituding pula telah merampas pesona tradisi kelisanan pada anak-anak. Televisi yang menayangkan berbagai hiburan merupakan media yang paling banyak menanggung hujatan dan cacian, karena dianggap telah mengalihkan perhatian anak-anak dari tradisinya. Alhasil, anak-anak tidak lagi mengenal tradisi yang pernah akrab dan menjadi andalan bagi generasi sebelumnya.

Bila tudingan-tudingan itu terus berlangsung dan terbukti kebenarannnya, dengan tanpa ada upaya untuk pelestraian tradisi, maka anak-anak akan kehilangan warisan yang berharga dan akan terjadi pula terputusnya mata rantai tradisi. Hal itu sangat disayangkan karena anak-anak tidak akan pernah memetik nilai-nilai adiluhung sebagaimana yang telah didapatkan oleh para orang tuanya, yang tidak sempat diwariskannya kembali kepada anak-anaknya.

II. Tradisi Kelisanan pada Anak-anak

Dalam kehidupannya, anak-anak pun mengenal tradisi bersastra, di dalam kehidupan mereka terdapat sastra yang khas, yaitu sastra anak. Secara sederhana sastra anak sering didefinisikan sebagai genre sastra yang diciptakan untuk konsumsi anak-anak. Oleh karena itu, sastra anak juga sering disebut sebagai cerita anak atau bacaan anak kalau muncul dalam bentuk tertulis.

Banyak hal membuat sastra anak sebagai sebuah teks yang khas, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan sastra (bacaan) untuk orang dewasa. Audience sastra anak adalah makhluk khusus, mereka tidak boleh dipandang sebagai audience inferior, karena mereka memiliki kecerdasannya sendiri.

Masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang memiliki kekayaan budaya, banyak menyimpan warisan budaya, diantaranya seni mendongeng pada anak-anak. Mendongeng merupakan salah satu tradisi lisan yang pada masa lalu merupakan bentuk hiburan yang sangat populer dan digemari oleh anak-anak. Pada waktu tradisi itu masih hidup dan berakar pada masyarakat pendukungnya, anak-anak sangat perhatian mendengarkan dongeng yang padat pitutur. Dalam tradisi kelisanan di masyarakat, dongeng disampaikan secara lisan oleh seorang penutur cerita kepada yang lainnya. Dongeng merupakan genre sastra tradisional. Sebagai sastra tradisional, dongeng tentunya memiliki ciri-ciri khas atau ciri-ciri kelisanan yang membedakannya dengan bentuk lain. Ciri khas dongeng diantaranya adalah menceritakan secara lisan cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh.

III. Pergeseran Tradisi

Sebelum dunia percetakan maju pesat seperti sekarang ini, anak-anak berada dalam tradisi kelisanan yang kuat. Banyak cerita atau dongeng didengarkannya secara lisan, melalui penutur cerita atau orang tua. Bahkan dulu pada saat tradisi kelisanan hidup dalam lingkungan masyarakat pendukungnya dikenal banyak penutur cerita atau pelipur lara. Namun, pada saat ini kita akan mengalami kesulitan, manakala kita mencari penutur cerita yang benar-benar memiliki kemampuan bercerita dengan baik dan memiliki perbendaharaan cerita yang banyak pula.

Berkurangnya jumlah penutur cerita dijelaskan oleh Yus Rusyana (1981: 48). Karena terjadi perubahan dalam kebutuhan dan kesempatan menuturkan cerita sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam masyarakat Sunda, maka berkuranglah jumlah penutur dan keterampilannya menuturkan cerita. Penutur yang sangat cepat berkurang dan karena itu jika tidak diselamatkan mungkin punah adalah jenis penutur yang berkeahlian yaitu juru pantun. Hal itu terbukti pada waktu diadakan proyek perekaman cerita pantun, sangat sulit diperoleh juru pantun, seperti dikemukakan oleh Ajip Rosidi.

Lebih lanjut Yus Rusyana menjelaskan bahwa berkurangnya jumlah penutur dan keterampilannya sesungguhnya terjadi juga dengan penutur cerita bukan juru cerita, yaitu orang yang mengenal cerita dan dapat menceritakannya kepada orang lain. Pada tahun 1975 – 1976 saya mengumpulkan cerita dari beberapa desa di kabupaten Bandung. Ternyata sulit mendapatkan orang yang mampu bercerita dengan baik. Para penutur yang saya jumpai berumur 45 –78 tahun, sebagian besar berumur di atas 60 tahun. Mereka itu oleh masyarakatnya dianggap sebagai orang tua yang mengetahui keadaan kampung halamannya di masa lalu. Para penutur itu banyak yang mengatakan bahwa ia sudah lupa akan beberapa cerita yang menurut pengakuannya dahulu pernah didengarnya. Para penutur itu menerima cerita umumnya pada waktu berumur antara lima tahun sampai belasan tahun (1981: 48).

Pergeseran tradisi telah terjadi secara berangsur-angsur, tradisi yang bersifat oral telah bergeser ke arah tradisi tulis. Kesempatan bercerita pun turut bergeser pula. Orang tua sebagai juru cerita amatir, yang paling dekat dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan anak-anaknya, kehilangan kedudukannya yang sentral dan strategis dalam memelihara tradisi kelisanan. Pada masa tradisi kelisanan yang masih kuat, orang tua dengan senang hati mendongeng kepada anak-anaknya. Dongeng merupakan hiburan yang mengasyikan bagi anak-anak menjelang tidur. Namun untuk saat ini tidak sedikit orang tua yang merasa terganggu manakala dimintai anaknya untuk mendongeng. Kesibukan orang tua telah mengalihkan peranan dan tugasnya sebagai pemelihara budaya pada media lain.

Berkurangnya penutur cerita yang baik dan bergantinya kebiasaan mendongeng yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya menyebabkan hilangnya figur pencerita di hadapan anak-anak. Hal ini mengakibatkan pula terkikisnya fungsi sosial seperti yang dikandung dalam tradisi kelisanan. Dalam tradisi lisan, antara penutur cerita dengan audience akan terjalin komunikasi lisan, baik dengan sesama audience maupun dengan penutur cerita yang hadir di hadapannya. Berbeda dengan tradisi tulis, ketika anak-anak membaca buku cerita tidak akan terjadi komunikasi lisan. Orang tua yang dulu berperan sebagai penutur cerita amatir bagi anak-anaknya, kini menjadi marginal man sebab dalam tradisi kelisanan, yang ada adalah rasa kebersamaan. Rasa ini tidak lagi tercipta pada tradisi tulis (Sugihastuti, 1996: 7).

Di samping terkikisnya fungsi sosial, ada hal lain yang hilang dengan adanya pergeseran tradisi itu, yaitu hilangnya stilized tertentu yang tidak ada dalam tradisi tulisan. Dalam tradisi lisan, cerita sangat kental dengan pola-pola yang formulaik, yang skematis, dan mnemonic patterned. Pola-pola itu tidak akan ditemukan dalam tradisi tulis. Demikian pula dengan ciri-ciri khusus yang berupa oral stylized form yang sangat kental dalam tradisi lisan, tidak akan ditemukan pula dalam tradisi tulis. Kelompok kata seperti, kocapkeun di hiji nagara (tersebutlah di suatu kerajaan) atau jaman baheula kacaturkeun (zaman dahulu tersebutlah), yang merupakan kata-kata yang menandai sebagai ciri cerita yang didongengkan, tidak akan ditemukan pula pada cerita-cerita yang lahir pada masa sekarang.

Tergesernya tradisi lisan melahirkan kebiasaan baru pada anak-anak. Kebiasaan baru tersebut akan membawa dampak yang baik, bila anak-anak gemar membaca buku-buku cerita, namun pada kenyataannya tradisi baca pada anak-anak belum menyebar kuat. Selama ini kita masih sering mendengar, minat siswa membaca karya sastra sangat kecil antara lain disebabkan faktor pendidikan yang belum meluas dan merata serta kurangnya daya beli buku-buku cerita. Akibatnya anak-anak akan kehilangan "dunianya" yaitu dunia bersastra yang mentradisi. Menanggapi kenyataan tersebut Sugihastuti mengatakan bahwa tradisi kelisanan sudah menjauh dari mereka, namun tradisi tulis belum terjangkau. Jadinya, mereka berada dalam ambang keduanya (1996: 7). Pada akhirnya anak-anak akan terperangkap pada budaya lain yaitu budaya tontonan yang semakin hari semakin menjanjikan berbagai hiburan dan semakin nikmat disaksikan.

Dalam budaya tontonan peran penutur cerita sangat jauh bergeser bahkan hilang sama sekali. Televisi telah menggantikan tugas dan peran sebagai penghibur yang sangat akrab dan mudah diterima oleh anak-anak. Film kartun dan film robot telah merebut perhatian anak-anak. Anak-anak sanggup duduk berlama-lama di depan layar kaca untuk menyaksikan tokoh-tokoh idolanya, seperti Doraemon dengan berbagai alat ajaibnya, Dragon Ball dengan konflik-konflik yang dipicu oleh perebutan alat sakti, Power Rangers dengan kesatria-kesatria yang tangguh, dan Crayon Shinchan dengan kenakalan dan kekonyolannya yang melebihi anak-anak seusianya, sehingga sering membuat masalah pada orang-orang di sekitarnya termasuk keluarga, guru, dan teman-temannya. Film-film tersebut merupakan film-film barat yang sangat dinamis, yang banyak menyajikan imajinasi menarik dan perangkat yang serba canggih. Dengan suguhan tersebut anak-anak merasa senang dan puas sehingga merasa tidak perlu lagi adanya tradisi mendongeng, Begitu pula dengan orang tua, tidak perlu bersusah payah lagi bertutur saat meninabobokan anaknya. Dongeng Si Kancil tidak perlu lagi didongengkan, orang tua tinggal memutar VCD Petualangan Si Kancil, anak-anak akan senang hati menyaksikannya.

Berkaitan dengan kehadiran televisi di tengah anak-anak sebagai media hiburan, di bawah ini akan dikemukakan hasil penelitian Arini Hidayati mengenai beberapa acara yang paling disukai anak. Berdasarkan jenis acara, anak-anak lebih menyukai acara film jenis kartun. Kecenderungan ini sebanding dengan motivasi anak yang kebanyakan menggunakan televisi sebagai media hiburan, dan mereka mendapatkannya lewat televisi.

Satu lagi yang sulit diabaikan, adalah adanya kecenderungan anak-anak yang tergila-gila terhadap tayangan cerita-cerita untuk orang dewasa yang ditayangkan di Televisi yang digarap dengan memukau, seperti Misteri Gunung Merapi dengan Mak Lampir-nya dan Dendam Nyi Pelet dengan penampilan tokohnya yang cantik dan seksi.

Kehadiran televisi bagi anak-anak selain bisa dijadikan sebagai alat hiburan, juga sebagai salah satu teman yang setia ketika anak merasa kesepian atau manakala anak tidak punya kegiatan. Berkaitan dengan hal ini, penelitian Grennberg (via Hidayati, 1998: 76) mengungkapkan adanya delapan motif kenapa anak menonton televisi, yaitu: untuk mengisi waktu, melupakan kesulitan, mempelajari sesuatu, mempelajari diri, memberikan rangsangan, bersantai, mencari persahabatan dan sekedar kebiasaan. Jadi, tidak selamanya, tapi lebih cenderung dalam rangka "pencarian kepada sesuatu yang menyenangkan.

Adanya motif pada anak mengapa menonton televisi ini, dapat dijadikan dasar, bahwa anak telah menentukan salah satu pilihannya yang paling disenangi. Dan anak puas dengan pilihan ini. Hal inilah yang menjadikan televisi populer di mata anak-anak, bahkan sampai sekarang ini, anak belum menemukan sesuatu yang dianggap cukup memuaskan selain televisi. Dari televisi, anak bisa menemukan banyak hal seperti musik, drama, film, kuis, berita, dan acara-acara lainnya (Hidayati, 1998: 76).

Lebih lanjut Hidayati menjelaskan bahwa kepopuleran televisi dikarenakan oleh kesederhanaannya dalam menyampaikan pesan, sehingga anak dengan mudah dapat memanfaatkan dan menerima pesan tersebut. Kemudahan itu ditunjang dengan sifatnya yang audio-visual (pandang-dengar), sehingga informasi atau data yang disampaikan menjadi sangat mudah diterima dan dicerna oleh pemirsa, bahkan oleh anak-anak kecil sekalipun. Televisi lebih banyak menyita perhatian anak dibanding aneka bentuk permainan lain. Di samping faktor tersebut, media televisi tidak membatasi pemirsanya dengan tingkatan pendidikan atau usia tertentu (1998: 76-77).

