Sabtu, 19 Juni 2010

BUKU BACAAN ANAK




Kumpulan Drama untuk Anak
"KATULAH KU POLAH SORANGAN"
disusun oleh: Taufik Ampera
Penerbit PT. Imperial Bhakti Utama. 2007

BUKU BACAAN ANAK




Kumpulan Sajak Anak-anak
"DONGENG KAULINAN"
disusun oleh Taufik Ampera
Penerbit PT. Imperial Bhakti Utama. 2007
SASTRA ANAK SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh: Taufik Ampera


I.Pendahuluan


Tidak dapat disangkal lagi, bahwa sastra anak memiliki sumbangan yang besar bagi perkembangan kepribadian, kecerdasan, dan pengalaman anak dalam proses menuju kedewasaaan. Kematangan kepribadian, kecerdasan, dan luasnya wawasan anak dibentuk dan terbentuk melalui lingkungan di sekitarnya, termasuk lingkungan kegiatan bersasatra yang berlangsung pada kehidupan anak, baik sastra lisan yang diperoleh anak lewat saluran tuturan maupun sastra tulis yang diperoleh lewat bacaan.
Sastra sebagai sebuah karya hasil pengolahan pikiran dan perasaan seorang pengarang diyakini mampu dipergunakan sebagai media untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berlaku pada lingkungan keluarga, masyrakat, dan bangsa. Karena adanya pewarisan nilai-nilai itulah eksistensi suatu masyarakat dan bangsa dapat dipertahankan.

Sebagai sebuah tradisi dalam keluarga, penanaman nilai-nilai pada anak sudah berlangsung sejak anak masih dalam kandungan. Demikian pula saat anak belum mampu berbicara dan belum dapat membaca penanaman nilai-nilai pada anak semakin nyata. Nyanyian-nyanyian yang biasa didendangkan seorang ibu untuk membujuk si buah hati agar segera tidur atau sekedar membahagiakan hatinya, pada hakikatnya adalah bernilai kesastraan dan sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan kejujuran.
Sumbangan sastra anak bagi pengembangan kejiwaan anak telah banyak disinggung oleh para ahli, diantaranya Saxby mengemukakan bahwa kontribusi sastra anak membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spiritual) eksplorasi dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan (Saxby dan Winch, 1991: 5-10). Sementara itu, Huck dkk. (1987: 6-14) mengungkapkan bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal values) dan nilai pendidikan (educational values). Dengan demikian, tidak dapat diragukan lagi bahwa sastra anak sangat mewarnai kehidupan anak. Karena itu, biarkan anak melakukan penjelajahan pada sastra yang dimilikinya. Lewat sastra, anak berkesempatan untuk berfantasi mengarungi dunianya. Biarkan dan beri kesempatan anak-anak itu berkembang dan mengembangkan fantasinya (Saxby dan Winch 1991). Anak memiliki pilihannya sendiri, Norton mengungkapkan, bahwa ketika seorang anak mendapatkan kesenangan melalui buku, dia akan menentukan sikapnya untuk lebih banyak menaruh perhatian pada buku bacaan (1983:5), termasuk di dalamnya sastra anak.
Mengingat besarnya sumbangan sastra anak untuk perkembangan kejiwaan dan kecerdasan berpikir anak, maka tulisan ini akan mengungkapkan aspek lain yang terkandung dalam sastra anak yang ada kaitannya dengan pembentukan kecerdasan berpikir anak, sehingga anak mampu menghadapi persoalan hidupnya dengan pikiran yang matang. Aspek yang akan dikaji adalah materi matematika (seni berhitung) yang terdapat dalam nyanyian dan cerita anak.

II. Sastra Anak
2.1 Pengertian dan Karakteristik Sastra Anak
Adanya istilah sastra anak (children’s literature) menunjukkan eksistensi tersendiri dari karya fiksi untuk anak, meskipun istilah ini kurang populer dibandingkan dengan istilah bacaan anak (children’s reading). Children’s literature. Writings designed to appeal to children – either to be read to them or by them including fiction,poetry, biography, and history.Children’s literature also includes riddles, precepts, fables, myths, and folk poems and folktales based on spoken tradition …(Sastra anak adalah karya tulis yang dibuat untuk menarik anak-anak apakah itu untuk dibacakan kepada mereka ataupun untuk dibaca oleh mereka sendiri – berupa fiksi, puisi, biografi, dan kisah sejarah. Yang termasuk juga sastra anak adalah teka-teki, pelajaran, fabel, legenda, mitos, dan syair atau cerita rakyat yang berasal dari sastra lisan ..… (Microsoft, 1997: entri Children’s Literature dalam Trimansyah, 1999; 27).

Untuk lebih menegaskan pemahaman tentang sastra anak, berikut ini akan dikemukakan pandangan Endraswara (2005:2007), sastra anak pada dasarnya merupakan ”wajah sastra” yang fokus utamanya demi perkembangan anak. Di dalamnya, mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak. Lebih lanjut Endaswara mengemukakan, sastra anak hendaknya memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan anak. Yang membedakan sastra anak dengan sastra yang lain adalah muatannya. Sastra anak tentu saja perlu memuat rasa kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, cita-cita, dan petualangan anak (2005: 2007). Pendek kata sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan, sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri bagi pembacanya. Huck dkk. (1987: 6) menekankan bahwa: buku anak, sastra anak, adalah buku yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan.

Sastra anak sebagai sastra yang menyajikan dunia anak, memiliki karakter yang berbeda dengan sastra lainnya. Menurut Davis (Endaswara, 2005: 212) ada empat sifat sastra anak, yakni: (1) tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis; (2) idealistis, yaitu sastra yang memuat nilai-nilai universal, dalam arti didasarkan hal-hal terbaik penulis zaman dahulu dan kini; (3) populer, yaitu sastra yang berisi hiburan, yang menyenangkan anak-anak; (4) teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan orang dewasa serta penulisnya dikerjakan oleh orang dewasa pula. Menurut Sarumpaet (1976: 23) ciri-ciri sastra anak ada tiga, yakni: (1) berisi sejumlah pantangan, berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan; (2) penyajian secara langsung, kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan; (3) memiliki fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan ajaran kepada anak-anak.


2.2 Genre Sastra Anak
Menurut Lukens, genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum (Nurgiyantoro. 2005: 13). Secara garis besar Lukens mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional, puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing mempunyai beberapa jenis lagi (Nurgiyantoro. 2005: 14-15).
Sehubungan dengan keterbatasan dalam penyajian tulisan ini, genre sastra anak tidak akan dibahas secara mendalam, namun hanya akan disajikan genre sastra yang ada kaitannya dengan data yang dikaji, yaitu puisi dan fabel. Genre puisi anak dapat berwujud puisi-puisi lirik tembang anak tradisional, lirik tembang-tembang ninabobo, puisi naratif, dan puisi personal. Puisi-puisi lirik tembang anak tradisional atau lirik tembang-tembang ninabobo adalah puisi sebagaimana yang diucapkan atau dinyanyikan si ibu sewaktu akan menidurkan anak, membujuk anak agar tidak rewel, atau membuat anak senang (Nurgiyantoro. 2005: 27).
Data lain yang dijadikan sebagai objek kajian utama dalam tulisan ini adalah cerita fabel. Fabel (Fable) adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia. Binatang-binatang yang dijadikan tokoh cerita dapat berbicara, bersikap, dan berperilaku sebagaimana halnya manusia. Fabel termasuk ke dalam sastra tradisional, berasal dari cerita yang telah mentradisi (Nurgiyantoro. 2005: 22).


III. Sastra Anak sebagai Media Pembelajaran Matematika
3.1 Materi Matematika dalam Sastra Anak

Kegiatan bersastra tidak hanya menumbuhkan kecintaan pada sastra, melainkan dapat pula mengembangkan kecerdasan matematika anak-anak. Tidak sedikit sastra anak berisi tentang konsep pembelajaran matematika. Sastra anak sebagai sebuah karya cipta dapat membantu anak dalam mengenal matematika pada tingkat usia dini. Sastra anak dapat dijadikan sebagai media pembuka atau untuk memancing minat anak dalam mempelajari dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah. Pembelajaran matematika melalui media sastra dapat membantu menciptakan rasa suka dan suasana berpikir cerdas pada anak-anak. Melalui sastra, anak-anak secara tidak langsung diperkenalkan dan dibekali kecerdasan matematika, sehingga pada akhirnya anak-anak akan dapat merefleksikan kebiasaan berpikir dan bertindak secara matang.
Lagu Dua Mata Saya berikut ini bukan hanya sebuah lagu yang tanpa makna dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan bilangan. Lagu tersebut berisi tentang pengenalan bilangan 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) dan lambangnya. Melalui senandung lagu tersebut, anak dituntut dapat membilang atau menghitung banyak benda.

Dua mata saya
hidung saya Satu
dua kaki saya
pakai sepatu baru.