Tingkat kepopuleran televisi bagi masing-masing anak akan berbeda. Artinya, daya tarik televisi tidak akan sama pada setriap anak, dan biasanya sesuai tingkatan usia. Dari hasil penelitiannya, Hurlock (via Hidayati, 1998: 77) mengambil kesimpulan bahwa anak usia pra-sekolah lebih menyukai dramatisasi yang melibatkan hewan dan orang yang dikenal, musik, kartun dan komedi sederhana. Anak kelas satu dan dua biasanya menyukai pertunjukan boneka, film koboy, misteri, humor, suasana kehidupan keluarga dan acara kuis berhadiah. Anak kelas tiga dan empat biasanya menyukai acara yang imajinatif seperti tentang roket dan kendaraan ruang angkasa, show, cerita misteri, detektif, drama dan musik. Sedangkan anak kelas lima dan enam lebih cenderung pada acara yang bersifat ilmu pengetahuan dan hasta karya, termasuk juga menyenangi acara yang imajinatif dan film-film.

Kehadiran televisi di tengah-tengah kehidupan anak-anak akan membawa pengaruh. Tentu saja tergantung kita mengartikan pengaruh tersebut, jika pengaruh tersebut ditanggapi sebagai hal positif, bisa saja. Pada akhirnya, semua memang kembali kepada anak, lingkungan dan peran orang tua. Di samping itu bahwa masing-masing media, seperti televisi, radio, dan buku mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Dalam menyikapi masalah tersebut, yang penting kita harus bijak, artinya kita harus mengambil sikap agar berbagai media itu bermanfaat bagi perkembangan anak. Kalaupun ada kelemahannya, maka kita harus mampu mengatasi kelemahan itu dan berusaha mencari penyelesaian dari permasalahan yang ada.
IV. Manfaat yang Dapat Diambil dari Tradisi yang Terpinggirkan

Tradisi kelisanan yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya, bila dibiarkan pada kedudukannya sebagai tradisi yang terpinggirkan, lambat laun akan punah ditelan arus perkembangan zaman yang semakin hari semakin pesat. Sangat disayangkan bila generasi mendatang tidak akan menerima warisan budaya yang adiluhung itu. Bila kita bersikap bijak dan teliti kembali tradisi itu, maka kita akan kembali menemukan pesona yang dipancarkannya, nilai-nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya masih sesuai dengan kehidupan masa kini.

Banyak aspek yang dapat diangkat, diantranya melalui kajian cerita. Cerita yang hidup dalam tradisi kelisanan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan kecerdasan emosi anak.
Istilah kecerdasan emosi pada awalnya dikemukakan oleh dua orang psikolog, yaitu Peter Salovy (dari Harvard University) dan John Mayer (dari New Hampshire University), dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence: Why It Can Matter more than IQ (1995), yang kemudian menjadi best seller, termasuk di Indonesia dalam edisi terjemahannya tahun 1997, Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan. Selanjutnya, keterampilan tersebut terwujud dalam kemampuan untuk (1) mengenali emosi diri sendiri; (2) mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat; (3) memotivasi diri sendiri; (4) mengenali orang lain; (5) dan membina hubungan dengan orang lain (Salovey dan Mayer via Pertiwi, 1997).

Anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akam memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah dan tangtangan yang timbul selama proses perkembangan munuju manusia dewasa. Mereka bukanlah manusia yang mudah putus asa dan menyerah, sebab dengan keterampilan sosial dan kecerdasan emosinya, mereka dapat mengelola dan mengekspresikan emosinya dengan baik dan tepat, dapat da mengatasi tantangan yang dihadapinya, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dalam kehidupan anak memainkan peranan yang sangat penting, Sebab, seperti pernah disinyalir oleh Goleman (1977), kecerdasan intelektual hanya memiliki peran 20% terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seorang anak, sementara 80% lainnya ditentukan oleh faktor nasib dan kecerdasan emosinya.

Kecerdasan emosi, menurut Pertiwi, dkk (1997), bukanlah sesuatu yang dimiliki seorang anak secara alamiah atau bawaan, tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Adalah tugas para orang tua dan pendididik (guru-guru yang mengajar murid-muridnya pada setiap jenjang pendidikan) untuk mengajarkan dan mengembangkan kecerdasan emosi anak melalui berbagai upaya, diantaranya melalui tradisi mendongeng. Dongeng dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan kecerdasan emosi bagi anak-anak.
Kaitannya dengan manfaat sastra anak bagi perkembangan emosi anak, Bunanta (1998: 52) mengatakan bahwa sastra, misalnya cerita rakyat, mengajarkan pada anak bahwa manusia memiliki berbagai perasaan dan emosi, seperti rasa cinta, benci, marah, sedih dan gembira, dilahirkan dan mati. Di samping itu, lewat karya sastra yang merupakan dunia fantasi anak memandang dan memahami rasa takut, frustasi, berjuang melawan ketidakadilan dan kejahatan, serta menjadi penenangnya.

Manfaat cerita anak, khususnya dongeng bagi perkembangan psikologi (emosi) anak, pernah diteliti oleh Bruno Bettelheim, seorang psikiater anak. Pendapatnya didasarkan pada pengalamannya merawat anak-anak bermasalah. Bettelheim menyatakan bahwa tokoh-tokoh dalam dongeng merupakan tokoh-tokoh yang terisolasi, terbuang, dan terusir. Ada persamaan antara anak-anak bermasalah dengan tokoh-tokoh dalam dongeng. Anak-anak bermasalah tersebut memerlukan citra tokoh yang meskipun suatu saat dalam keadaan terisolasi dan terbuang, tetapi mampu mencapai kemenangan dan mendapat ganjaran yang bermanfaat bagi hidupnya. Selanjutnya Bettelheim mencatat bahwa dongeng telah memberikan rasa percaya diri dan mampu pada anak, juga memberikan pandangan hidup yang berkaitan dengan moralitas (Bunanta, 1998: 53).

Ketika kita membicarakan manfaat dongeng dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak, maka pertama-tama yang harus disadari adalah adanya bermacam-macam wilayah kehidupan yang digambarakan dalam dongeng, mulai dari hal-hal yang baik sampai hal-hal yang buruk. Karena itu, kita perlu mempertimbangkan dongeng (karya) yang perlu diberikan kepada anak, yang dari segi isi lebih memberi teladan yang positif bagi anak-anak. Sebab, kalau dicermati tidak semua dongeng , bahkan dongeng yang cukup populer, menunjukkan contoh perilaku manusia yang terpuji. Akibatnya, kesalahan pemilihan cerita, akan berakibat fatal. Apalagi, seperti yang sering diyakini sejumlah orang bahwa dongeng seringkali memiliki daya persuasif (pengaruh) yang sangat halus. Dalam hal ini Langfeldt (via Bunanta, 1998: 54) mengatakan bahwa untuk mengembangkan sifat kasih dan keberanian pada anak perlu dipilihlah cerita yang mempunyai nilai edukasi dan moral. Cerita seperti Sangkuriang versi Gerdi W. K. tampaknya tidak cocok untuk anak-anak dalam konteks pengembangan emosinya, karena memiliki nilai negatif yang dapat mengajari seorang anak untuk berbuat kasar terhadap ibunya. Hal tersebut ditunjukkan melalui dialog antara Sangkuriang dengan Dayang Sumbi, ibunya, berikut ini.

"Aku tak percaya semua omonganmu. Bahkan kalaupun kau benar ibuku,
aku tak peduli! Sama sekali tak peduli! Aku tetap akan mengawinimu"
"Sangkuriang, tidaak!"
"Kau boleh menjerit sekuat tenagamu, siapa yang mau dengar?"
"Sangkuriang tidak! Kau harus membuang pikiran itu. Dosa besar, Nak!"
"Apa artinya dosa? Aku tidak takut!"
"Anakku, Sangkuriang, sadarlah Nak!"
"Sadar? Tidak Aku lebih baik gila! Dalam kegilaan aku lebih bebas! Tak ada yang bisa mengaturku! Tidak juga kau! Dengar, bagaimanapun dan apapun yang telah terjadi, kau tetap akan kuperistri!"
"Oh, tidak!"
Dayang Sumbi mencoba lari.
"Tidak Sangkuriang, tidak!"
"Ha ha ha, tidak usah lari Dayang Sumbi!"
"Ini aku kakangmu! Ha ha ha ha ha ……"
"Tidak! Aku ibumu!"
"Ha ha ha, lupakan itu! Kini aku kakangmu!"
Sangkuriang menerkam Dayang Sumbi. Tapi keajaiban terjadi, Dayang Sumbi lenyap dari pandangan. Ia beralih rupa menjadi setangkai bunga (hlm. 123-126).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sangkuriang bermaksud memperistri Dayang Sumbi, yang sebenarnya adalah ibunya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Sangkuriang berniat melakukan incest dengan ibunya sendiri. Dayang Sumbi menolak keinginan Sangkuriang, anaknya, tetapi Sangkuriang tetap memaksakan kehendaknya, bahkan Sangkuriang berniat "menerkam" Dayang Sumbi. Namun ternyata terjadi keajaiban, Dayang Sumbi berubah menjadi setangkai bunga, niat Sangkuriang tidak dapat terwujud. Adegan yang melukiskan nafsu Sangkuriang untuk memperistri ibunya yang dilukiskan dengan "beringas", perlu ditinjau kembali kelayakan dan penyampaiannya apabila akan dijadikan bahan cerita untuk konsumsi anak-anak, karena dalam adegan tersebut lebih banyak nilai negatifnya, meskipun tentunya secara sastra ada hal lain dibalik pelukisan itu.

Dengan demikian, ketika kita akan memberikan cerita kepada anak-anak dalam upaya mengembangkan kecerdasan emosi anak, maka kita perlu melakukan beberapa pertimbangan. Pertama, pilih karya yang sesuai dengan dunia anak-anak, baik dari segi tokoh-tokohnya maupun isinya. Dengan karakteristik karya semacam ini anak lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang mereka temui dari karya yang mereka baca (dengar). Kedua, pilih karya yang menggambarkan kehidupan yang menyentuh wilayah kecerdasan emosi seperti kemampuan mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan tepat, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan yang baik dengan orang lain (Wiyatmi, 1999: 4-5).

Ringkasan cerita berikut ini, yang diambil dari Pangajaran Sastra Sunda ‘Pengajaran Sastra Sunda’ yang disusun oleh Budi Rahayu Tamsyah, dkk. (1996: 154-156), merupakan contoh yang menarik.

Tersebutlah ada seorang santri, telah bertahun-tahun menimba ilmu di pesatren, namun tidak ada kemajuan dalam pengetahuannya. Kitab-kitab yang diajarkan tak satupun yang dihapalnya. Padahal ia merupakan santri yang rajin dan patuh dalam mengikuti pelajaran yang diberikan ajengan. Karena merasa tidak ada perkembangan, maka ia bermaksud kembali ke kampungnya. Setelah mendapat izin dari ajengan, maka berangkatlah.
Di tengah perjalanan, ketika ia sedang istirahat dilihatnya air menetes menimpa batu. Sambil mengamati batu, ia berpikir "tetesan air yang terus-menerus menimpa batu akan meninggalkan bekas, tentunya itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun. Hanya karena tetesan air, batu yang demikian keras bisa berubah seperti itu."
Ia merenung dan memikirkan kejadian alam yang dilihatnya. Dalam hatinya ia berkata; "
Peristiwa ini pantas untuk dijadikan contoh; barang siapa yang ingin berhasil mewujudkan maksudnya harus tekun dan sabar. Karena itu, meskipun harus menanggung malu, lebih baik saya kembali lagi ke pesantren. Semoga saja berhasil apa yang dicita-citakan." (diringkas dari cerita Cikaracak Ninggang Batu, Laun-laun Jadi Legok).

Dari cerita tersebut, anak dapat mengetahui bagaimana terjadinya perubahan karakter. Tokoh santri yang tadinya patah semangat karena merasa tidak ada perkembangan meskipun telah lama belajar di pesatren, sehingga ia bertekad kembali ke kampunya, namun setelah melihat kejadian alam ketika ia beristirahat di tengah perjalanan, ia merasa sadar bahwa bila ingin berhasil, maka ia harus tekun dan sabar. Cerita tersebut dapat memberi contoh pada anak-anak untuk menjadi orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain. Di samping itu juga mengajari anak bagaimana pentingnya mengelola emosi dan merenungkan kejadian alam di sekitar kita yang tampaknya sepele tetapi sangat penting. Di sini anak juga dihadapkan pada persoalan bagaimana orang yang berbuat salah karena terbawa emosinya tidak malu untuk mengakui kekurangannya, bahkan berusaha untuk lebih giat lagi belajar.

V. Pelestarian Tradisi yang Berorientasi Masa Kini

Dengan memperhatikan manfaat yang dapat dipetik dari warisan budaya yang terpinggirkan, maka akan lebih mempertegas anggapan bahwa tidak selamanya yang bernuansa klasik dengan ciri ‘kemasalaluannya’ disisihkan dari kehidupan. Bahkan ternyata bila kita menggali kembali dengan bijak dan berlaku adil, akan ditemukan nilai-nilai masa lalu yang masih sesuai dengan kehidupan saat ini.

Pelestarian tradisi kelisanan pada anak-anak mutlak dilakukan, karena banyak segi positifnya yang dapat diambil dalam upaya pemberdayaan anak. Jalinan komunikasi antara anak dengan orang tua yang terkikis akibat berbagai kepentingan, dapat direkatkan kembali melalui tradisi mendongeng. Anak-anak kita layak didongengi. Mereka membutuhkan dongeng karena memerlukan pengalaman batin untk memperkaya emosinya. Pada saat mendengarkan dongeng, emosi anak selalu mengalami pergerakan yang dipengaruhi oleh tema dan masalah dalam dongeng. Ketika anak mendapatkan kisah-kisah yang lucu yang didukung oleh kelucuan pendongeng, maka anak akan merasa senang. Sebaliknya, ketika anak mendapatkan kisah-kisah yang sedih dan menakutkan, anak akan memperlihatkan perasaan yang ketakutan dan keadaan hati yang cemas.

Melalui tradisi mendongeng, kontak sosial akan terbina pula karena tradisi mendongeng mengedepankan arti penting perkembangan sosial anak. Adanya interaksi antara pendongeng dan pendengar akan membentuk proses sosialisasi sehingga anak akan mampu menjadi orang yang bermasyarakat. Agar tradisi mendongeng dapat membuka pola interaksi, maka ketika seorang penutur cerita setelah bercerita, anak diajak membahas cerita yang telah didengarnya. Ajak anak untuk menghayati kisah yang telah disampaikan hingga terjadi dialog. Kalau mungkin anak diharapkan menuturkan kembali kisahnya, disertai dengan komentarnya. Kemudian adakan pembicaraan tentang manfaat yang dapat dipetik dari cerita itu. Di sinilah peran orang tua dan guru diharapkan mampu membimbing anak dalam melestarikan tradisi mendongeng.

Tradisi mendongeng di sekolah perlu dihidupkan kembali. Untuk itu porsi pengajaran sastra di sekolah-sekolah perlu ditambah dan ditempatkan secara khusus dalam wadah tersendiri. Bukan seperti yang berlaku saat ini, seperti dikatakan Boen S. Oemarjati, bahwa sastra diajarkan sebagai sambilan dalam pengajaran bahasa Indonesia, sastra diomprengkan pada pengajaran bahasa (Kedaulatan Rakyat, 17 Juni 2001: 7).

Apabila dongeng sebagai warisan budaya akan menjadi andalan dalam pelestarian tradisi kelisanan pada anak, maka harus ada ‘modifikasi’ terhadap dongeng misalnya dalam struktur, pembahasaan, dan pengkarakteran. Hal itu perlu dilakukan karena target audience telah berubah. Dekontruksi terhadap dongeng perlu dilakukan agar dongeng tidak semakin ditinggalkan anak-anak, tetapi mampu bersaing dengan derasnya teks pop dan keberadaan media massa televisi.

Kalau film-film yang ditayangkan media televisi telah mewarnai dalam segala ‘alat-alat kehidupan’ anak, seperti pada kaos, buku, sepatu, misalnya teletubbies yang saat ini menjadi idola anak dan merupakan label yang menggiurkan bagi pengusaha, mengapa tidak diangkat tokoh-tokoh dongeng dengan latar budaya dan latar tempatnya sebagai ornamen yang artistik pada barang-barang konsumen yang diminati anak.

Tentunya akan lebih baik bila kreator, mencoba banyak mengegelar karya-karyanya yang berakar pada tradisi kelisanan lewat media televisi, seperti yang telah dilakukan oleh Garin Nugroho. Lewat Anak Seribu Pulau, Garin merintis tayangan pesan multikultur. Dalam Pustaka Anak Nusantara, Garin mencoba memperluas pemahaman itu dengan memberi penekanan pada aspek budi pekerti yang menjadi bagian dari civil education. Langkah tersebut perlu diikuti oleh kreator lainnya dalam mengangkat berbagai tradisi yang hampir punah.

VI. PENUTUP

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan akan membawa dampak pada tradisi yang telah berakar pada masyarakat. Pergeseran atau bahkan musnahnya sebuah tradisi merupakan suatu proses yang alamiah. Kelangsungan suatu tradisi tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang turut mempengaruhi serta memberikan kontribusi ke arah mana dapat membentuk kelestariannya.

Mengasingkan tradisi dari kontemporer yang menjamah berbagai bidang termasuk tradisi kelisanan pada anak-anak merupakan usaha memenjarakan tradisi itu sendiri. Dalam persentuhan budaya, tradisi dan kontemporer bukanlah dua konsep nilai yang dikotomis, keduanya merupakan bagian dari satu dunia yang utuh, yang tidak terbagi dalam pengkotakan.
Sebelum kita kehilangan kekayaan yang kita miliki, maka lebih baik kita bersikap bijak sebab hidup tidak surut ke belakang dan tidak pula tertambat di masa lalu.

Kamis, 04 September 2008

STRATEGI PENJAGAAN DAN PEMULIHAN LINGKUNGAN: TAFSIR TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NUSANTARA*

Oleh: Taufik Ampera**

I. PENDAHULUAN
Dewasa ini masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan lingkungan hidup. Pesatnya pembangunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kearifan lingkungan yang selama ini menjadi pedoman dalam pengelolaan lingkungan telah mengalami pergeseran akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan persebaran nilai-nilai dan pranata sosial baru. Kearifan lokal cenderung diabaikan, baik oleh orang lain maupun pendukungnya.
Disaat lingkungan mulai hancur, berbagai pihak mulai sibuk mencari cara untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Diantaranya para pelaku di dunia pendidikan mulai
menyadari betapa pentingnya pendidikan lingkungan hidup menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah. Program tersebut tidak akan berarti apabila tidak berakar pada kearifan lokal. Karena betapapun sederhananya, setiap masyarakat akan mengembangkan sistem pengamanan diri dan lingkungannya, baik dengan mengembangkan sarana fisik atau pun organisasi sosial yang dapat menjamin rasa aman warganya. Masyarakat tradisional telah membuktikan bahwa dengan kearifan lokal, alam dapat terjaga kelestariannya.
Salah satu model kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan adalah terciptanya konsep hutan larangan pada beberapa kelompok masyarakat Nusantara. Konsep tersebut perlu dihayati dan ditafsirkan kembali agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipetik untuk kelangsungan hidup umat manusia.


II. KEARIFAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT NUSANTARA
2.1 Hutan Larangan sebagai Bentuk Kearifan Lokal
Bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, keberadaan hutan dengan seluruh potensi sumber alam yang terkandung di dalamnya, sangat penting bagi kelangsungan hidup komunitas masyarakat tersebut. Hutan memiliki fungsi: sebagai sumber makanan, minuman, obat-obatan, pemenuhan perlengkapan hidup, perlindungan dan kenyamanan, tempat aktualisasi diri, tempat ritual dan pranata kepercayaan, serta tempat mengembangkan kesetiakawanan sosial anggota masyarakat. Bahkan hutan berfungsi pula sebagai habitat warisan yang perlu dipertahankan. Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi kelangsungan hidup komunitas masyarakat yang hidup di sekitarnya, maka pada komunitas masyarakat tersebut terbentuk dan berkembanglah kearifan lokal yang ditujukan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Terbentuknya kearifan lokal tersebut sebagai hasil dari pola adaptasi atau bentuk-bentuk hubungan yang dikembangkan masyarakat dengan lingkungan hidupnya. Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakatnya sebagai landasan pengolahan dan pengelolaan lingkungan,
Di antara kearifan lokal yang dihasilkan dari pengalaman adaptasi masyarakat dengan lingkungannya adalah konsep "hutan larangan". Konsep tersebut merupakan pandangan yang bersumber pada pengetahuan masyarakat (traditional knowledge) dalam upaya pengelolaan lingkungan secara tradisional. Melalui konsep hutan larangan, masyarakat menerapkan norma pengendali sikap dan perilaku hidup dalam pengelolaan hutan dengan cara melakukan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian hutan.
Dibalik keragaman budaya masyarakat Nusantara terdapat kesamaan pemahaman masyarakat terhadap konsep hutan larangan yang dikembangkan dari lingkungan kebudayaan setempat. Masyarakat Talang Mamak Propinsi Riau mengenal hutan larangan dengan sebutan "rimba puaka”, masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mengenal hutan larangan dengan sebutan "pahewan", dan masyarakat Sunda di Propinsi Jawa Barat dan Banten mengenal "leuweung larangan". Konsep hutan larangan yang berkembang di setiap suku bangsa itu dihayati oleh pendukungnya sebagai acuan bersikap dan bertindak dalam menentukan pengelolaan hutan dan lingkungannya.
Konsep hutan larangan pada Masyarakat Talang Mamak sangat erat kaitannya dengan pola pertanian sistem berladang berpindah-pindah tempat yang mereka sebut ladang beringsut. Tempat berladang umumnya di sisi sungai dengan luas kurang lebih dua hektar. Perpindahan perladangan masyarakat Talang Mamak biasanya tiga sampai empat kali. Perpindahan dilakukan dengan cara berpindah tempat garapan dari yang sudah digarap ke arah aliran sungai. Luas lahan yang dibuka selama tinggal di permukiman kurang lebih enam sampai delapan bidang atau dua belas sampai enam belas hektar. Mereka tinggal di wilayah itu kurang lebih enam sampai delapan tahun. Ladang yang mereka buka ditanami dengan padi yang diselingi dengan tanaman lainnya. Waktu penanaman dilakukan secara berurutan, seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang dan terakhir karet yang semuanya ditanam pada lahan yang sama. Dengan demikian, lahan yang telah ditinggalkan akan ditumbuhi dengan pohon karet yang bermanfaat secara ekonomi.
Sistem berladang yang dilakukan oleh masyarakat Talang Mamak akan berhubungan dengan proses pembukaan hutan dengan didahului upacara ritual yang bertujuan untuk menetralisir lahan tersebut dari tempat keramat menjadi lahan yang profan. Pada acara itu, semua peralatan, seperti beliung dan parang yang akan digunakan dikumpulkan dan ditempatkan di tengah-tengah tempat berlangsungnya upacara. Upacara ritual tersebut dipimpin oleh seorang dukun yang disebut “kumantan”. Setelah dilakukan upacara ritual, dilanjutkan dengan pembukaan hutan untuk lahan perladangan dimulai dengan menebas yang dikerjakan secara gotong-royong. Kemudian dikeringkan dan akhirnya dibakar. Penanaman dilakukan setelah turun hujan yang tujuannya agar debu hasil pembakaran meresap ke dalam tanah sehingga tanah menjadi gembur dan tanaman tumbuh subur.
Masyarakat Talang Mamak membagi hutan berdasarkan kondisi hayati dan fungsinya. Hutan dikelompokkan mejadi hutan belukar, perimban (perimbaan), “rimba, puaka” (hutan larangan) dan “puhun” (hutan lindung). Hutan yang tergolong “puaka” dan “puhun” tidak boleh diganggu (Purba, 2003: 109). Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, hutan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat Dayak membuka hutan untuk digunakan lahan perladangan. Pembukaan hutan sebagai lahan perladangan berada di daerah pedalaman yang tidak mengalami pasang surut dan dilakukan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena kesuburan tanah ladang sudah habis. Hutan yang ditebang setelah dua minggu mengering kemudian dibakar, abunya serta humus yang berada pada bagian lapis teratas merupakan pupuk bagi tanaman padi. Keadaan seperti ini berlaku hanya satu kali tanam. Bekas ladang tersebut ditinggalkan penggarapnya dan dibabat kembali hutan lainnya sebagai perladangan. Jika selesai ditanam serta dipanen hasilnya lahan itu ditinggalkan pula. Demikian dilakukan sekitar tujuh sampai sepuluh tahun untuk kemudian kembali ke areal semula sebagai suatu siklus.
Masyarakat Dayak menganggap hutan sebagai milik mereka secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Hutan yang tidak bertuan boleh digarap siapa saja. Namun, ada aturan tidak tertulis yang melarang seseorang untuk menggarap bekas ladang (bahu) orang lain.
Bagi masyarakat Dayak, tidak semua petak hutan boleh dibabat. Terdapat hutan-hutan yang dibiarkan tetap seperti semula. Hutan-hutan seperti itu dikenal dengan sebutan “pahewan” Menurut Nahan (Purba, 2003: 215-216) pada masyarakat Dayak setidaknya dikenal terdapat dua belas kawasan hutan larangan atau “pahewan” yang masing-masing memiliki lebih dari seratus hektar.
1. Pahewan Huluk, berlokasi di Desa Bawan, Kabupaten Kapuas.
2. Pahewan Danau Lupun, berlokasi di Desa Pandewai, Kabupaten Kapuas.
3. Pahewan Bukit Alu, berlokasi di Desa Sungai Antai,Kabupaten Kapuas.
4. Pahewan Puruk Awai, berlokasi di Desa Dandang, Kabupaten Kapuas.
5. Pahewan Puruk Luap, berlokasi di Desa Tumbang Masukih, Kabupaten Kapuas.
6. Pahewan Sepan Lawang Bulan, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
7. Pahewan Sepan Da'i, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
8. Pahewan Datah Atap, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
9. Pahewan Puruk Panukan, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
10. Pahewan Puruk Pananda, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
11. Pahewan Nap Landing,berlokasi di Desa Samba Kahayan, Kabupaten Kotawaringin Timur.
12. Pahewan Batu Sibung,berlokasi di Desa Batuah, Kabupaten Barito Selatan.