Dua tangan saya
yang kiri dan kanan
satu mulut saya
tidak berhenti makan
Isi pokok lagu tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, anak mampu menyebutkan nama-nama bagian tubuh, seperti mata, hidung, kaki, tangan, dan mulut. Berawal dari bagian-bagian tubuh yang ada dalam lagu tersebut, pada akhirnya anak akan mengembangkan kemampuannya untuk mengenal lebih banyak dan lebih lengkap bagian-bagian tubuh lainnya. Maka, lagu Dua Mata Saya sebagai lagu yang cukup sederhana ternyata dapat memberikan wawasan yang luas bagi anak dalam mengenal dirinya sendiri.
Kedua, anak mampu mengenal bilangan dari urutan 1 (satu) hingga 5 (lima), seperti terungkap pada kata-kata berikut; /hidung saya satu/, /mulut saya satu/, /mata saya dua/, dan /kaki saya dua/. Berawal dari pengenalan dua bilangan tersebut, kemampuan anak akan berkembang pada kemampuan membilang banyaknya bagian tubuh hingga pada bilangan ke-5 (lima) yang terdapat pada masing-masing jari kaki kiri dan kanan serta jari tangan kiri dan kanan. Pengenalan bagian tubuh dan banyaknya benda dapat dituliskan dalam sebuah tabel dengan menyertakan setiap lambang bilangan, seperti tabel berikut ini
Bagian Tubuh Banyaknya Lambang Bilangan

mata dua 2
hidung satu 1
mulut satu 1
kaki dua 2
jari kaki kanan lima 5
jari kaki kiri lima 5
tangan dua 2
jari tangan kanan lima 5
jari tangan kiri lima 5
Tabel (1) Banyaknya Bagian Tubuh


Ketiga, anak mampu mengurutkan bilangan cacah dari 0 sampai dengan 10. Pada tahap awal, anak belajar mengurutkan bilangan cacah dari 0 sampai dengan 5 sesuai dengan lambang bilangan yang terdapat pada tabel di atas. Pada tahap berikutnya, anak belajar untuk mengurutkan bilangan cacah dari 6 sampai dengan 10 sebagai hasil pengembangan proses belajar pengenalan lambang bilangan. Indikator pencapaian hasil belajar pada tahap ini adalah, seorang anak mampu mengurutkan sekelompok bilangan yang berpola teratur dari yang terkecil hingga yang terbesar.

♣ ♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣♣ ♣♣♣♣♣
1 2 3 4 5

Keempat, anak bertambah wawasannya dengan mengenal angka yang lebih banyak jumlahnya, yaitu angka sepuluh (10) sebagai hasil penjumlahan dari 5 + 5 (lima jari tangan kiri ditambah lima jari tangan kanan). Pada tahap ini, anak sudah memiliki kemampuan dalam penjumlahan serta telah mengenal simbol (+) atau tanda tambah.

jari tangan kiri + jari tangan kanan = 10
5 + 5 = 10

Mengamati pola penjumlahan tersebut, proses pembelajaran matematika melalui kegiatan bersastra dengan cara melantunkan nyanyian anak pada tahap berikutnya, anak dibekali dengan pengayaan konsep membandingkan dua kumpulan benda. Indikantor pencapaian dari proses pembelajaran pada bagian ini adalah anak dapat membandingkan dua kumpulan benda. Misalnya,

jari tangan kiri Haya berjumlah lima,
begitu pula jari tangan kiri Gandes berjumlah lima,
jari tangan kiri siapa yang lebih banyak?

jari tangan Haya = jari tangan Gandes

Jari tangan kiri Haya sama banyak dengan jari tangan kiri Gandes


Di samping sastra anak dalam bentuk nyanyian, tidak sedikit cerita dongeng di dalamnya memuat materi matematika. Salah satu diantaranya adalah cerita fabel yang berjudul Gagak Hayang Jadi Merak (Gagak Ingin Menjadi Merak). Melalui cerita berikut ini, orang tua dapat memanfaatkan dongeng sebagai bahan pembelajaran matematika yang menyenangkan dalam menyampaikan pokok bahasan yang sama, yaitu membandingkan dua kumpulan benda.

Kocapkeun di hiji leuweung geledegan, aya tangkal kiara pahareup-hareup. Nu hiji panonoban gagak, nu hiji deui panonoban merak (Tamsyah, 1996: 126).

”Tersebutlah di suatu hutan belantara, terdapat pohon beringin yang tumbuh berhadapan. Pohon yang satu tempat bersarangnya burung gagak, satu pohon lainnya tempat bersarangnya burung merak.”

Alinea pembuka cerita fabel tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran matematika. Melalui fabel tersebut, seorang anak selain mendapatkan pengalaman bersastra juga dapat memperoleh kemampuan membandingkan dua kumpulan benda melalui penyelesaian soal cerita, seperti berikut:

♣♣ = ♠♠

sama banyak dengan



2 = 2

dua buah pohon sama banyak
dengan dua ekor burung


Lagu di bawah ini menunjukkan perbedaan konsep berhitung dengan lagu di atas. Lagu yang tidak kalah populer dengan lagu-lagu lainnya, mengenalkan pada anak cara membaca dan menggunakan simbol pengurangan (-). Indikator dari proses pembelajaran ini adalah anak dapat membaca dan menggunakan simbol (-) dan simbol (=) dalam pengerjaan mengitung bilangan.

Tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turun sepuluh,
mati satu tinggal sembilan,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turun sembilan,
mati satu tinggal delapan,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turun delapan,
mati satu tinggalah tujuh,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya tujuh,
mati satu tinggalah enam,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya enam,
mati satu tinggalah lima,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya lima,
mati satu tinggalah empat,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya empat,
mati satu tinggalah tiga,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya tiga,
mati satu tinggalah dua,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya dua,
mati satu tinggalah satu,
tek kotek-kotek-kotek,
anak ayam turunnya satu,
mati satu tinggal induknya,

Lagu anak di atas merupakan bentuk pengurangan mulai dari bilangan 10 hingga bilangan 0 (tidak tersisa). Anak ayam turun sepuluh, dari sepuluh ekor anak ayam ternyata mati satu hingga anak ayam itu tinggal sembilan. Dari sembilan ekor anak ayam yang masih hidup ternyata satu ekor mati hingga anak ayam itu tersisa delapan ekor, dan seterusnya. Satu ekor yang tersisa pun akhirnya mati hingga tinggal induknya. Maka musnahlah kesepuluh ekor anak ayam tersebut (tidak ada seekor pun anak ayam yang masih hidup atau sama dengan kosong), yang tersisa tinggal induknya. Syair yang cukup sederhana, namun sangat bermakna itu dapat diterjemahkan ke dalam konsep berhitung sebagai berikut.

10 – 1 = 9 sepuluh dikurangi satu sama dengan sembilan.
9 – 1 = 8 sembilan dikurangi satu sama dengan delapan.
8 – 1 = 7 delapan dikurangi satu sama dengan tujuh.
7 – 1 = 6 tujuh dikurangi satu sama dengan enam.
6 – 1 = 5 enam dikurangi satu sama dengan lima.
5 – 1 = 4 lima dikurangi satu sama dengan empat.
4 – 1 = 3 empat dikurangi satu sama dengan tiga.
3 – 1 = 2 tiga dikurangi satu sama dengan dua.
2 – 1 = 1 dua dikurangi satu sama dengan satu.
1 – 1 = 0 satu dikurangi satu sama dengan kosong.

Pola pengurangan seperti pada syair lagu anak berbahasa Indonesia tersebut, ditemukan pula dalam versi bahasa Sunda. Dalam khazanah sastra Sunda, masyarakat Sunda mengenal mantra. Mantra termasuk ke dalam puisi tradisional Sunda. Puisi mantra adalah puisi lisan yang sarat dengan rima dan irama yang mengandung kekuatan gaib dan bertujuan untuk mendatangkan keselamatan, keunggulan, keberhasilan, dan juga mendatangkan kecelakaan (Sastrawijaya, 1995: 27). Selain memiliki salah satu tujuan di atas, mantra berikut ini berisi pula konsep pengurangan dalam pembelajaran matematika.

Ramo sapuluh jadi ramo salapan jari sepuluh menjadi jari sembilan
ramo salapan jadi ramo dalapan jari sembilan menjadi jari delapan
ramo dalapan jadi ramo tujuh jari delapan menjadi jari tujuh
ramo tujuh jadi ramo genep jari tujuh menjadi jari enam
ramo genep jadi ramo lima jari enam menjadi jari lima
ramo lima jadi ramo opat jari lima menjadi jari empat
ramo opat jadi ramo tilu jari empat menjadi ari tiga
ramo tilu jadi ramo dua jari tiga menjadi jari dua
Puhaci! Puhaci!
puhaci sing jadi hiji Puhaci menjadi satu

(Tamsyah, 1996: 20-21)


Mantra di atas termasuk ke dalam jenis jangjawokan, yaitu jenis mantra yang dipergunakan pada waktu akan melakukan suatu pekerjaan, agar berhasil dan selamat misalnya pada waktu; mau mengambil beras, panen, mau bepergian, mau tidur, duduk, berjalan, ketawa, pergi ke hutan, tempat angker, dan sebagainya. Semuanya bertujuan untuk kebaikan, keberhasilan, keuntungan, dan sebagainya (Sastrawijaya, 1995: 36). Mantra di atas merupakan jangjawokan paranti ngageugeus (mengingat padi yang baru dipanen dalam jumlah tertentu). Pola pengurangan pada jangjawokan tersebut sama dengan syair lagu Anak Ayam Turun Sepuluh. Pola pengurangan pada kedua data tersebut, bila diurutkan berdasarkan bilangan terbesar, akan tampak seperti urutan bilangan di bawah ini. Indikator pencapaian hasil belajar mengurutkan bilangan adalah anak dapat mengurutkan sekelompok bilangan yang berpola teratur dimulai dari bilangan terbesar.

♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠
♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠
♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠
♠♠ ♠♠ ♠♠ ♠
♠♠ ♠
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1


Dalam kaitannya dengan pembelajaran bentuk pengurangan, cerita fabel yang telah di singgung pada bagian sebelumnya, dapat dikembangkan kembali menjadi pokok pembahasan dalam bentuk materi yang berbeda. Misalnya saja pengayaan materi menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan pengurangan, seperti contoh soal di bawah ini:

di atas sebuah pohon, hinggap 2 ekor burung,
1 ekor burung terbang hendak mencari makan,
berapa ekor burung yang tertinggal?


Penyelesaian soal cerita:

diketahui : di atas sebuah pohon, hinggap dua ekor burung,
seekor burung terbang hendak mencari makan,
ditanya : berapa ekor burung yang tertinggal
pengerjaan : pengurangan
penyelesaian : burung yang tertinggal adalah 2 – 1 = 1
jadi burung yang masih hinggap di pohon ada satu (1) ekor.
Pada salah satu kakawihan barudak Sunda (Nyanyian anak-anak Sunda) ditemukan pula pola pengurangan dalam pembelajaran matematika. Kakawihan Eundeuk-eundeukan berisi pola tersebut. Lagu tersebut di samping memiliki makna yang mendalam tentang penggambaran latar sosial dan latar sejarah bangsa Indonesia pada zaman penjajahan, juga mengandung muatan dalam pemerkayaan soal matematika.

Eundeuk-eundeukan lagoni
meunang peucang sahiji
leupas deui ku nini
beunang deui ku aki


(Tamsyah, 1996: 45)
Kakawihan di atas bila dirumuskan akan menghasilkan pola pengurangan dan penjumlahan melalui penyelesaian soal cerita. Kakawihan tersebut menguraikan sistem pengurangan dan penjumlahan yang sangat sederhana. Diawali dengan bilangan kosong, lalu ditambah 1 sehingga menghasilkan penjumlahan 1. Angka 1 dikurngi 1 menghasilkan kembali bilangan kosong. Bilangan kosong ditambah kembali 1 sehingga menghasilkan penjumlahan 1. Melalui kakawihan ini, seorang anak dibekali kemampuan untuk memecahkan soal yang berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan.

0 + 1 = 1
1 – 1 = 0
0 + 1 = 1

Selain materi pembelajaran matematika yang telah dikemukakan, sebagai akhir dari uraian pembahasan ini, penulis akan mengemukakan satu data yang memiliki perbedaan dengan konsep sebelumnya. Lagu ini merupakan lagu yang tidak asing lagi, baik bagi anak-anak maupun bagi orang dewasa, hampir semua orang mengenalnya dan lancar pula menyanyikanya. Di balik syair yang sederhana dan mudah dimengerti, pada lagu ini terdapat rumus matematika.

Topi saya bundar
bundar topi saya
kalau tidak bundar
bukan topi saya

Sepintas lagu di atas hanya merupakan permainan kata yang diulang-ulang, tetapi permainan kata itu merupakan sebuah rumus yang dapat memecahkan suatu persoalan dalam matematika. Untaian lagu yang mengesankan itu, bila diterjemahkan dalam kalimat matematika dengan menjadikan topi saya menjadi X, dan bundar sebagai Y, akan didapat rumus sebagai berikut:
X = Y
Y = X
Jika # Y
:. bukan X

3.2 Makna Kesastraan dalam Pembelajaran Matematika

Melalui karya sastra, seorang anak yang sedang menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan, bukan hanya mendapatkan kebahagian karena anak dapat memperoleh hiburan dari karya sastra yang dibaca atau didengarnya lewat penuturan orang tua, namun anak akan mendapatkan pula pengalaman bersastra sesuai dengan tingkat pemahamannya. Sastra bukan hanya berbicara masalah dunia imajinasi, melainkan sastra menawarkan pula kecerdasan matematika sehingga anak mampu menggunakan logikanya ketika menghadapi persoalan yang dihadapinya.
Lagu-lagu anak bukan sekedar rangkaian syair untuk dilantunkan, tetapi di balik syair lagu, narasi cerita dongeng dan bentuk sastra anak lainnya terdapat materi pembelajaran matematika. Melalui kegiatan bersastra, anak diperkaya pengetahuan matematikanya. Pada akhirnya, anak tidak hanya memperoleh pengalaman bersastra, tetapi juga mampu menggunakan pola berpikir cerdas dalam belajar matematika sehingga akal budinya dapat berkembang dengan sempurna.
Dengan cara menyanyi dan bercerita secara tidak sadar anak sebenarnya telah melakukan pembelajaran matematika. Melalui sastra anak diperkenalkan pada matematika dengan metode pembelajaran yang menyenangkan, yang tentunya sesuai dengan dunia anak yang penuh dengan canda dan tawa. Anak sebagai sosok manusia kecil yang masih memiliki pengalaman terbatas, belum dapat memahami suatu persoalan yang melibatan pengalaman hidup yang kompleks. Berbagai pengalaman abstrak dan nonverbal sebagaimana yang biasa dialami orang dewasa, belum dapat dijangkau dan dipahami oleh anak. Namun dipihak lain, anak dapat atau lebih siap menerima fantasi daripada orang dewasa. Lagu-lagu dan cerita anak akan memenuhi kebutuhan itu. Fantasi anak akan mudah dan begitu saja menerima cerita anak ayam yang turun sepuluh kemudian mati semua.
Lagu-lagu dan cerita anak yang telah dibahas secara sastra memiliki makna yang dalam bagi pengembangan pengalaman anak. Sebagai sebuah karya sastra yang diperuntukan bagi anak, anak akan menerimanya dengan caranya sendiri berdasarkan pemahman dan pengalaman yang telah dimilikinya. Lagu-lagu anak yang biasa dinyanyikan dengan penuh keceriaan bukan hanya sebuah bentuk nyanyian, melainkan di dalamnya terdapat suatu proses pembelajaran yang mungkin tidak langsung disadari bahwa lagu tersebut sedang mengajarkan anak pada matematika. Pengemasan yang sedemikian rupa sebagai hasil kreativitas seorang pencipta, menjadikan lagu itu lebih berarti bagi kehidupan anak. Melalui lagu anak diajak untuk belajar matematika.



IV. Simpulan
Sastra anak sebagai karya sastra hasil pengolahan pikiran dan perasaan seorang pengarang memberikan sumbangan yang sangat berharga pagi pengembangan jiwa anak. Melalui sastra, anak sebagai sosok yang berproses menuju kedewasaan dapat mengambil pengalaman dari berbagai permasalahan hidup yang tergambar dalam sastra, sekaligus anak belajar dalam memecahkan berbagai persoalan hidup sebagaimana yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam dunia sastra.
Sastra bukan sekedar karya imajinasi seorang pengarang, namun sastra menawarkan satu bentuk media pembelajaran bagi seorang anak. Melalui lagu-lagu dan cerita, seorang anak dapat melakukan pembelajaran matematika, sehingga anak mampu menggunakan logikanya ketika menghadapi persoalan yang dihadapinya.
Lagu-lagu yang dikhususkan untuk anak tidak hanya mengandung makna kesastraan, melainkan di dalamnya mengandung pula materi matematika yang sangat berharga bagi pemerkayaan berpikir anak. Sastra anak dapat membekali anak berpikir cerdas dalam belajar matematika.
Disampaikan dalam Pekan Ilmiah Dies Unpad tahun 2008.
Dimuat dalam Bunga Rampai Tahun Emas Fakultas Sastra
Penerbit Sastra Unpad Press. 2010


Kamis, 17 Juni 2010

Gunung GEULIS di Jatinangor


DONGENG

SASAKALA GUNUNG GEULIS*

Kacaritakeun jaman baheula aya salaki pamajikan nu geus lila ngawangun rumah tangga, tapi tacan diparengkeun boga anak. Salakina kacida pisan hayangeun boga anak. Manèhna getèn neneda ka Nu Kawasa sangkan gancang diparengkeun boga anak.

Kocapkeun dina hiji peuting, salakina tèh meunang wangsit, yèn manèhna kudu ngajugjug hiji tempat nu pernahna aya di beulah wètaneun lembur nu dicicingan ku maranèhanana. Nu jadi salakina kudu ngajugjug hiji gunung kalayan kudu tapa di èta gunung. Isukna manèhna nepikeun impianana ka nu jadi pamajikanana. Pamajikanan ngajurung sangkan salakina nedunan panuduh nu datang dina impianana. Tuluy waè nu jadi salakina indit ngalalana ngajugjug hiji gunung pikeun tapa neda ka Nu Kawasa.

Sanggeus manggihan gunung nu dimaksud luyu jeung panuduh dina impian, manèhna der waè tapa salila opat puluh poè opat puluh peuting. Dina maleman peuting panganggeusan, manènha didatangan ku hiji putri anu geulis kawanti-wanti, èndah kabina-bina. Éta tèh putri anu ngageugeuh gunung nu keur ditapaan ku manèhna. Nempo putri anu kacida geulisna, manèhna lat poho kana maksud anu saèstuna. Tug manèhna nepi kadaèk ngawin èta putri. Padahal èta putri teh oray kajajadèn.

Sanggeus mangbulan-bulan salakina indit, pamajikanana mapay-mapay nèangan nu jadi salakina. Tungtungna manèhna manggihan salakina keur dibeulit ku oray anu kajida badagna. Pamajikanana kacida pisan reuwaseunana, pamajikanana ngarasa melang ka nu jadi salaki, sieun salakina dilegleg oray. Bakat ku nyaah ka salakina, pamajikanan satèkah polah nèangan akal pikeun maèhan èta oray. Brèh, kacipta piakaleunana, nyaèta ngeurad èta oray. Teu kungsi lila oray tèh beunang kaeurad. Kusabab èta oray kacida gedèna, oray tèh digusur ku kuda, dibawa turun ti luhur gunung. Sanggeus tepi ka hiji tempat, kuda tèh dicangcang dina hiji tangkal. Kiwari tempat nyangcang èta kuda tèh, katelah lembur Cikuda.

Barang kasampak èta oray rèk dipaèhan ku pamajikanana, salakina geuwat ngahalangan sangkan pamajikanana tong maèhan èta oray, sabab tetempoan salakina mah, èta oray tèh putri anu kacida geulisna. Pamajikanana kacida pisan ambekna. Kusabab keuheul, èta oray dipaèhan kaasup salakina nu geus teu inget deui ka pamajikanana.

Heuleut saminggu ti harita, bangkè oray jeung layon salakina ngiles taya raratanana. Ceuk carita mah ngajadi oray, nu tuluyna nyicingan èta gunung, nu kiwari katelah gunung geulis nu pernahna di Jatinangor Kabupaten Sumedang.

LEGENDA GUNUNG GEULIS

Dikisahkan pada zaman dahulu kala ada sepasang suami istri yang telah lama hidup berumah tangga, namun belum dikaruniai seorang anak pun. Suaminya sangat ingin memiliki anak. Ia sangat rajin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar lekas dikaruniai anak.

Tersebutlah pada suatu malam, suaminya mendapatkan petunjuk melalui sebuah mimpi, bahwa ia harus menuju suatu tempat yang berada di sebelah timur kampung mereka. Ia harus mendatangi sebuah gunung dan harus bertapa di gunung tersebut. Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya itu kepada istrinya. Istrinya mengizinkan suaminya untuk segera melaksanakan petunjuk yang datang melalui mimpi. Kemudian suaminya pergi mengembara mencari gunung yang akan dijadikan sebagai tempat untuk bertapa, memohon kepada Yang Maha Kuasa.

Setelah menemukan gunung yang dimaksud, sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya, ia mulai bertapa yang harus dijalaninya selama empat puluh hari empat puluh malam. Pada malam terakhir, ia didatangi oleh seorang putri yang sangat cantik jelita. Putri itu merupakan makhluk penunggu gunung tersebut. Melihat putri yang sangat cantik jelita, ia jatuh hati kepada putri itu dan lupa akan niatnya semula. Akhirnya, ia menikah dengan putri itu, yang sebenarnya putri itu merupakan perwujudan seekor ular.

Setelah berbulan-bulan suaminya pergi, istrinya mencari di mana suaminya berada. Ia menemukan suaminya sedang dililit seekor ular besar. Ia merasa terkejut dan takut akan keselamatan suaminya. Karena merasa sayang pada suaminya, maka istrinya mencari cara untuk menyelamatkan suaminya. Ia mendapatkan cara untuk menangkap ular, yaitu dengan cara menjirat ular tersebut. Tidak lama kemudian, ular dapat dijirat. Karena besarnya ular tersebut, maka ular itu ditarik dengan kuda, di bawa turun dari atas gunung. Setelah tiba di suatu tempat, kuda tersebut diikat pada sebatang pohon. Tempat itu, sekarang dikenal dengan nama Cikuda.

Ketika dilihatnya ular itu akan dibunuh oleh istrinya, dengan sigap suaminya menghalangi perbuatan istrinya, sebab yang dilihatnya bukan seekor ular, melainkan seorang putri yang cantik jelita. Karena kesal, ular itu dibunuh berikut suaminya yang telah melupakan dia sebagai istrinya.

Seminggu kemudian, bangkai ular dan jasad suaminya hilang tanpa bekas. Menurut cerita jasad suaminya beruba wujud menjadi ular, kemudian hidup di gunung tersebut. Gunung itu dikenal dengan nama Gunung Geulis, sebuah gunung yang ada di daerah Jatinangor Kabupaten Sumedang.
* Diceritakan kembali oleh Taufik Ampera

Rabu, 16 Juni 2010

SEMINAR PENGAJARAN SASTRA

MENELUSURI KARYA YANG “TERSELIP”
DALAM PELAJARAN BAHASA SUNDA
[1]
Oleh: Taufik Ampera[2]
1. Pendahuluan

Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal merupakan masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas terselesaikan, dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal.

Tidak sedikit sastrawan dan ahli sastra menyoroti hal tersebut, seperti B. Rahmanto, Melani Budhianta, Taufik Ismail, Ahmad Samin Siregar, Atmazaki, Mursal Esten, Jakob Sumardjo, Sapardi Djoko Damono, dan Asrul Sani. Sastrawan dan para ahli tersebut mengeluhkan seputar kualitas lulusan, proses pengajaran, metode, guru, sarana, sampai ke kebijakan penyelenggaraan pengajaran. Berbagai keluhan itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengajaran sastra sehingga perlu ada upaya memperbaikinya.

Sisi lain yang sangat penting yang hingga kini terlupakan dan kurang mendapat perhatian dan sorotan adalah penempatan sastra anak dan sastra remaja sebagai genre sastra dalam pengajaran sastra di sekolah. Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkait dengan realitas pengajaran sastra saat ini, dampaknya terhadap pengajaran, serta alternatif jalan keluarnya. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Sunda pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.

2. Memaknai Karya yang “Terselip” dalam Pelajaran Bahasa Sunda

2.1 Pengajaran Sastra Sunda: Ada tetapi Tidak Terucap

Sistem pendidikan di Indonesia, belum menempatkan sastra sebagai bidang kajian yang penting dan berperan dalam perkembangan bangsa menuju masyarakat industri. Siswa lebih banyak diarahkan agar siap untuk menyambut derasnya perkembangan teknologi dan informasi, sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan utama. Sedikitnya perhatian terhadap sastra dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi adanya kecenderungan tersebut.

Kenyataan pengajaran sastra Sunda sebagai pelajaran yang dianggap tidak penting, dapat dibuktikan dalam muatan pelajaran bahasa Sunda. Sastra “terselip” dalam buku pelajaran tersebut. Pada setiap bagian pelajaran tidak secara jelas dibahas sebagai materi sastra. Sastra disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Sastra disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi. Lebih jelasnya pelajaran sastra terintegrasi pada pelajaran bahasa. Hal itu, menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah.

Ketidakpastian sastra dalam pelajaran bahasa Sunda, terbukti pula dengan tidak adanya ketegasan identitas pelajaran sastra. Buku-buku pelajaran selalu menampilkan “bahasa” sebagai label untuk menempatkannya sebagai bidang ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Berikut ini beragam judul buku yang menempatkan kerupawanan “bahasa”, yang sesungguhnya di dalamnya “terselip” sastra: Piwuruk Basa, Piwulang Basa, Penuntun Belajar Bahasa Sunda, Pelajaran Bahasa Sunda, Palajaran Basa Sunda, Banda Basa Sunda, dan Gapura Basa. Dalam setiap buku itu, sesungguhnya terdapat materi sastra dari berbagai genre sastra anak, sebut saja cerita fiksi, yaitu karangan yang ditulis secara prosa. Seperti berikut ini:

Mandi

Pukul lima Ida geus hudang. Tuluy ka kamar mandi, rék mandi. Mandina beresih, maké sabun mandi. Sanggeus ngosok huntu ku sikat gigi, tuluy Ida dianduk. Di kamarna Ida maké baju saragam nu bersih. Méméh indit ka sakola sasarap heula...(Iskandarwassid, 2006: 30).

Nonfiksi, yaitu karangan yang menunjuk pada kebenaran faktual, sejarah, atau sesuatu yang lain yang memiliki kerangka acuan pasti, seperti kutipan berikut:
Bumi Siliwangi

Bumi Siliwangi téh ngaran hiji gedong. Wangunna jangkung, éndah, agréng, tur sigrong. Éta gedong téh pernahna di kaléreun Kota Bandung.