Di samping pada kedua kelompok masyarakat tersebut, konsep hutan larangan dikenal pula pada masyarakat Sunda seperti pada kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, masyarakat kampung Kuta, dan masyarakat Kampung Dukuh. Kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan mendiami wilayah Taman Nasional Gunung Halimun, di Desa Sirna Rasa, Kabupaten Sukabumi. Dalam mengelola sumber daya alam masyarakat Sirna Rasa terikat kuat dengan adat dan tradisi yang masih berlaku melalui lembaga adat yang ada. Lembaga adat tersebut masih sangat kental dan mantap dengan pemimpin agama dan adat yang dikenal dengan Abah Anom. Religi masyarakat Banten Selatan khususnya kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan adalah bentuk penggabungan (sinkretisme) antara agama yang dianut (Islam) dengan penghormatan roh nenek moyang. Hal tersebut dibuktikan dengan pelaksanaan sholat mapun puasa di bulan Ramadhan yang dilaksanakan menurut ajaran Islam. Namun, pada kesempatan lain kelompok masyarakat tersebut pun melakukan penghormatan kepada ruh nenek moyang seperti bersemedi di makam leluhur dan penghormatan terhadap "Dewi Padi" dengan berbagai ritual.
Menurut Fournawaty, kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan percaya bahwa mereka merupakan keturunan yang bersumber dari "pancer pangawinan". Dalam bahasa Sunda “pancer” berarti “lulugu”, yaitu asal usul atau sumber. “Pangawinan” berasal dari kata “kawin” yang berarti menikah (bersatu). "Pancer pangawinan" merupakan barisan pengawinan yang berarti pasukan khusus kerajaan Sunda yang bersenjatakan tombak. Kepercayaan terhadap asal-usul keturunan itu, diwujudkan dalam bentuk adat kebiasaan pada setiap acara adat. Pada acara tersebut dilakukan “helaran” (arak-arakan keliling kampong) dengan menempatkan barisan pembawa tombak. Acara “helaran” dilaksanakan dengan maksud untuk mengusir roh jahat yang mungkin akan mengganggu pelaksanaan upacara. Kebiasaan melibatkan barisan pembawa tombak dalam berbagai acara adat merupakan bentuk pengakuan masyarakat Kasepuhan terhadap asal-usul keturunannya, mereka merasa yakin sebagai keturunan “Pancer Pangawinan” (Purba, 2003: 759).
Di samping itu, Fournawaty menjelaskan bahwa “pangawinan” oleh masyarakat Kasepuhan diartikan pula sebagai "kawin’ yang tidak saja memiliki arti mempertemukan antara dua jenis berbeda, melainkan juga mengawinkan atau mempersatukan dunia nyata dengan dunia gaib, mempersatukan Dewi Sri (Dewi Padi) dengan tanah, mempersatukan langit dengan bumi. Keyakinan tersebut, dipertegas lagi dengan penghayatan terhadap "wangsit" sebagai suatu doktrin yang dianut yang berbunyi; "Sing saha nu bisa ngawinkeun langi tjeung bumi, manusa jeung kamanusaanana eta nu disebut pancer pangawinan" artinya Barangsiapa yang mampu mengawinkan bumi dengan langit. manuia dengan kemanusiaannya itulah namanya “pancer pangawinan” (Purba, 2003: 759-760).
Dalam upaya melaksanakan "wangsit" tersebut, masyarakat Kasepuhan mengembangkan suatu ajaran dasar pembinaan roh yang disebut “ngaji diri” yang dapat diartikan sebagai mawas diri atau memahami diri sendiri. Mawas diri dilakukan sebagai upaya melawan sifat buruk dalam diri manusia agar manusia terhindar dari jalan yang bertentangan dengan ketentuan para leluhur. Pelaksanaan mawas diri diperlihatkan dalam bentuk upacara ritual berupa semedi atau “nyepi”, yaitu pelaksanaan upacara untuk mencapai ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan sosial di dunia serta sebagai bekal kehidupan di akhirat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kepercayaan tersebut, menurut pandangan masyarakat Kasepuhan, manusia diharuskan berucap dan berbuat baik tidak bertentangan satu sama lain. Perilaku tersebut tercermin dalam setiap aktivitas yang selalu didahului dengan ucapan berupa “doa amit”. Misalnya ketika mereka akan membuka ladang atau menanam padi di sawah, para pemimpin adat bersama pembantunya melakukan ziarah ke kuburan leluhurnya. Di hadapan pusara para leluhur, pemimpin adat mengucapkan doa (doa amit). Makna yang terkandung dari doa yang diucapkan adalah agar setiap orang di kalangan warga Kasepuhan memahami tugas dan tanggung jawabnya sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman, tertib, dan harmonis sesuai dengan pandangan hidup yang mereka anut.
Masyarakat adat Kasepuhan Pancer Pangawinan menganut faham bahwa hasil sumber daya alam adalah pemberian dari Yang Maha Agung untuk umat manusia yang membutuhkan. Bila ada kelebihan, maka harus dikembali kepada Yang Maha Agung melalui upacara-upacara selamatan dan syukuran yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Faham tersebut merupakan bentuk pemahaman masyarakat kasepuhan terhadap lingkungan hidupnya. Masyarakat Kasepuhan hidup di pemukiman sekitar hutan lindung yang merupakan rangkaian Taman Nasional Gunung Halimun. Di dalamnya terdapat beraneka ragam tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Tetapi ada peraturan larangan (sesuai dengan peraturan Perum Perhutani) bahwa mereka tidak boleh sembarangan menebang pohon atau mengambil hasil hutan yang masih hidup, cukup mengambil pohon yang tumbang atau yang sudah mati. Menurut masyarakat Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Leuweung kolot atau leuweung geledegan, yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
Leuweung titipan atau hutan keramat. Hutan keramat adalah hutan yang tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari para leluhur yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat terdapat di kawasan Gunung Ciawitali dan Gunung Girang Cibareno.
Leuweung Sampalan atau leuweung bukaan., yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga kasepuhan. Pada lahan hutan ini, warga diperbolehkan membuka ladang, kebun, sawah, mengembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Hutan bukaan ini merupakan lahan bukaan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas lahan ladang ataupun sawah yang sudah dipanen kemudian di tanami dengan tanaman musiman dan pohon-pohon lainnya sehingga membentuk hutan buatan disebut “talon”.

Selain pada kelompok masyarakat Kasepuhan, masyarakat Kampung Kuta pun mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi "kuta" atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahutu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari. Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat. (Kusumah dalam Purba, 2003: 766-767).
Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka.
Di tatar Sunda konsep hutan larangan dikenal pula oleh kelompok masyarakat adat Kampung Dukuh. Kampung Dukuh termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Garut bagian Selatan. Menurut Indrawati (Purba, 2003: 774) asal-usul masyarakat Kampung Dukuh berhubungan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat warga Kampung Dukuh merupakan orang-orang yang melarikan diri karena tidak mau takluk pada Kerajaan Mataram. Versi cerita lainnya menyebutkan bahwa mereka adalah pelarian tentara Banten yang berada di sekitar Garut, tetapi tidak mau menjadi jajahan Kerajaan Mataram.
Sistem kepercayaan dan pengetahuan masyarakat Kampung Dukuh berkaitan erat dengan lingkungan, berpengaruh kuat terhadap mata pencaharian hidup mereka. Kepercayaan atau keyakinan itu diwujudkan dalam praktek-praktek larangan dan anjuran yang berpusat pada “pakuncen”, yaitu orang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan mengenai adat-istiadat dan tata karma dalam upacara serta segala bentuk peraturan yang berlaku. Kedudukan sebagai “pakuncen” diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak harus dalam satu garis lurus (dari ayah ke anak laki-lakinya). Bila tidak memiliki anak laki-laki, kedudukan sebagai “pakuncen” boleh dijabat oleh saudara laki-lakinya atau anak laki-laki dari saudara laki-lakinya itu.
Sebagai masyarakat agraris yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam, penduduk Kampung Dukuh masih menjalankan pertanian secara tradisional dan sangat akrab dengan lingkungan hidupnya. Tanah dan air bukan hanya dijadikan sebagai sumber kehidupan, melainkan juga dianggap sebagai sesuatu yang suci yang perlu dihormati. Bahkan beberapa unsur alam dianggap tabu untuk diganggu. Pemanfaatan sumber daya alam dibatasi dengan diberlakukannya beberapa tabu dan larangan, yang disebut dengan “larangan sasih”, Masyarakat kampung Dukuh dilarang memasuki kawasan atau wilayah hutan keramat, apalagi mengambil sesuatu dari dalamnya.

2.2 Sistem Kepercayaan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Masyarakat yang hidup di sekitar hutan larangan memiliki sistem kepercayaan terhadap makhluk halus. Peran makhluk halus dipercaya sebagai penunggu, penjaga, pemelihara, pengendali dan penguasa sumber daya alam. Karena itu pemanfaatan sumber daya alam sangat diupayakan agar tidak mengganggu kehidupan makhluk halus tersebut. Adanya kepercayaan tersebut dapat mengekalkan konsep pelestarian lingkungan hidup. Sistem kepercayaan yang berlaku di suatu kelompok masyarakat memiliki peran yang kuat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
Selain menganut sistem kepercayaan yang kuat, masyarakat yang hidup di sekitar hutan larangan memiliki pula kearifan tradisional berupa sistem etika lingkungan. Melalui etika lingkungan masyarakat mengetahui tempat-tempat yang dianggap sakral dan profan, hal-hal yang dianggap tabu dan ideal dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam. Untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan roh-roh halus, masyarakat memanfaatkan tempat-tempat yang dianggap sakral dan profan, memanfaatkan sumber daya alam yang tidak tabu dan sekaligus menghormati sumber daya alam yang dianggap tabu serta menghormati tempat-tempat yang dianggap keramat. Masyarakat meyakini bahwa semua jenis sumber daya alam seperti tanah, hutan, flora, fauna dan unsur-unsur alam lainnya, diyakini dan dikendalikan oleh roh-roh gaib tertentu. Karena itu, penggarap lahan tempat untuk berladang dalam melakukan kegiatan memilih lokasi, menebas dan menebang pohon, membakar, merawat tanaman hingga panen selalu berpedoman pada aturan-aturan yang mempunyai kearifan ekologis.
Masyarakat Talang Mamak Riau mempercayai berbagai roh yang menempati hutan-hutan dan tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker, Selain itu, mereka pun percaya terhadap roh nenek moyang yang dapat membantu dalam berbagai kesulitan, pengobatan, menangkal marabahaya yang dilakukan dengan upacara ritual yang dipimpin oleh dukun. Sebaliknya, roh tersebut dapat mendatangkan malapetaka kepada orang yang berbuat salah atau melanggar pantangan pada tempat-tempat keramat. Konsep hutan larangan yang dipercayai masyarakat memiliki hubungan kuat dengan kehadiran makhluk gaib telah lama dikenal pula oleh masyarakat Dayak. Kelangsungan hutan larangan didukung oleh kuatnya mitos tentang kawasan tersebut, serta keyakinan akan adanya makhluk halus penghuni hutan larangan yang memiliki kekuatan gaib serta dapat mengawasi tindakan manusia. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak hutan larangan dihuni oleh makhluk halus yang ganas dan agar tidak mengganggu kadang kala diberikan sesajian. Roh nenek moyang penghuni hutan larangan sengaja membuat takut manusia agar tidak sembarang menebang pohon. Bila ada yang melanggar pantangan, maka orang tersebut akan menderita sakit sampai meninggal.
Masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat pun memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan keyakinan terhadap makhluk gaib. Masyarakat Kampung Kuta meyakini di dalam hutan keramat tinggal makhluk-makhluk gaib yang menguasai serta mengendalikan seluruh wilayah kampung Kuta. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa makhluk-makhluk gaib itulah yang menetapkan aturan-aturan yang berupa tabu-tabu yang secara turun-temurun ditaati oleh semua orang termasuk Kuncen. Ketaatan terhadap tabu yang berlaku tersebut, didasarkan oleh rasa takut akan akibat yang harus ditanggung, jika melanggarnya. Di samping itu, pada masyarakat Kampung Dukuh berlaku pula larangan berkata kotor “sompra” dan berperilaku kasar ketika memasuki hutan keramat. Larangan yang berlaku pada masyarakat Kampung Kuta yang ditopang oleh sistem kepercayaan dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hutan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tabu atau “pamali” yang berlaku pada masyarakat Kampung Kuta secara tidak langsung mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Dukuh di Jawa Barat yang berhubungan dengan lingkungan dan keberadaan makhluk gaib diwujudkan dalam praktek-praktek larangan dan anjuran yang berpusat pada “pakuncen”. Masyarakat Kampung Dukuh percaya akan adanya roh-roh di sekeliling mereka, yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghancurkan atau sebaliknya membantu mereka. Roh-roh halus diyakini menempati pohon besar, mata air, ladang, sawah, dan hutan yang terdapat di sekitar permukiman penduduk. Dengan adanya sistem kepercayaan itu mengharuskan masyarakat setempat menjaga lingkungan hidup mereka. Pohon-pohon besar tempat bersemayam roh-roh tidak pernah diganggu. Mengganggu pohon-pohon besar sama saja membangkitkan kemarahan roh-roh yang dapat mendatangkan musibah. Oleh karena itu pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh, sehingga dapat tetap lestari. Sesungguhnya keberadaan pohon-pohon besar sangat penting bagi kehidupan dan keselamatan masyarakat Kampung Dukuh, mengingat wilayah permukiman mereka berbukit-bukit yang rawan tanah longsor. Bila saja sistem kepercayaan itu tidak dimiliki penduduk, sudah sejak lama wilayah itu tertimbun tanah. Oleh karenanya penduduk selalu menjaga pohon-pohon besar untuk menahan tanah agar tidak longsor.
Demikian pula halnya dengan mata air, sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kampung Dukuh. Untuk itu mata air dijaga keberadaannya agar tidak rusak atau hilang. Masyarakat Kampung Dukuh menyadari, kalau mata air tidak dijaga dengan baik akibatnya akan terjadi kekeringan. Setiap saat “pakuncen” selalu mengingatkan warga akan kemarahan roh-roh halus bila ada yang merusak lingkungan.
Berlakuknya sistem kepercayaan pada beberapa suku bangsa di Nusantara dapat mengingat perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Mac Kinnon (1990) dan Wilson (1991) mengungkapkan bahwa peranan kepercayaan lokal terutama yang berkaitan dengan dengan keberadaan makhluk-makhluk halus, sangat efektif bagi pelestarian lingkungan (sumber daya alam). Bahkan menurut Gray (1993) bagi masyarakat setempat atau penduduk asli, pengetahuan tentang lingkungan tergantung pada kontak dengan dunia roh halus yang memainkan peran penting dalam menjamin kelangsungan produksi madsyarakat, kebudayaan dan lingkungan.