Baheulana éta téh gedong anu Tuan Isola. Nu matak katelahna Gedong Isola. Dina jaman perang kamerdékaan, kungsi dipaké markas pajuang. Nya ti harita robah ngaran jadi Gedong Bumi Siliwangi...(
Sumarsono, 2003: 42).

Genre puisi anak terdapat pula sebagai materi pelajaran bahasa Sunda. Puisi hadir dengan bahasa singkat dan padat, dengan larik-larik pendek yang mungkin membentuk bait-bait, seperti berikut:

Cipalebuh

Cipalebuh barétona,
ngagulidag cainéa,
ngagenyas hérangna,
arula-arileu ti girangna,
mapay lembur mapay désa,
ngamuara di Punaga.

Waktu caah waktu saat,
angger waé mikasobat,
dipibutuh ku rahayat.


...............................

(Rusyana. 2006: 32).

Di samping materi tersebut di atas, pada buku pelajaran bahasa Sunda terdapat pula sastra tradisional. Sastra tradisional adalah sastra rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Dilihat dari segi bentuknya, sastra tradisional dapat dibedakan ke dalam fiksi dan puisi. Fiksi yang termasuk ke dalam sastra tradisional dalam buku pelajaran basa Sunda, diantaranya; Sakadang Peucang Keuna Ku Leugeut (Sumarsono, 2004a: 21-22), Sireum jeung Gajah (Sumarsono, dkk. 2005: 39-42), Sasakala Uncal Tandukan (Sumarsono, 2003: 26-27) Budak Pahatu (Sumarsono, 2003: 38-40), Pangeran Tambakbaya (Sumarsono, 2004b: 27-28), Si Kabayan jeung Mitohana (Sumarsono, 2004b: 36-38), Sasakala Selat Sunda jeung Gunung Rakata (Sumarsono, 2004b: 45-47), dan Balap Melak Cau (Rusyana, 2007: 43-44). Di samping fiksi tradisional, dalam pelajaran bahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar, terdapat pula genre puisi tradisional seperti kakawihan barudak ‘nyanyian anak-anak’, pupujian, dan pupuh.

Mencermati uraian tersebut, sebenarnya pelajaran sastra Sunda di sekolah itu ada, tetapi bukan merupakan pelajaran yang khusus, melainkan terintegrasi dalam pelajaran bahasa Sunda. Bukan sesuatu yang mengherankan bila di sekolah dasar tidak dikenal adanya sastra anak atau dalam istilah bahasa Sunda sastra bacaan barudak. Di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, tidak mengherankan jika tidak dikenal sastra remaja.

Sebaliknya negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, Jepang, Australia, dan Canada telah lama berlomba-lomba untuk mengembangkan sastra sebagai bidang kajian di berbagai jenjang pendidikan. Negara-negara maju tersebut menempatkan sastra anak dan sastra remaja sebagai teks yang harus dipelajari dan dikaji secara khusus. Sastra anak dan remaja sudah merupakan disiplin ilmu yang mapan dan banyak diminati. Para pakar dan profesor giat mengembangkan keilmuannya, para sastrawan setia melahirkan karya-karyanya, kritikus sangat bertanggung jawab mendewasakan karya yang telah dihasilkan para sastrawan, serta pembaca sastra mampu memberikan sambutan yang mengesankan. Buku-buku dan jurnal-jurnal tentang perkembangan ilmu sastra anak dan remaja berkembang dengan pesat. Perpustakaan dan galeri buku memantapkan sastra anak dan sastra remaja sebagai disiplin ilmu yang bergengsi.

2.2 Diskriminasi Sastra Anak dan Remaja dalam Pelajaran Basa Sunda

Erat terkait dengan permasalahan di atas, sastra anak berbahasa Sunda dalam diskriminasi. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman berbagai kalangan mengenai adanya genre sastra anak dan sastra remaja. Perlu dijelaskan di sini bahwa, setiap pembaca berhak atas bacaannya masing-masing, anak memiliki dunia sastra yang sesuai dengan alam kehidupannya, begitu pula remaja memiliki dunia sastranya yang sesuai dengan kehidupan mereka. Pengajaran sastra yang tidak menempatkan materi sastra sesuai dengan kelompok umur pada setiap jenjang pendidikan, merupakan pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.

Diskriminasi terhadap sastra anak dan remaja disebabkan pula oleh sempitnya memaknai sastra anak dan remaja. Sastra anak dan remaja belum diperhitungkan sebagai sastra karena dianggap memiliki nilai susastra yang rendah. Hal itu, mengakibatkan sastra anak dan remaja nyaris tidak tersentuh, sepi dari perbincangan, apresiasi, kajian, dan kritik yang mendewasakan.

Pada uraian berikut, penting dikemukakan mengenai sastra anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak hidup dalam masa perkembangan yang pesat, terutama perkembangan fisik dan perkembangan mental. Untuk menunjang perkembangan fisik dan mental anak, sastra dapat dijadikan sebagai sarana penunjang, karena sastra dapat memberikan nilai-nilai tinggi bagi proses perkembangan bahasa, kognitif, personalitas, dan sosial anak-anak.

Menurut Lukens (2003: 9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran kehidupan yang ada dalam sastra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan menanggapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.

Kewajiban orang tua dan pengajar sastra untuk menentukan pilihan sastra yang sesuai dengan jiwa anak, yaitu sastra yang menempatkan anak sebagai pengamat utama dan sebagai pusat pemilik kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman dan mengembangkan fantasinya. Sastra yang dipilih pertama-tama harus mencerminkan perasaan dan pengalaman anak. Hunt (1995; 61) mengungkapkan definisi sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak. Sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak, yang secara khusus cocok dan dapat memuaskan sekelompok pembaca yang disebut anak. Dari definisi yang dikemukakan Hunt tersebut, dapat dipahami, bahwa sastra anak adalah buku-buku bacaan atau karya sastra yang sengaja ditulis sebagai bacaan anak, isinya sesuai dengan minat dan pengalaman anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosi dan intelektual anak.

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan dan semesta (Semi, 1993: 1). Sastra merupakan karya kreatif yang mengungkapkan masalah hidup. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari sudut pandang anak, dari kacamata anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan pikiran anak (Nurgiantoro, 2005: 8). Sastra anak sebagai bacaan anak harus memiliki karakter sederhana, isi dan bentuk sastra disesuaikan dengan tingkat pengalaman anak. Tingkat pengalaman dan kematangan anak, berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak belum memahami ungkapan-ungkapan yang kompleks, apalagi ungkapan yang termasuk kategori tidak lazim sebagaimana dalam bacaan dewasa.

Hubungannya dengan perbedaan antara bacaan untuk orang dewasa dengan bacaan untuk anak, Sarumpaet (1976; 23) membuat empat rumusan tentang cerita anak-anak yang diistilahkannya sebagai bacaan anak-anak, sebagai berikut:
1. Tradisional: bacaan anak-anak adalah bacaan yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng, legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis.
2. Idealistis: Bacaan anak-anak harus bersifat patut dan universal dalam arti, didasarkan pada bahan-bahan terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan karya-karya penulis terbaik masa kini.
3. Pupoler. Bacaan anak-anak adalah baacaan yang bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan anak-anak.
4. Teoritis: Bacaana anak-anak adalah bacaan yang dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota-anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisnya juga dilakukan oleh orang dewasa.
Selain mengungkapkan rumusan mengenai bacaan atau cerita anak, Sarumpaet (1976: 24) menyebutkan tiga ciri yang membedakan bacaan anak dengan bacaan orang dewasa, seperti berikut:
1. Adanya sejumlah pantangan. Artinya, karena pembacanya anak-anak dari berbagai kelompok usia, maka hanya hal-hal tertentu dapat dikisahkan pada anak-anak. Unsur pantangan menurut Sarumpaet berhubungan dengan tema dan amanat cerita. Kalau yang dimaksud tema adalah gagasan, ide, atau persoalan yang diungkapkan dalam cerita, kita harus mempertimbangkan tema apa yang sesuai untuk anak-anak berdasarkan kelompok usia.
2. Langsung. Penyajian cerita anak cenderung beralur datar, tidak menyajikan cerita bertele-tele ataupun berbelit-belit. Hal itu dapat dirumuskan bahwa cerita anak harus dideskripsikan sesingkat mungkin dan menuju sasaran langsung, mengetengahkan aksi yang dinamis dan jelas sebab-musababnya.
3. Terapan. Cerita anak biasanya digunakan sebagai sarana pedagogi, kerapkali cerita anak digunakan untuk menggurui anak.

Pandangan Sarumpaet tersebut, senada dengan pandangan Perry Noedelman (Hillman, 1995: 3) yang menyatakan bahwa ciri sastra anak adalah bersifat didaktik, dengan pesan budaya yang melekat kuat dalam cerita-cerita yang dirancang sebagai sarana belajar anak-anak bagaimana menjadi orang dewasa. O’Sullivan (2005: 13) menegaskan bahwa dalam kesejarahannya, sastra anak sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi berikutnya.