III. SIMPULAN
Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat yang bermukim di sekitar hutan larangan melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan berpedoman pada aturan yang berlaku, yang bersumber pada kearifan lokal.
Melalaui pemahaman tentang konsep hutan larangan dapat ditemukan keuntungan dalam pengelolaan hutan. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana besar dan mengerahkan sejumlah jagawana. Namun, cukup memfasilitasi masyarakat lokal agar masyarakat dapat melakukan pengaturan sendiri. Dengan konsep hutan larangan, masyarakat akan ikut berperan dalam pengelolaan hutan, serta bertanggungjawab untuk melestarikannya.
Sistem kepercayaan dapat dijadikan sebagai pengikat perilaku dalam pengelolaan lingkungan. Sistem kepercayaan secara tidak langsung mengatur hubungan manusia dengan alam. Sistem kepercayaan yang berkembang secara turun-temurun menjadi penting artinya bagi pelestarian alam. Alam bagi manusia di samping bermakna simbolik juga bernilai sakral dan profan.
Untuk mengekalkan sistem kepercayaan peran pemuka adat sangat diperlukan, Pemuka adat di samping sebagai pemangku adat yang dipercaya masyarakat, juga sebagai mediator dengan para leluhur yang diyakini sebagai pemelihara dan pengendalikan lingkungan. dan dipelihara.


* Disampaikan pada Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia (SKIM-X) di UKM
* *Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad

PASANGGIRI NGADONGÉNG

Dina raraga miéling Kamerdékaan Bangsa Indonésia anu ka-63, Désa Rancaékek Wétan, Kacamatan Rancaékék, Kabupaten Bandung ngayakeun Pasanggiri Ngadongéng, nu lumangsung dina tanggal 8 Agustus 2008. Réana patandang dina éta pasanggiri aya 16 urang wawakil ti unggal RW nu aya di sabudeureun Désa Rancaékék Wétan. Satutasna girang pangajén ngabandungan, niténan, jeung ngalenyepan patandang pasanggiri kalayan daria dibarung tanggung jawab, saterusna ngajén sabudeureun basa, padika, jeung cangkeman dina ngadongéng, mutuskeun reujeung netepkeun patandang nu jadi pinunjul, nya éta nu jadi pinunjul ka hiji Ambu Éty Hamid wawakil ti RW.21 kalayan ngadongéng carita "Reungit sok disada kana ceuli". Ambu Éty kacida tapisna dina ngadongéng, réngkak polahna dina ngadongéng estu pikaresepeun. Yogasra jeung Fairuz anu merankeun incu Ambu ogé bisa neuleuman karakter kalayan daria. Tétéla pisan komunikatifna dina ngadongéng, onjoyna ti patandang nu lian salila Ambu ngadongéng dipirig ogé ku kacapi, nu ngacapina nya éta nonoman nu mikacinta kana kabudayaan Sunda nu katelah Agus Firman. Pinunjul ka dua, nya éta Ibu Imas wawakil ti RW.24, carita nu didongéngkeun nya éta "Sakadang Peucang". Dina ngadongéng Ibu Imas maké gaya teaterikal. Hanjakalna kurang apik dina bloking. Pinunjul ka tilu , nya éta Ibu Sumiyati wawakil ti RW.12, carita nu didongéngkeun nya éta "Sakadang Peucang".
Éta kagiatan lumangsung ku ayana gawé bareng jeung Program Studi Sastra Sunda Fakultas Sastra Unpad. Anu jadi girang pangajén dina éta kagiatan, nya éta Taufik Ampera, M. Hum, Mamat Ruhimat, S.S. jeung Samson CMS, S. Sos.

KUMPULAN SAJAK SUNDA PIKEUN BARUDAK

(1) BUDAK PAHATU LALIS

Dua budak pahatu lalis
adi lanceuk awéwé lalaki
kasarung di leuweung ganggong
adina ceurik ngalengis
mana jalan geusan balik.

Budak lalaki ngala kupa
leungeunna parigel metik
buah kupa dialungkeun
dipulungan ku adina.

Tina rungkun buni kacida
luar-léor oray sanca
gep ngegél awak adina
nu keur anteng murak kupa.

Jrut turun budak lalaki
ana rét ka sakuriling
Si Nyai ka mana geuning
reuwas kacida teuing.

Manuk Cukrik disada semu nalangsa
“Cukrik, cukrik turih ku pucuk eurih”
pucuk eurih bakal matih
Si Nyai bakal kapanggih.

Geberan ku hihid aing
hihid aing kabuyutan
mawa bayu kahuripan.

“Geber-geber hihid aing
hihid aing kabuyutan
titinggal nini awaking”.

Usik ngulisik raga tangtungan
paripurna hirup waras
ku saktina rasa asih.



(2) BUDAK SAKTI

Budak leutik bisa ngapung
jangjangna kulit salapis
hiberna di langit peuting
ludeung ngambah jomantara
disadana tingkoréak
karesepna bubuahan
nu amis semu kareueut

Budak leutik bisa ngapung
budak nu kacida sakti
nu kitu naon ngarana?



(3) NINI ANTÉH

Di langit bulan nembongan
cahayana hurung ngempur
ngadamaran alam dunya.

Di bulan Nini keur anteng
ngentrung ninun kaén poléng
awak Nini mani bongkok
balas terus baé ninun
meureun geus rebuan taun.

Di bulan Nini bumetah
dibaturan Candramawat
buluna nu tilu warna
watekna matak diasih.


(4) SAMAGAHA

Bulan di langit ngaleungit
meureun disumputkeun naga
bumi alam poék mongkléng.

barudak récét di buruan
sorana patembalan
Samagaha! Samagaha!

Aya kahariwang
dina haté séwang-séwangan
bulan sirna.

Ting berebet barudak ka pipir imah
tutunggulan dina lisung
rampak narakol kohkol
ngusir naga sina nyingkir
naga nyingkah
bulan ngempur
bumi alam caang deui.


(5) SAKADANG MONYÉT MALING CABÉ

Sakadang kuya jeung Sakadang monyét
suka bungah maling cabé
cabé beureum matak uruy
lada haneut kana beuteung.

Seuhah lata-lata, seuhah lata-lata
cabé beureum cabe lada
cabé arasak kacida.

Keur jongjon datang Pa Tani
Sakadang monyét ngabecir
sieun katéwak Pa Tani.

Kuya geuwat gancang nyumput
di tempat nu rada buni
tapi katénjoeun mantén.

Pa Tani bungah kacida
daging kuya rek diolah
lumayan keur deungeun sangu.


Sakadang kuya katéwak
dipangku dibawa balik
dikurung tukangeun imah.

Ngalongok Sakadang monyét
suka bungah ngahilian
cenah bakal dikawinkeun
ka anakna Bapa Tani.

Isukna datang Pa Tani
suka bungah muru kandang
nyorén bedog meunang ngasah.

Pa Tani ambek kacida
nu aya di jero kurung
bangké Sakadang monyét.

Monyét morongkol dicekel
dibalangkeun ka nu bala
monyét cengkat ngaréngkénék
ngabecir lumpatna tarik.



(6) PAPARAHUAN

Manintin manuk Manintin
paparahuan reujeung Tunggeu
parahuna cangkang bonténg
bonténg suri anu gedé.

Soloyong angkleung-angkleungan
kakawihan suka bungah

“Tin, tin, Manintin
gengngng!”

Katembong ku Caladi Kundang
ngageleber hiber
teup enteup na parahu
nu tiluan kakawihan

“Tin, tin, Manintin
toroktok, tok
gengngng!”

Kapanggih ku anak Monyét
clak tumpak parahu
nu opatan kakawihan


“Tin, tin, Manintin
toroktok, tok
nguuuk
gengngng!”

Kitu jeung kitu
disarada patémbalan
suka bungah kakawihan
méméh surup sarangéngé.


(7) SILIH TULUNGAN

Nyiruan dina pancuran
titeuleum méh baé paéh
Titiran nenjo Nyiruan
kanyaah mapaés haté.

Geuwat metik dangdaunan
diragragkeun kana cai
ngarayap éta Nyiruan
teu tulus nemahan pati.

Titiran ku paninggaran
diintip-intip dipanah
Nyiruan mulang tarima
nyeureud bitis paninggaran.

Paninggaran ngagurubug
teu tulus manah Titiran
geus lésot kabéh bangbaluh
lantaran silih tulungan.


(8) BUDAK BUNCIR

Si Buncir naheunkeun bubu
pareng meunang anggay-anggay
diwadahan kana batok.

Hayam macok anggay-anggay
Si Buncir boga paménta
hayam nu jadi gantina.

Hayamna katinggang halu
atuh paéh saharita
halu nu jadi gantina.

Haluna katincak munding
sabab potong ménta ganti
Si Buncir dakwa ka hakim
munding milikna Si Buncir.

Mundingna katinggang limus
paéh ménta digantian
ku Ki Tani diturutkeun
buah limus matak uruy.

Demi Nyi Putri ningali
kacida pisan palayna
limus dipesék dituang
séép ngan tinggal pelokna.

Nyi Putri jadi gantina
Buncir teras salin rupa
jangkung pohara kasépna
katelahna Gandarasa.


(9) BUDAK HIDEUNG

Budak hideung goréng rupa
buuk ngarambueuk rintit
ku indung pulung diasih
lantaran ku daékanana.

Teu saeutik nu ngahina
pasrah narimakeun nasib
kanikmatan tanpa tepi
permata nu pangmahalna.

Si hideung muka buntelan
horéng eusina teh waluh
dibantingkeun kana batu
bray beulah hérang ngagenyas.

Janggélék hiji nagara
budak hideung salin rupa
satria gagah perkasa
Danuwarsa katelahna.


(10) CINGCIRIPIT

Ngariung di pakalangan
waspada ngantelkeun curuk
curuk inggis kacapit
kacapit ku dampal leungeun
dampal leungeun dikeupeulkeun
“jék-jék nong”
nu kacapit tunggu lawang.