Cristantiowati (1996:13) mengungkapkan perbedaan antara sastra orang dewasa dengan sastra anak, yaitu dalam ”kedalaman”. Hal ini berkaitan erat dengan pengalaman anak yang lebih terbatas dari pada orang dewasa, sehingga anak belum dapat memahami ide-ide rumit. Ide dalam sastra anak harus disampaikan dalam bentuk dan bahasa yang lebih sederhana.

2.2 Otonomi Pelajaran Sastra Anak dan Remaja

Belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Dengan mempelajari sastra, siswa akan memperoleh pengalaman batin yang mengesankan. Lewat penjelajahan terhadap sastra, siswa akan memahami berbagai permasalahan dan dapat pula menentukan cara mengatasi berbagai permasalahan yang di hadapinya. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Sastra memiliki kontribusi besar dalam memperkaya batin, memperhalus budi, memahami keindahan, mengembangkan kecerdasan imajinasi, mengembangkan kognisi, mengembangkan kepribadian, mengembangkan rasa sosial, memperkaya bahasa dan budaya.

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Sehingga dapat dipastikan bahwa sastra anak dan remaja menjadi makin penting ditempatkan pada ruang khusus dalam institusi pendidikan. Namun, kenyataannya kedudukan sastra dalam kurikulum pendidikan belum memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Sastra masih terbelenggu dalam pelajaraan bahasa.

Otonomi pengajaran sastra menjadi amat penting mengingat pengajaran bahasa dan pengajaran sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda. Di samping itu, berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru bahasa dapat mengajar sastra dengan baik. Guru yang memiliki kemampuan mengajarkan bahasa belum tentu mampu mengajar sastra dengan baik. Hal lain yang perlu diperhatikan, tidak semua guru bahasa memiliki minat yang kuat pada sastra.
Sebagai contoh kasus, dalam salah satu buku Pelajaran Basa Sunda untuk kelas satu sekolah dasar mencantumkan contoh pupuh maskumambang, seperti berikut.

Piwuruk

Lamun urang beunghar ku pangarti,
loba pangabisa,
peupeujeuh sing daék mikir,
sing suhud kana diajar.

Bodo taya pangabisa bakal rugi,
hirup teu sugema,
lantaran bakal kalindih,
ku jalma loba élmuna.

Baris pertama pupuh tersebut kurang memenuhi aturan pupuh yang semestinya, sehingga sulit untuk dilantunkan. Bagi guru yang tidak memiliki talenta dalam melantunkan pupuh serta tidak memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai puisi tradisional tersebut, akan menghadapi kesulitan dalam menyajikan puisi, maka dapat dipastikan bahwa apresia terhadap sasatra tersebut tidak akan memenuhi harapan.
Contoh lain, dalam buku Pelajaran Basa Sunda lainnya, tertulis satu cerita Asal-usul Lutung Hitam. Pada akhir cerita mungkin karena kesalahan penulis, atau mungkin juga kesalahan cetak terdapat kesalahan yang sangat mengganggu, seperti dapat disimak pada kutipan berikut.

Bakal ku kagét, nepi ka cét téh ragrag ngabanjur Si Lutung nu keur diuk handapeun Si

Bagi guru yang tidak memiliki imajinasi yang tinggi menghadapi wacana yang terpotong itu, akan mengalami kesulitan untuk menuntaskan cerita. Namun, sebaliknya bagi seseorang yang telah terbiasa dan berpengalaman bersastra, hal itu akan membuka ruang untuk mengembangkan keliaran imajinasinya.

Adanya pemisahan spesialisasi bidang bahasa dan sastra, memberikan peluang besar kepada guru untuk lebih meningkatkan kemampuannya. Dengan cara seperti itu, seorang guru dapat menempatkan dirinya sebagai seorang ahli yang mampu menciptakan pengajaran sastra yang kondusif.


3. Simpulan

Permasalahan pengajaran sastra Sunda di sekolah harus segera diatasi agar pengajaran sastra lebih optimal, sehingga dapat melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan bersastra. Pelajaran sastra di sekolah harus ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya dalam sistem pendidikan yang menempatkan otonomi bidang ilmu.

Materi pembelajaran sastra harus disesuaikan dengan usia siswa, karena setiap kelompok usia memiliki kebutuhan untuk bersastra sesuai dengan pengalaman hidupnya. Langkah pengakraban siswa dengan karya sastra perlu terus dilakukan agar mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra sesuai dengan dunianya.

[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Pendidikan, Penyelenggara Perkumpulan Keluarga Besar Wargi Bogor, 18 Mei 2010.
[2] Pengajar dan Peneliti Sastra Anak dan Remaja Universitas Padjadjaran

BACAAN ANAK


PELUANG MENGHIDUPKAN KEMBALI
BACAAN KOLEKTIF

Taufik Ampera

Depdiknas di bawah kepemimpinan Mendiknas yang baru, Mohammad Nuh telah bertekad untuk menjalankan program pengembangan pendidikan 2010-2014. Program yang akan dijalankan tersebut mempunyai visi ”Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif”. Misi pengembangan program terangkum dalam 5K, yakni meningkatkan Ketersediaan Layanan Pendidikan, Memperluas Keterjangkauan Layanan Pendidikan, Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan, Mewujudkan Kesetaraan dalam Meperoleh Layanan Pendidikan, dan Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan.

Untuk menjalankan misi tersebut, Mendiknas telah menyiapkan delapan program untuk mengisi kinerja 100 hari Depdiknas. Satu dari delapan program yang dicanangkan adalah program pengembangan budaya dan karakter bangsa. Bahan Ajar tersusun Januari 2010. Mitra pelaksanaan program tersebut adalah Depbudpar dan Menegpora. Program tersebut merupakan program yang mulia dalam rangka pengembangan budaya bangsa dan pembentukan karakter bangsa. Melalui program tersebut diharapkan bangsa ini memiliki jati diri yang kuat.
Untuk mencapai visi membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif dan berkembangnya kebudayaan yang dapat memperkokoh karakter bangsa diperlukan tersedianya bahan bacaan yang baik. Harus diakui bahwa bacaan dapat membentuk anak menjadi manusia yang berwatak, arif, berwawasan, dan berinteligensia tinggi di masa depan.

Jika kita mengingat kembali masa kanak-kanak kita yang telah lama berlalu, ada pengalaman yang sangat berkesan dengan hadirnya bacaan kolektif, yaitu buku bacaan yang dapat dinikmati oleh setiap anak yang hidup pada masanya. Bacaan kolektif yang pernah jaya dalam catatan sejarah masyarakat Sunda, misalnya Rusdi jeung Misnem. Buku tersebut merupakan buku bacaan bahasa Sunda untuk murid-murid SD pada masa sebelum perang. Buku tersebut menceritakan kehidupan anak-anak kampung Sunda. Gambaran kehidupan dan budaya masyarakat Sunda di perkampungan dalam buku tersebut sesuai dengan keadaan pada masa buku itu ditulis, maka tidak aneh jika dewasa ini banyak orang Sunda yang terkesan dengan penggambaran buku tersebut. Buku tersebut menjadi populer karena memiliki keterkaitan dengan jiwa pembacanya.

Sebagai bacaan kolektif, buku Rusdi jeung Misnem dapat membangkitkan pengalaman alam bawah sadar pembacanya ketika pembaca menyusuri bagian demi bagian, pembaca diajak untuk menelusuri berbagai latar yang mengaktivasi imajinasi. Buku tersebut pun merupakan produk kebudayaan yang menggambarkan kehidupan anak-anak Sunda dengan metafora yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Unsur psikologis dan kedalaman simbolis keluar dari ikon-ikon dalam bacaan tersebut. Jelas sekali Rusdi jeung Misnem sebagai bacaan kolektif pada masanya dapat memberikan kesan yang mendalam atas pengggambaran budaya dan dapat pula memperkokoh jati diri suatu kelompok masayarakat akan kecintaannya terhadap kebudayaan yang diusungnya. Demikian pula dengan bacaan kolektif lainnya, seperti Taman Pamekar, Panggelar Boedi, dan Ganda Sari.

Sayang sekali tradisi bacaan kolektif telah lama mati terlindas kemajuan media. Bacaan-bacaan yang ada kurang memberikan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Sehingga beberapa generasi yang tidak merasakan hadirnya bacaan kolektif tidak memiliki pengalanam bersama dalam memaknai hidup. Berkaca pada kenyataan tersebut, adanya kebijakan Mendiknas yang tertuang dalam program 100 hari dapat memberikan peluang untuk menghidupkan kembali tradisi bacaan kolektif sebagai bahan ajar di sekolah. Untuk mewujudkan itu, bukan merupakan suatu kerja yang sulit sebab sebelum perang pun di tanah air tercinta ini telah lahir buku bacaan yang berkualitas yang membekas pada relung hati, perasaan, dan ingatan pembacanya. Saya yakin, bila ada kemauan dan upaya, bangsa yang besar ini akan menghasilkan kembali buku bacaan yang bermutu sebagai bahan ajar yang tentunya bermuatan budaya yang dapat mengekalkan karakter bangsa.
* dimuat pada Tribun Jabar, 9 Januari 2010

Makalah Seminar Internasional

IDENTITAS KOLEKTIF MASYARAKAT SUNDA
DALAM CERITA SI BUNGSU TUJUH BERSAUDARA

Oleh: Taufik Ampera



I. PENDAHULUAN

Cerita rakyat merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang sekaligus merupakan warisan budaya dan kekayaan bangsa. Cerita rakyat sebagai bagian dari tradisi masyarakat, memuat konsepsi kebudayaan masyarakat tempatan yang telah berlangsung dalam masa lama dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dapat dipastikan setiap suku bangsa memiliki cerita rakyat sebagai sistem proyeksi budaya masyarakat setempat. Namun, tiada seorang pun dapat menyangkal bahwa pada beberapa suku bangsa terdapat tipe cerita yang sama, sebagai akibat terjadinya kontak budaya atau terjadinya persebaran cerita, dalam kaitannya dengan proses perkembangan budaya yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu menuju terbentuknya kemapanan budaya.
Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara merupakan salah satu cerita rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Mardiyanto dan Agus Sri Danardana menunjukkan bahwa dalam khazanah sastra nusantara, cerita mengenai Si Bungsu Tujuh Bersaudara dikenal sebagai salah satu cerita rakyat (lisan) yang memiliki banyak versi. Hampir setiap daerah di seluruh kepulauan Indonesia mengenal dan memiliki cerita tentang Si Bungsu Tujuh Bersaudara, meskipun dalam judul yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di Jawa Tengah cerita itu lebih dikenal sebagai cerita Si Wuragil, di Jawa Barat Nyi Bungsu Rarang, di Lampung Si Bungsu Tujuh Bersaudara, di Aceh Cerita Si Kecil, di Simalungun Putri Ranting Bunga, di Sambas Tujuh Putri, di Sulawesi Selatan Tattadu, di Gayo Merah Mege, di Riau Si Molek dan Tanara, di Kalimantan Selatan Galuh Ciciri Mulik, di Jambi Si Nam Berenam Bertujuh dengan Putri Bungsu dan Putri Bungsu Bersuamikan Kambing, di Kaili Pinggavea, di Toraja Sadoqdogna, di Bengkulu Putri Anak Tujuh, dan di Sulawesi Sikapitu dan Datangnya Kelapa ke Muka Bumi (1994: 1).
Lebih lanjut Mardiyanto dan Agus Sri Danardana mengungkapkan bahwa biasanya, dalam cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara itu tokoh si bungsu digambarkan sebagai anak yang cerdik, mempunyai kelebihan dari anak sulung atau keenam kakaknya. Selain itu, tokoh si bungsu selalu bernasib baik, apabila menemui kesulitan ia dapat mengatasinya atau ada dewa penolong yang menyelamatkannya. Konflik antara anak bungsu dan anak sulung atau keenam saudaranya pada akhirnya selalu dimenangkan oleh si bungsu. Sudah barang tentu cerita mengenai Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia itu tidak selalu demikian. Setiap daerah mempunyai versi ceritanya masing-masing. Adanya persamaan cerita mengenai Si Bungsu Tujuh Bersaudara antara satu daerah dengan daerah lainnya itu bukanlah tercipta secara kebetulan. Hal itu terjadi karena berbagai sebab, seperti persamaan asal usul, kontak sesamanya, dan kontak dengan cipta sastra dari kebudayaan lain. Sedangkan perbedaan-perbedaan itu terjadi, mungkin, disebabkan oleh proses perkembangan cerita di masing-masing daerah tidak sama (1994: 1-2).
Masayarakat Sunda pun mengenal tipe cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara dengan banyak versi, tentunya dengan judul yang berbeda. Berdasarkan penelusuran data, dapat dikemukakan judul-judul cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang dikenal oleh masyarakat Sunda, yaitu Lutung Kasarung, Nyi Bungsu Rarang atau Si Leungli, Budak Hideung ’ Anak Lelaki Berkulit Hitam Legam’, Nyai Arum Tresna Malati, dan Putri Tujuh.
Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara sebagai cerita yang dimiliki masyarakat Sunda merupakan cerita yang kekal sepanjang zama. Cerita Si Bongsu Tujuh Bersaudara tidak terlepas dari masyarakat yang menciptakannya. Dapat dipastikan cerita tersebut adalah pancaran dari masyarakat penciptanya dalam bentuk narasi imajiner. Cerita itu tercipta dari sebuah sistem atau struktur yang diyakini secara budaya. Pancaran masyarakat yang dimiliki suatu cerita dapat dihayati faedahnya. Hasrat ini pastinya dapat dicapai melalui kajian yang mengaitkan cerita tersebut dengan kebudayaan masyarakatnya. Sehubungan itu, kajian ini difokuskan ke atas kajian makna mengenai identitas kolektif masyarakat Sunda yang ada dalam cerita tersebut. Identitas merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang terdapat pada seseorang atau sesuatu yang sebagai suatu keseluruhan memperkenalkannya atau mengasingkannya dengan yang lain. Identitas merupakan persoalan lama yang menemukan vitalitasnya dan langgam yang berbeda pada masa kini sebagaimana ditegaskan oleh Bauman:

If modern ‘problem of identity’ was how to construct an identity and keep it solid and stable, the postmodern‘problem of identity’ is primarily how to avoid fixation and keep the option open. In the case of identity […] the catchword of modernity was creation; the catchword of postmodernity is recycling. (David McCrone. 1997).

Dengan perspektif baru ini maka dalam identitas terkandung proses perjumpaan dan negosiasi, identitas menolak pemangkiran ataupun pengabaian yang sewenang-wenang terhadap jati diri. Di situ ada pilihan-pilihan tanpa henti. Tidak mungkin lagi merumuskan semacam esensi tetap suatu identitas, sebab identitas lebih sebagai hasil proses kontestasi-sementara terhadap yang lain, bukan suatu fiksasi. Identitas lebih sebagai proses representasi diri berhadapan dengan dan dalam resistensi terhadap representasi pihak yang kuat atas diri komunitas tersebut. Sehingga dapat ditegaskan bahwa persolan identitas bukanlah persoalan roots, melainkan lebih menjadi persoalan routes yang ditempuh komunitas tersebut. Dengan begitu ada pelekatan sementara pada sebentuk wacana (discourse) yang menceritakan identitas tersebut , dan menurut Stuart Hall selanjutnya terjadi proses effective suturing which to be thought as anarticulation and identification. (Engin F. Isin & Patricia K. Wood. 1999). Identitas adalah titik-titik atau jahitan yang tidak baku dari identifikasi yang diciptakan dalam wacana sejarah dan budaya.
Luas diyakini bahwa identitas budaya (dengan sengaja) dibentuk atau di bangun (lihat, misalnya Vickers, 1989; Eriksen 1993; dan Picard 1997) Pandangan yang menggganggap identitas budaya sebagai sesuatu yang dengan sengaja dibangun jelas bertalian dengan seperangkat kepercayaan seputar konsep budaya. Jelasnya, seperti dikatakan oleh Kahn (1995) dan yang lain , kebudayaan lebih bersifat organik dan terbatas ketimbang yang selama ini diklaim orang
Untuk mengungkapkan identitas kolektif dalam cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara pada pembahasan ini, kajian hanya akan dibatasi pada proses individuasi tokoh si bungsu. Proses individuasi, yaitu perwujudan secara berangsur-angsur dari tedensi tiap individu untuk mencapai keutuhan psikis, dimana ketegangan dari perlawanan-perlawanan komplementer dan kompensatoris antara kesadaran dan alam tak sadar di dalam kepribadiannya sendiri dapat didamaikan melalui lambang pemersatu yang integratif dan sudah ada dalam jiwanya sendiri, yaitu arketipe self atau diri (Jung. 1989: 16). Dengan mengungkap permasalahan kajian tersebut memungkinkan dapat diperoleh gambaran jiwa masyarakat Sunda mengenai hubungan adik-beradik dalam budaya Sunda.
Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara memiliki banyak versi, baik berupa versi kebudayaan atau versi pengarang. Sehubungan itu, kajian ini akan diawali dengan mengidentifikasi versi dan merekontruksi versi-versi yang ada, sehingga melalui kajian tersebut memungkinkan dapat diperoleh jenis versi Cerita Si Bungsu Tujuh Bersauda.


II. IDENTITAS KOLEKTIF MASYARAKAT SUNDA DALAM CERITA SI BUNGSU TUJUH BERSAUDARA

2.1 Identifikasi Versi Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara

Pada bagian ini merupakan bahasan mengenai identivikasi versi, yaitu mengidentivikasikan versi ke dalam golongannya; versi kebudayaan atau versi seorang pengarang. Peringkat yang digunakan untuk menentukan hal ini adalah dengan membandingkan isi ceritanya melalui rangkaian peristiwa sehingga dapat ditemukan pola cerita yang standar. Pola cerita yang standar inilah yang disimpulkan sebagai versi suatu kebudayaan atau versi suatu kelompok, sedang variasinya adalah versi seorang pengarang. Untuk menentukan pola yang standar pada setiap cerita dicari indeksnya melalui Type-Index dan Motif-Index. Dari hasil penelusuran pola cerita terhadap data yang dijadikan bahan kajian, dapat dijabarkan pola cerita sebagai berikut.