(11) NGADU PANGGAL

Prung tarung di pakalangan
nu jadi kawih pamuka:

“Tung-tung-brung
kali tanjung
barangbang kali parangpang
padakutik padasemprung”.

Breng panggal diparuihkeun
muih dina jero kalang
beletak papada panggal
panggal ngacleng ngagolépak
panggal muih pangleletna
punjul ngajadi raja.


(12) TITINGGI ULA-ALI

Karémbong meulit na cangkéng
tungtungna pada nyekelan
antay-antayan leumpangna
niru-niru titinggi
majuna ongko-ongkoan
bulat-beulit, arula-arileu
nguriling kukurilingan
hulu ngudag-ngudag buntut
sina néangan nu leungit.

Nu dimaksud geus kapanggih
buntut kudu jadi hulu
ari hulu jadi beuheung
kitu jeung kitu tuluyna
sagala-gala walatra
taya nu paheula-heula.


(13) LANGLAYANGAN

Langlayangan kumalayang
ngalayang di méga malang
paheula-heula jeung heulang
sukan-sukan sukahayang.

Mipir langit nyorang méga
nyawang anggang di buana
amparan handapeunana
tanah éndah alam Sunda.


(14) SURUNG MUNDING

Surung munding, surung munding
kaulinan budak lalaki
ngutamakeun kakuatan
nu maén pahareup-hareup
pakuat-kuat tanaga.

Surung munding, surung munding
nu lalajo suka bungah
ngariung bari ngarawih:

“géré tong-géré tong
nu éléh dipotong
géré tong-géré tong
nu éléh dipotong”.

Géré tong-géré tong
parancah méméh lumampah
ngagéré haté lalaki
ludeung teuneung
rahayu jaya waluya.


(15) CAANG BULAN

Baheula nu dipigandrung
caang bulan opat welas
ngabungbang pinuh kabungah
galumbira gogonjakan
bari kakarawihan
laguna lagu bulan tok;

“Bulan tok, bulan tok,
bulanna sagede batok,
didudut disantok,
aya ucing keur anakan”.

Meungpeung bulan ngaganteng
arulin masing aranteng
nganteur kahayang nu manteng.


(16) PACICI-CICI PUTRI

Dampal leungeun nu katuhu
nu kénca oge nya kitu
ditangkubkeun ka palupuh
disodorkeun keur ngariung
ditunjukan bari imut
ditetel-tetel ku curuk
kawihna lagu nu matuh
dikawihkeun ku lulugu:

“Pacici-cici putri
térélék kembang celempung
ada nona ada tuan
kalau mau kembang apa?”


“Hayang kembang Kamuning!”
“Hoyah, ari balik nungtun munding!”

Nu ngariung surak kabéh
gogonjakan suka bungah.


(17) ULIN DI WALUNGAN

Ngabring arindit
arulin ka walungan seja ngojay
jleng gejebur, jleng gejebur
ngarojay patengah-tengah
ngalangkarak babalapan
papalidan ka hilirkeun
palila-lila teuleumna
icikibung peperangan
silih simbeuh silih cemplang.
MUSIKALISASI PUISI
DALAM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(KTSP)

Oleh: Taufik Ampera
I. Pengantar

Karya sastra merupakan fakta historis yang berisi pemikiran dan pergulatan batin pengarang terhadap masalah-masalah kehidupan. Sebagai fakta historis sastra berisi nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran dan kehalusan budi, membangun dan mengembangkan emosi, moralitas dan nilai agama. Karena itu, pengajaran sastra memiliki peranan penting dalam pembangunan kultur bangsa. Melalui berbagai konstruk pemikiran dan ancangan pendekatan, pengajaran sastra dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan mental spritual dan membangun kepribadian bangsa.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh melalui pengajaran sastra. Melalui pengajaran sastra siswa akan memperoleh berbagai macam keuntungan, baik yang menyangkut pengetahuan maupun yang menyangkut keterampilan (berbahasa) dan berbagai kapasitas psikologis yang dibutuhkan oleh manusia atau individu yang sedang berkembang (Moody, 1971). Oleh karena itu, sudah selayaknya bahkan sudah seharusnya pengajaran sastra memperoleh perhatian yang memadai, baik mengenai kedudukannya di samping pengajaran bidang-bidang studi sastra lainnya maupun mengenai metode dan strategi mengajarkannya.
Pengajaran sastra yang memadai setidaknya mencakup dua hal, yakni memberikan pengetahuan dan menanamkan apresiasi. Pengetahuan meliputi informasi dan konsep, di dalamnya tercakup teori sastra dan sejarah sastra. Apresiasi berhubungan dengan sikap dan nilai, di dalamnya tercakup masalah penerimaan, pemberian tanggapan, serta pemberian nilai. Melalui dua hal tersebut, pengajaran sastra mengarah pada peningkatan kapasitas pikiran atau intelek dan peningkatan kapasitas perasaan atau emosi. Pada pelaksanaan pengajaran sastra, siswa atau subjek didik diberi kesempatan dan didorong untuk menghayati karya sastra. Di samping itu, siswa atau subjek didik dibimbing agar dapat memberikan tanggapan atas karya sastra bahkan dibimbing agar siswa mampu menghasilkan cipta sastra dan melakukan kolaborasi sastra. Hal itu dapat dicapai melalui sastra. Apresiasi dalam pengajaran sastra bukanlah hanya memberikan penghargaan atau penilaian terhadap karya sastra, tetapi lebih dari itu. Wardani (1981: 1-2) mengemukakan proses apresiasi sebagai berikut:
  1. Tingkatan menggemari, pada tingkatan ini apresiasi sastra ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku serta keinginan membacanya.
  2. Tingkatan menikmati, yaitu mulai dapat menikmati cipta sastra karena mulai tumbuhnya pengertian.
  3. Tingkatan mereaksi,yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati, misalnya dengan menulis sebuah resensi atau berdebat dalam diskusi sastra. Ke dalam tingkatan ini juga termasuk keinginan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra.
  4. Tingkatan Produktif, yaitu mulai ikut menghasilkan cipta sastra.


Apresiasi sastra dalam pengajaran sastra dapat dilakukan melalui kegiatan musikalisasi puisi. Musikalisasi mengandung pengertian; “hal menjadikan bersifat musik” (KBBI. 1996: 676). Melalui kegiatan musikalisasi puisi, siswa atau subjek didik sesungguhnya telah memperlihatkan sikap positif terhadap puisi sebagai karya sastra. Sikap positif adalah kecenderungan jiwa yang terbuka dan menerima terhadap sesuatu, termasuk melakukan improvisasi dan kreasi cipta sastra ke dalam bentuk cipta lainnya. Bila seorang siswa memiliki sikap positif seperti itu, maka hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Disadari atau tidak, seorang siswa yang memiliki sikap positif terhadap puisi mengetahui atau mengharapkan, bahwa puisi itu akan memberikan kebaikan atau manfaat bagi dirinya. Pemahaman itu sejalan dengan pandangan seorang pemikir Romawi, Horatius yang mengemukakan istilah dulce et utile, artinya sastra (termasuk puisi) mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk.
Kegunaan sastra dalam kehidupan sehari-hari, dapat dicermati pada penggunaan puisi sebagai alat untuk menyatakan perasaan (cinta, marah, atau benci). Dalam hal ini, sastra dapat berfungsi sebagai media komunikasi, yang melibatkan tiga komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai pesan itu sendiri, dan penerima pesan, yakni pembaca karya sastra maupun pembaca yang tersirat dalam teks atau yang dibayangkan oleh pengarangnya.


II. Musikalisasi Puisi sebagai Metode Pengajaran Sastra dalam KTSP
Pada awal pembahasan ini, perlu dikemukakan bahwa sesungguhnya kehidupan sehari-hari kaya dengan ekspresi puitis yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Artinya, bahwa kehidupan manusia sehari-hari sudah tidak lagi dapat dilepaskan dari kesusastraan, meskipun kegiatan “bersastra” tersebut dilakukan tanpa sadar. Sesungguhnya puisi bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia. Ungkapkan Situmorang (1983:11) mensugestikan bahwa ada beberapa alasan, mengapa orang mebaca puisi. Antara lain karena puisi dapat menggugah kita lebih dalam, puisi menggoncang imajinasi, mendorong pikiran, menggerakkan hati, untuk kesenangan dan hiburan. Puisi juga mengungkapkan pengalaman penyair, mengekspresikan semangat kemanusiaan, menyebabkan orang sadar diri dan sadar dunia, sehingga manusia lebih lengkap menjadi manusia.
Pradopo (1993: 13) menyatakan, bahwa puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya Dalam mencapai kepuitisan itu penyair mempergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970 dalam Pradopo, 1993: 13). Kepuitisan pada sebuah puisi tidak hanya untuk memenuhi puisi itu sendiri, melainkan dapat pula memberikan pemaknaan pada bentuk cipta lainnya. Dalam kaitannya dengan pengembangan sastra dan produksi bentuk cipta lainnya puisi dapat berperan:
Sebagai dasar penciptaan
Penghayatan yang telah mengendap terhadap puisi dapat menjadi dasar penciptaan baru. Tradisi yang telah berlangsung mengenai bentuk, isi dan gaya, dengan penafsiran dan kreativitas, dapat dijadikan dasar penciptaan seni lainnya, misalnya musikalisasi puisi.
Sebagai media komunikasi antarseni
Puisi bukan saja dapat dijadikan sebagai dasar penciptaan, akan tetapi juga untuk kepentingan komunikasi antarseni. Puisi akan menjadi jembatan penghubung antara seni sastra dengan seni lainnya, seperti seni musik, seni peran, dan seni vokal. Karena masyarakat telah mengenal puisi, maka ciptaan yang berdasarkan puisi akan mudah diterima dan dihayati, walaupun di dalamnya terdapat unsur dan susunan baru.
Sebagai bahan apresiasi
Dengan pembacaan puisi terjadi pergaulan antara masyarakat (pembaca sastra) dengan sastranya. Melalui pergaulan semacam itu tumbuhlah kesanggupan mengapresiasi sastra. Puisi membimbing masyarakat pembaca ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik yang terkandung dalam puisi (Ampera, 2006).

Kedudukan teks puisi itu sendiri dalam kaitannya dengan pengembangan sastra dan jalinan dengan cipta seni lainnya, yakni:

  1. Teks puisi sebagai teks yang utuh. Teks puisi sebagai teks yang utuh adalah cipta satra yang memiliki penyajian ciri tipografi tertentu, berbait dan berlarik yang membedakan dengan teks-teks sastra lainnya. Teks puisi sebagai teks yang utuh merupakan keindah yang menjelma dalam kata-kata. Manakala kita akan merebut makna yang melekat pada puisi, maka kita akan sampai pada kesadaran bahwa puisi memiliki unsur-unsur estetik tersendiri.
  2. Teks puisi sebagai syair lagu
    Larik-larik puisi tidak hanya otonom menjadi teks sastra, melainkan dapat direkontruksi menjadi syair lagu yang dapat melahirkan pengalaman baru yang bersifat estetis bagi para penikmatnya.
  3. Teks puisi sebagai teks monolog dan teks dialog
    Teks puisi sebagai teks sastra bukan merupakan teks yang statis, melainkan dapat menjadi teks yang dinamis. Masuknya seni peran pada tradisi pembacaan puisi akan mengukuhkan sebuah teks puisi menjadi teks monolog atau teks dialog. Rekontruksi itu mengukuhkan dramatisasi puisi. Teks puisi akan menjadi penting dalam transformasi sastra.


Dengan menempatkan teks puisi pada peran dan kedudukannya dalam pembelajaran sastra melalui kegiatan musikalisasi puisi, maka siswa atau subjek didik akan memperoleh pengalaman estetis. Dalam kaitan itu, Aftarudin (1986: 20) menegaskan bahwa ‘peristiwa besar’ menikmati puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens atau secara mendalam. Pengajaran tidak sekedar membaca huruf-huruf, namun menempatkan diri sebagai pencipta sehingga antara kita dengan penyair seakan-akan tak ada jarak. Hal tersebut menghendaki musikalisasi puisi sebagai kegiatan pembelajaran sastra sungguh-sungguh melibatkan jiwa. Dengan demikian, pengajaran puisi akan melibatkan subjek didik agar memperoleh penyegaran jiwa.
Menurut Appleman (1974: 69), kegagalan apresiasi sastra dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, sebagian besar pengajar melakukan dua prinsip kesalahan utama, yakni:

  1. Pengajar mengajar memulai dengan puisi-puisi yang panjang (the long poem). Prinsip tersebut dapat dipahami, lebih-lebih bila hal itu diterapkan pada subjek didik yang masih asing terhadap puisi.
  2. Tidak menerapkan pendekatan emosional. Emosi termasuk darah yang dapat menghidupkan puisi, karenanya menikmati puisi juga harus melibatkan perasaan.

Pengajar sastra adalah figur yang ikut menentukan keberhasilan pengajaran. Seorang pengajar harus dapat memegang kendali pengajaran menjadi semakin efektif dan efisien. Oleh karena itu seorang pengajar harus berupaya menerapkan kiat-kiat baru dalam pengajaran puisi sebagai karya sastra. Hal yang perlu diingat adalah setiap pengajar harus selalu memfokuskan subjek didik sebagai pusat garap.

Dalam kaitannya untuk menarik perhatian subjek didik ke dalam puisi, musikalisasi merupakan salah satu pilihan pengajaran puisi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Musikalisasi puisi termasuk ke dalam jenis pembacaan kolaboratif. Pembacaan puisi model ini lebih rumit dan memerlukan penggarapan yang matang. Model ini membutuhkan perpaduan yang harmonis dengan cipta seni yang lain, seperti seni musik, seni vokal, dan seni peran. Pada pembacaan kolaboratif, pembaca puisi sudah ke arah pertunjukan (performing art). Pembacaan model kolaboratif pada umumnya dilakukan untuk pembacaan yang bersifat hiburan, tetapi tidak menutup kemungkinan sebagai salah satu model sajian pengajaran. Pembacaan puisi kolaboratif membutuhkan ‘penata laku’ atau sutradara, yang akan memberikan warna pemenatasan. Pembacaan puisi kolaboratif menuntut ‘wajah’ puisi yang bervariasi, seperti ada monolog, dialog, ada unsur dramatis, ada sinyal ke arah gending, tembang, sulukan, wangsalan, parikan, lelagon dolanan. Puisi yang dipilih adalah puisi’panggung’ atau ‘auditorium’, yaitu puisi oral yang layak dipanggungkan (Endraswara, 2005: 147-148).
Puisi yang dipilih pada pembacaan puisi kolaboratif harus merupakan puisi yang sesuai dengan tingkat pendidikan. Hal itu bisa jadi tidak disadari, sehingga puisi yang dijadikan bahan pertunjukan adalah puisi yang tidak sesuai dengan usia subjek didik. Tidak sedikit yang belum menghayati bahwa dalam dunia sastra dikenal adanya ‘wilayah’ sastra; sastra anak, sastra remaja, dan sastra dewasa. Kurangnya pemahaman tersebut mengakibatkan kekeliruan dalam menentukan puisi yang akan dijadikan sebagai bahan ajar. Bandingkan dan hayati puisi berikut ini:

(1) SAKIT

Karya: Karsono H. Saputra

ibu guru, maafkan aku
pe-er belum selesai kukerjakan
dan sekarang tak bisa mengikuti pelajaran

kemarin dokter bilang
aku harus minum obat
dan hari ini harus istirahat


(2) JENDELA DI SEBERANG JALAN


Karya : Nening Shofiah Khasbullah


waktu aku berdiri di jendala, memandang ke seberang
kasihku, kejap matamu meruntuhkan sawan di kamarku
meruntuhkan daun pintu dan aku terkurung dalam cintamu
jendelamu yang muram, ingin sekali kubersihkan



(3) LAGU SIUL

Karya : Chairil Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sunpahi Eros
Aku merangkai dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka


Tiga judul puisi tersebut di atas, merupakan puisi-puisi yang memiliki karakteristik berbeda. Pada puisi (1) aspek bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut sangat sederhana dan mudah dimengerti karena puisi tersebut merupakan puisi anak-anak, bahasa puisi harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan bahasa anak. Demikian pula aspek lainnya akan berbeda dengan dua puisi tersebut di atas. Pada puisi tersebut, pengarang telah berhasil menggambarkan dunia anak lewat kata-kata. Hal seperti itu yang ditekankan dalam cipta sastra anak. Sastra anak, pada dasarnya merupakan “wajah sastra” yang fokus utamanya demi perkembangan anak. Di dalamnya, mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak (Endraswara, 205: 207).
Sastra anak termasuk di dalamnya puisi anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran orang dewasa tidak masuk akal pada sastra anak bisa saja terjadi. Pendek kata sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan, sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri bagi pembacanya. Huck dkk. (1987: 6) menekankan bahwa: buku anak, sastra anak, adalah buku yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan. Pandangan tersebut diperkuat Winch dan Saxby 1991:19) yang mengatakan bahwa buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Hal itu sudah merupakan isu fundamental dalam sastra anak, demikian pula pada puisi anak. Hal tersebut dapat merupakan “modal dasar” bagi anak untuk masuk ke dalam wilayah sastranya karena dalam sastra menawarkan imajinasi yang kaya. Lewat sastra anak berkesempatan untuk berfantasi mengarungi dunianya. Biarkan dan beri kesempatan anak-anak itu berkembang dan mengembangkan fantasinya (Winch dan Saxby 1991)
Pada puisi ke (2) dunia yang digambarkan adalah dunia remaja, puisi itu bercerita tentang kisah kasih remaja. Lambang-lambang yang terdapat pada puisi tersebut mencerminkan suasana hati remaja. Puisi itu pun telah berhasil menggambarkan dunia remaja. Dunia yang dibangun melalui kata-kata.
Puisi ke (3) jelas berbeda dengan dua puisi lainnya, puisi itu tidak sesederhana puisi anak dan puisi remaja. Meskipun bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut merupakan bahasa sehari-hari yang dapat memberi efek gaya yang realistis yang tidak menanggalkan efek romantis, namun pada puisi tersebut untuk memberikan efek puitis, penyair mempergunakan perbandingan Ahasveros dan Eros, nama-nama dari mite Yahudi dan Yunani: petualang dan dewi cinta. Penggunaan perbandingan tersebut bagi pembaca seusia anak akan menjadi kendala dalam pemaknaannya karena anak-anak belum memahami mite yang menjadi dasar penciptaan puisi tersebut.
Pada akhirnya, ketika kita memilih puisi untuk bahan pengajaran sudah seharusnya puisi itu disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan agar proses pembelajaran sastra lebih bermutu. Demikian pula aspek-aspek lainnya, misalnya ketika puisi itu ditransformasikan pada musikalisasi puisi, maka unsur-unsur penunjangnya harus diperhitungkan dengan cermat dan matang agar semua perpaduan yang diracik membangun harmonisasi. Aspek lagu, musik, segi pertunjukan harus sesuai dengan “dunia” subjek didik, sehingga bentuk tanggapan yang dilakukan pembaca terhadap sastra memperlihatkan unsur etika dan estetika.


III. Penutup
Pengajaran sastra yang baik akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembangunan mental spritual manusia Indonesia. Karena itu dalam pengajaran sastra, sastra harus diajarkan sebagai karya seni. Siswa harus mengenal dan membaca sastra, bahkan siswa harus dapat memberikan tanggapan terhadap sastra sebagai karya seni dengan nyata, diantaranya melalui upaya pentransformasian puisi ke dalam musikalisasi puisi.
Mengajarkan sastra memerlukan keluasan wawasan, pengetahuan, keterampilan, apresiasi, dan kemauan keras. Hal tersebut berlaku bukan hanya pada saat menyampaikan materi, tetapi juga pada saat pemilihan materi. (Disajikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Sastra, 26 April 2008 di Purwokerto).

Warta Pasanggiri Ngadongeng (1)


Ngahirup Huripkeun Dongéng
di Pasantrén

Ku Taufik Ampera

Ngagedur dongéng ti Pasantrén. Sigana waé éta kalimah bisa némbongkeun hiji sumanget dina ngamumulé tradisi ngadongéng. Hiji tarékah nu nyata geus ngabukti dina poé Minggu tangal 1 April 2007 ngaliwatan acara Pasanggiri Ngadongéng Carita Sunda pikeun rumaja jeung déwasa sa-Bandung Raya kalayan alpukahna sakumna ais pangampih Pasantrén Babussalam Ciburial Bandung. Anu jadi jejer carita dina éta pasanggiri nya éta sajarah Kangjeng Nabi Muhammad Saw. Ěta pasanggiri mangrupa bagian tina runtuyan acara Gema Pasantrén 1428 Hijriah, kalayan tujuan pikeun ngawanohkeun sajarah Kangjeng Nabi Muhammad Saw., katut ti éta, mangrupa tarékah pikeun ngamumulé basa Sunda sakumaha anu geus diguratkeun dina Perda Propinsi Jawa Barat nomer 5 taun 2003 ngeunaan “Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah”.
Lamun dibandingkeun jeung pasanggiri nu sarua, nu kungsi diayakeun ku Disbudpar kalayan gawé bareng jeung PPSS sarta UNPAD dina raraga miéling poé basa Indung Internasional, tanggal 15 Pébruari nu kaliwat tangtuna waé pasanggiri ngadongéng carita Sunda nu diayakeun ku Pasantrén Babussalam aya pola anu béda. Anu ngabédakeunana nya éta jejer carita. Lamun dina pasanggiri ngadongéng dina raraga miéling basa Indung Internasional, anu jadi bahan carita nya éta sakumna carita rakyat bisa mite, sasakala, dongéng sasatoan jeung nu sejénna, tapi dina pasanggiri ngadongéng di Pasatrén Babussalam mah jejer caritana nyaéta sajarah Nabi Muhammad Saw. Aspék sején anu ngabédakeun nya éta jumlah patandang anu ngadongéngkeun hiji carita. Lamun dina pasanggiri ngadongéng nu diayakeun dina raraga miéling basa Indung internasional, tiap patandang nu tandang diwatesanan saurang, tapi dina pasanggiri ngadongéng nu diayakeun ku Pasatrén Babussalam Ciburial jumlah anggota kelompok nu tandang kudu leuwih ti saurang, tiap kelompok antara dua tepikeun ka genep urangna. Jadi cindekna, hiji carita didongéngkeun ku sababaraha urang atawa ngadongéng babarengan. Tapi sok sanajan kitu, panata calagara éta pasanggiri ngahiap oge patandang husus. Anu kaasup kana golongan patandang husus nya éta para calon kapala désa di Ciburial. Aya lima urang anu jadi patandang husus. Ěta nu limaan tandang saurang-saurang, béda jeung patandang sejénna. Ku dihiapna lima calon kapala désa mangrupa hiji tarékah panata calagara anu kawilang motékar, méntés calon pamingpin daérah naha éta para calon pamingpin téh bisa ngadongéng dina basa Sunda atawa henteu? oge naha éta para calon pamingpin téh wanoh kana sajarah nabi? Tangtuna waé nu dipiharep ka sakumna para calon kapala désa lain ngan saukur ngareuah-reuah éta acara, anu leuwih utamana mah kudu mikacinta kana budayana tur panceg dina tatapakan tug nepi ka mampu nangtukeun kawijakan nu merenah keur sakumna kamaslahatan umat manusa. Bral geura tandang makalangan dina PILKADĚS sabada tandang dina pasanggiri!
Diantara nu limaan, aya dua patandang nu kaitung nyongcolang dina nembrakkeun carita boh dina padika ngadongéng boh dina ngagunakeun basa tur ogé dina neuleuman eusi carita. Anu ka hiji nya éta Sobirin midangkeun carita Hajar Aswad kalayan dirojong ku kaparigelan ngaréka carita tur diwuwuh ku tembang Sunda nu payus jeung jentréngna sora kacapi, matak pogot nu ngabandungan. Sanggeus bubuka Sobirin midangkeun lagu Hamdan tur meunang pangbagéa ti nu ngabandungan. Dina guluyurna carita, Sobirin macakeun ayat Al-Qur’an, ogé ngagalindengkeun adan binarung sora nu matak ngageri ati. Dina basana, Sobirin ogé katembong tapis ngaréka-réka basa nu murwakanti tur pinuh siloka. Mungkas carita sabada nepikeun amanat nu nyampak dina carita, lagu Demi Wanci dihaleungkeun éstu matak gantung dengéeun. Tétéla ieu patandang ku ngaliwatan improvisasina geus némbongkeun kamampuhna dina transformasi budaya hiji carita.
Anu kadua nya éta nu katelah Pupung, hiji-hijina wanoja calon kapala désa kalayan ngaguar carita Siti Halimah. Kapunjulan Pupung nya éta dina lebah ngaréka guluyurna carita anu diadumaniskeun jeung jentréngna sora kacapi diselang haleuang tembang. Alatan kitu ngabandungan dongeng nu dicaritakeun ku Pupung mah estu matak pikabetaheun. Tapi hanjakal éta patandang nu duaan teu nyumponan kana sarat anu diguratkeun ku panata calagara, tandang ukur nyorangan.
Patandang nu séjénna nya éta patandang anu tiap kelompokna, anggotana leuwih ti saurang. Dina prak-prakkan ngaguar carita, aya patandang nu maké padika wangkongan atawa gunem catur, umpamana waé patandang ti pangajian As-Salam, Al-Ukuwah, Majelis Ta’lim Sakinah, Majelis Ta’lim Al Inayah, Majelis Ta’lim Baiturrahman Pakar, Guru SMA Babussalam. Malah aya kelompok nu katémbong mampu nyiptakeun suasana anu ngagambarkeun pasamoan, dina éta pasamoan diguar carita ngeunaan sajarah nabi. Tapi aya oge kelompok patandang anu maké padika nu ngadongéng ngalalakon dina éta carita. Tiap patandang boga peran sewang-sewangan. Umpamana waé patandang ti Al Bayan, jeung SMA Babussalam. Carita anu diguar rupa-rupa judulna kayaning; Opat Onta, Manuk Ababil, Hajar Aswad, Siti Halimah, Abu Tholib, Abu Lahab Ngarogahala Nabi Muhammad, Sajarah Nabi, Muhammad Ditukeuran, Robiul Awal, Boikot ka Bani Hasyim jeung Abu Tholib, sarta Abu Zahal Ngarogahala Rosulullah.
Upami niténan kana umur patandang éstu katémbong ayana tarékah ngawiriskeun tradisi titinggal karuhun. Aya rumaja nu bakal nyekel nanjeurna warisan budaya. Pikeun leuwih tandesna tarékah “pewarisan” tradisi tangtuna waé éta tarékah téh kudu lumangsung di antara sasamana. Aya ogé patandang anu geus umuran, malahan teu saeutik patandang anu saumur jeung pun nini atawa pun aki. Dina éta kelompok umur, katembongna aya rasa nu gumulung pikeun mulangkeun panineungan kabiasaan ngadongéng mangsa nu geus kaliwat. Atawa bisa waé hiji tradisi nu tetep mayeng dina mangsa kiwari ; indung ngadongeng ka anak atawa nini (aki) ngadongeng ka incuna.
Pasualan-pasualan nu disanghareupan ku masyarakat dina mangsa kiwari jadi samara dina nembrakkeun carita, umpamana waé guru-guru wanoja ti SMA Babussalam lumayan “peuheur “ nepikeun gerentes haténa ngeunaan pasualan gajih nu teu saimbang jeung pagawean hiji guru. Oge pasualan nyandung jadi papaés hiji carita pangpangna nu diguar ku para wanoja. Atra pisan dongéng jadi alat pikeun nembrakkeun gerentes hate nu aya tumalina jeung pasualan-pasualan hirup.
Nu kapeto jadi girang pangajén dina éta pasanggiri, nya éta Shandy Hadian ti RRI Bandung, Nunuy Nurjanah ti UPI jeung Taufik Ampera ti Unpad. Para pinunjul baris dibéwarakeun ku panata calagara dina pungkasan acara Gema Pasantrén 1428 H.
Kuayana sababaraha kagiatan nu tumalina jeung tradisi ngadongéng nuduhkeun yén dongéng masih kénéh jadi milik masyarakat. Lamun éta tradisi masih kénéh dipiharep hirup huripna, tangtuna waé kudu aya tarékah anu sipatna babarengan pikeun ngamumulé éta tradisi, lain sikep aing-aingan. Lamun téa mah loba intansi, lembaga, paguron luhur katut LSM anu haat binarung ngayakeun pasanggiri nu sarupa, tong teuing dipikarisi sieun kumaonam bakal parebut alas pacorok garapan. Estu matak jadi kareueus keur saréréa, tradisi bakal leuwih jembar jeungna deui budaya mah sipatna umum atawa ”universal”. Cag!


Taufik Ampera
Dosen Sastra Sunda Unpad
mikatineung kana sastra jeung bacaan pikeun barudak.

Artikel Nini Anteh (1)

NINI ANTEH DALAM PERSPEKTIF VON DANIKEN

Oleh: Taufik Ampera


Nini Anteh adalah salah satu dongeng Sunda yang mengisahkan bahwa bercak hitam yang tampak pada permukaan bulan purnama adalah seorang nenek yang tiada henti-hentinya menenun. Nenek itu disebut Nini Anteh karena ia kelihatan sedang memintal benang kantih. Selama menenun, Nini Anteh selalu ditemani oleh seekor kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Kain hasil tenunannya itu bila telah selesai akan diberikan kepada aki yang sedang menyadap di bumi.
Sebagai sebuah sastra lisan, hal yang menarik dikemukakan lewat cerita Nini Anteh adalah fungsi cerita tersebut bagi masyarakat pendukungnya. Maka yang perlu diungkapkan adalah fungsi cerita itu.
Dongeng Nini Anteh merupakan cerita yang mengisahkan tentang penjelajahan manusia bumi ke ruang angkasa. Di samping cerita tersebut, dalam khazanah sastra Sunda terdapat pula cerita lain yang menuturkan kisah perjalanan manusia bumi di ruang angkasa, misalnya saja Mundinglaya Di Kusumah dalam cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah dan Jaka Sabeulah dalam cerita Sri Sedana. Cerita-cerita tersebut memperlihatkan dengan tegas bahwa karya sastra buhun (sastra lisan) memiliki hubungan yang erat dengan fenomena ruang angkasa. Sastra lisan banyak mengungkap fenomena alam termasuk kehidupan ruang angkasa. Dalam sastra lisan itu pun banyak mengisahkan tentang makhluk ruang angkasa, seperti bidadari dan peri.
Melalui sudat pandang penelitian ruang angkasa, bidadari atau putri kerajaan langit merupakan para astronaut wanita dari planet lain. Hipotesis itu berlandaskan pada suatu teori yang dikemukakan oleh Erick von Daniken dalam bukunya Erinnerungen and die zukunft ‘Kenangan Akan Masa Depan’ (1968) dan Zuruck zu den Sterken ‘Kembali ke Bintang-Bintang’ (1969). Kedua buku tersebut bayak mengulas tentang makhluk ruang angkasa. Melalui kedua bukunya itu, von Daniken mencoba merumuskan suatu teori yang selanjutnya dikenal dengan Teori Astronaut. Dalam teori tersebut, sastra lisan dapat dianggap sebagai “saksi zaman” atau “pencatat sejarah”, karena pemiliknya mempercayai kebenarannya, kadang-kadang juga dianggap suci, maka cerita-cerita demikian dapat digolongkan ke dalam cerita legenda atau mite.
Menurut von Daniken, kehadiran makhluk ruang angkasa atau para astronaut dari planet lain di bumi ini tidak hanya diabadikan dalam bentuk legenda, mitologi, dan dongeng saja, tetapi diabadikan pula dalam lukisan-lukisan di dinding gua, keramik-keramik tua, dan media lainnya. Bukti nyata seperti lukisan yang ditemukan di Tassili, Sahara, bagian Libia dan lukisan di Val Camonica, Italia. Masyarakat Tassili mengenal tokoh ruang angkasa yang dinamakan sebagai Dewa Mars yang memiliki tanduk. Tanduk tersebut mengingatkan orang pada antene yang mencuat pada penutup kepala para astronaut.


Nini Anteh: Astronaut Sunda
Dongeng Nini Anteh bukan merupakan cerita bidadari, artinya Nini Anteh bukan astronaut perempuan dari planet lain yang turun ke bumi, melainkan Nini Anteh merupakan manusia bumi yang berhasil menjelajahi ruang angkasa dan berhasil pula mendarat di bulan, bahkan untuk selamanya Nini Anteh menetap di bulan. Nini Anteh mendarat di bulan jauh sebelum astronaut dan kosmonaut dari Rusia dan Amerika menginjakkan kakinya di bulan. Telah ribuan tahun Nini Anteh berada di bulan.
Dalam dongeng Nini Anteh tidak dijelaskan kendaraan apa yang membawa nini Anteh mendarat di bulan. Melainkan dalam cerita tersebut hanya dideskripsikan bahwa nini Anteh menuju bulan dengan berjalan di atas mega putih. Deskripsi perjalanan Nini Anteh ke bulan inilah yang menarik untuk dimaknai. “Mega putih” dapat bermakna sebagai asap pesawat luar angkasa yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Dengan pesawat luar angkasa itulah Nini Anteh menjelajah ruang angkasa kemudian mendarat di bulan bersama kucing kesayangannya.
Selendang yang selalu dipakai Nini Anteh bukan sembarang selendang, melainkan selendang yang identik dengan selendang yang dipakai oleh para bidadari, misalnya dalam cerita rakyat Jaka Tarub. Istri Jaka Tarub sebagai seorang bidadari saat turun ke bumi memakai pakaian yang dapat membawanya terbang. Pakaian yang dikenakan bidadari turun ke bumi merupakan hal yang menarik untuk dimaknai dengan teori astronaut. Sayap, baju terbang, dan pakaian yang tidak rusak sewaktu dikubur di dalam tanah, ditimbun di sampah, atau ditimbun padi di atas lumbung merupakan pakaian yang penuh keajaiban. Tentunya bukan sekedar pakaian biasa, melainkan pakaian yang terbuat dari bahan khusus setidaknya terbuat dari bahan logam yang tahan karat serta tahan rusak. Pakaian semacam itu merupakan pakaian para astronaut. Jadi, ketika bidadari turun ke bumi dengan mengenakan baju terbang berikut selendangnya, bidadari tersebut mengenakan pakaian seperti yang biasa dipakai para astronaut. Begitu pula halnya dengan selendang Nini Anteh, bukan sembarang selendang melainkan selendang yang digunakan sebagai pelengkap pakaian seperti yang biasa dipakai para astronaut. Selendang dijadikan sebagai simbol bertalian dengan kebiasaan atau tradisi kaum perempuan di tatar Sunda tempo dulu yang selalau mengenakan selendang, baik sebagai penutup kepala yang berfungsi sebagai kerudung, maupun sebagai kain selendang pelengkap busana.
Dalam dongeng, Nini Anteh ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang telah berhasil menjelajah ruang angkasa. Hal ini merupakan simbol penghargaan terhadap kaum perempuan pada posisi yang tinggi. Penempatan figur Nini Anteh di bulan mengandung makna bahwa perempuan Sunda telah mampu menempati kedudukan yang lebih tinggi yang dilambangkan dengan bulan. Bulan melambangkan dunia atas sekaligus pula melambangkan perempuan. Nini Anteh sebagai penghuni bumi yang kemudian mendarat di bulan merupakan penggambaran bersatunya keharmonisan dua dunia. Jalinan dunia atas dengan dunia bawah adalah cerminan kesempurnaan hidup.
Meskipun Nini Anteh telah meraih kedudukan yang tinggi, tetapi Nini Anteh tetap menjaga citra “keibuaannya”. Nini Anteh tidak lantas menanggalkan peran sebagai seorang ibu atau sebagai seorang istri. Nini Anteh tetap menunjukkan baktinya terhadap aki sebagai suami. Kain tenun yang telah selesai ditenun dipersembahkan pada aki di bumi. Hal ini merupakan simbol pengabdian seorang istri kepada suaminya. Simbol lain yang melekat pada diri Nini Anteh adalah seperangkat alat tenun yang menandai tugas dan tanggungjawab serta peran perempuan dalam rumah tangga.
Figur perempuan yang ditampilkan dalam dongeng Nini Anteh adalah perempuan yang telah berumur dengan julukan “nini” ‘nenek’, berbeda dengan cerita rakyat dari Jepang yang bertokohkan seorang gadis pergi ke bulan. “Nini” lebih mengarah pada “luang” atau pengalaman yang dimiliki oleh Nini Anteh dalam meraih derajat yang lebih tinggi dan mulia. Di samping itu, bermakna pula pada kesinambungan pewarisan tradisi, perempuan identik dengan pemelihara atau pelestari tradisi.
Berdasarkan penafsiran terhadap dongeng Nini Anteh dengan menggunakan pemahaman teori astronaut, maka dapat disimpulkan bahwa dongeng Nini Anteh merupakan proyeksi manusia bumi (perempuan Sunda) yang telah berhasil mendarat di bulan. Keberhasilan Nini Anteh mendarat di bulan membuktikan bahwa kebudayaan dan peradaban manusia bumi (Sunda) tidak kalah oleh tingkat kebudayaan dan peradaban makhluk angkasa yang lebih banyak digambarkan dalam cerita rakyat sebagai penjelajah ruang angkasa yang kemudian turun ke bumi. Di samping itu, dongeng Nini Anteh mengungkapkan pula suatu konsep penguasaan teknologi mutakhir masyarakat Sunda pada masanya. Bila dalam cerita rakyat yang bertokohkan bidadari merupakan simbol para astronaut perempuan dari luar angkasa, maka dalam dongeng Nini Anteh, tokoh Nini Anteh merupakan simbol manusia bumi (Sunda) yang menjelajahi ruang angkasa.


Penulis Peminat Sastra Anak
Staf Pengajar Sastra Sunda Unpad