1. Pola pertama, Cerita Pantun Lutung Kasarung: Protagonis disingkirkan dengan cara diasingkan ke dalam hutan, lalu bertemu dengan penolong. Kehadiran penolong dapat menyelamatkan protagonis (si bungsu) dari upaya licik keenam kakaknya, dari mulai membebani dengan berbagai pekerjaan yang mustahil, hingga upaya untuk membunuhnya. Protagonis pada akhirnya dapat kembali ke istana dan diperistri oleh seorang pangeran.

2. Pola kedua, Cerita Nyi Bungsu Rarang atau Si Leungli: Tokoh protagonis dibebani pekerjaan oleh keenam saudaranya lalu dikucilkan. Ketika tokoh protagonis mencari pekerjaan, bertemu dengan seorang anak yang sedang memancing ikan. Protagonis menerima seekor ikan kecil yang diberikan oleh anak tersebut, lalu ikan itu dipeliharanya hingga besar. Ikan milik protagonis dicuri keeanam saudaranya. Protagonis hanya menemukan tulang dan kepala ikan yang dibuang oleh saudaranya. Tulang ikan dikubur, kemudian tumbuh menjadi sebatang pohon berbuahkan permata. Pohon ajaib itu menarik perhatian pangeran. Protagonis mendapatkan ganjaran diperistri oleh seorang pangeran.

3. Pola ketiga, Cerita Budak Hideung ’Anak Lelaki Berkulit Hitam Legam’: Protagonis dikucilkan oleh keenam saudaranya karena malas dan buruk rupa. Anak lelaki berkulit hitam meminta ibu angkatnya untuk melamar putri di kerajaan. Keenam putri menolak lamaran tersebut. Hanya putri bungsu (protagonis) yang berkenan menerima lamaran anak berkulit hitam. Protagonis dimandikan lalu berubah menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita. Keduanya pergi ke sebuah tempat, lalu anak berkulit hitam itu membantingkan sebuah labu dan menjelmalah sebuah kerajaan, ia pun berubah pula menjadi seorang kesatria tampan rupawan yang bernama Pangeran Danuwarsa. Hiduplah keduanya di kerajaan baru dengan nama Nagara Cihideung Girang.

4. Pola keempat, Cerita Nyi Arum Tresna Malati: Protagonis disakiti oleh keenam saudarnya, lalu disuruh mencuci, tetapi cuciannya hanyut. Ketika mencari cuciannya, protagonis bertemu dengan seorang kakek yang kelaparan. Protagonis memberikan makanan yang dibawanya dari rumah kepada kakek tersebut. Kemudian protagonis mendapat ganjaraan biji-bijian. Biji-bijian itu ditanamnya di atas kuburan ibunya. Kemudian tumbuh pohon ajaib. Pohon ajaib itu menarik perhatian pangeran. Protagonis mendapatkan ganjaran diperistri oleh seorang pangeran.
5. Pola kelima, Cerita Putri Tujuh: Protagonis disakiti oleh keenam saudaranya, kemudian disingkirkan dengan cara diasingkan ke dalam hutan. Protagonis mendapatkan seekor ikan. Raja jatuh sakit, kemudian mengerahkan seluruh rakyat untuk mencari ikan mas sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Protagonis dapat menyembuhkan raja berkat ikan mas ajaib. Ikan mas menghilang tiada berbekas, lalu muncul seorang kesatria. Protagonis menikah dengan kesatria tersebut.

Setelah mencari pola baku cerita pada kelima versi cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara, menunjukkan bahwa cerita tersebut mempunyai dua tipe cerita, yaitu tipe cerita ”Cinderella” (Aa Th Tipe No. 510) dan tipe cerita ”The Kind and the Unkind Girls” ’ Gadis baik dan jahat’ (Aa Th Tipe No. 480). Motif cerita yang terkandung di dalamnya adalah ”Unpromising heroine” ’tokoh wanita yang tidak ada harapan dalam hidupnya’ (No. L102) (lihat pula Danandjaja, 1991: 98). Motif-motif cerita yang ditemukan dalam cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara mengkonfirmasi hasil penelitian Birgitta Rooth tentang motif-motif lengkap yang ada pada tradisi Melayu dari dongeng Cinderella (periksa Danandjaja, 1991: 100-101). Motif-motif tersebut adalah ”Saudara-saudara perempuan”; ”Saudara perempuan bungsu”; ”Seekor ikan”; ”Tugas mencuci”; ”Pembantaian terhadap binatang itu”; ”Mengubur tulang-tulangnya”; ”Dari sisa-sisa jasatnya timbul sebatang pohon ajaib”; ” Yang dapat menyediakan kekayaan”; dan ”Memetik buah”.
Dengan menguraikan pola cerita pada setiap versi dapat diidentifikasi pola baku cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara. Pola baku adalah pola cerita yang selalu muncul dalam setiap versi. Pola baku tersebut dilacak dari kisahan pokok, yaitu pada alur yang berhubungan langsung dengan temanya, seperti tema perselisihan antarsaudara. Berdasarkan atas kajian pola cerita terhadap data yang ada, maka dapat diidentifikasikan bahwa kelima versi cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara merupakan versi kebudayaan. Pada setiap versi cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara menunjukkan pola yang sama dengan motif-motif cerita yang berasal pada satu tradisi penceritaan.


2.2 Individuasi Tokoh Si Bungsu

Tipe cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang tersebar dan dikenal oleh masyarakat Sunda mengisahkan tokoh cerita tujuh bersaudara. Ketujuh bersaudara itu, semuanya merupakan perempuan dengan peran sentral pada anak bungsu. Inti cerita dari ketiga versi tersebut, si bungsu mengalami penderitaan karena keserakahan dan iri dengki saudara-saudaranya. Pada perkembangan cerita, dikisahkan si bungsu dapat mengatasi semua kesulitan yang dihadapinya. Akhirnya si bungsu mendapatkan kebahagiaa. Semua versi cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang dikenal pada masyarakat Sunda memperlihatkan persamaan, yaitu adanya persaingan antarsaudara (sibling rivalry). Adanya persaingan antarsaudara, maka isi ceritanya tidak memperlihatkan adanya peranan orang tua, baik orang tua kandung maupun orang tua tiri. Ketidakhadiran seorang ibu lebih mempertegas peran keenam saudaranya dalam pembentukan karakter si bungsu. Dalam cerita tipe seperti ini, keenam saudara si bungsu merupakan simbol sisi negatif seorang kakak, karena dalam kehidupan sehari-hari arti seorang kakak pada umumnya ditekankan hanya pada sisi positifnya sahaja dan sikap semacam ini yang diterima masyarakat. Oleh karena itu, keenam saudara si bungsu mempunyai sifat yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan saudara kandung dalam kenyataan.
Perilaku buruk keenam saudara si bungsu telah menjadikan si bungsu sebagai tokoh yang terisolasi, terbuang, dan terusir. Titik ini merupakan awal perjalanan si bungsu menjadi seorang yang terasing dari lingkungannya. Sebuah bagaian perjalanan menuju individuasi. Si bungsu menjadi simbolisme pada keterpisahan. Si bungsu merupakan gambaran sosok yang tersingkirkan, tidak memiliki orang tua, kehilangan keterkaitan, dan simbol seseorang yang harus bertahan hidup tanpa perawatan atau perhatian. Namun demikian, si bungsu dapat menjadi mandiri karena mengalami sisi negatif dari keenam saudaranya; jadi sejatinya keenam saudaranya itu telah memajukan perkembangan psikologis si bungsu. Dengan kata lain, makna cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara dalam budaya Sunda bahwa sisi negatif yang diperlihatkan oleh seorang kakak kepada adik bungsunya berguna untuk pertumbuhan jiwa menuju proses kedewasaan. Bila seorang kakak hanya memperlihatkan sisi baiknya, maka anak bungsu dapat menghadapi kesulitan dalam proses kedewasaan. Perlakuan buruk keenam saudaranya merupakan proses menuju pendewasaan si bungsu untuk mencapai identitas pribadi dan mencapai realisasi yang lebih tinggi.
Untuk mencapai semua itu, si bungsu harus bekerja keras dan mengalami perlakuan buruk dari keenam saudaranya. Perlakuan buruk itu, merupakan dorongan bagi si bungsu untuk menjadi ulet, mengembangkan kemandirian dan ketabahan hati hingga pada akhirnya si bungsu memperoleh kebahagiaan, penderitaan adalah bagian dari proses menjadi mandiri dan dewasa. Sedangkan keenam saudaranya yang selalu memperlakukan si bungsu dengan semena-mena, tidak memperoleh kebahagian seperti yang didapatkan si bungsu. Apa yang muncul dalam diri si bungsu adalah energi fisik baru. Dunia yang mengidentifikasikan dengan imaji si bungsu menitik pada pembentukan arketip baru mengenai seorang anak perempuan yang terpisah dari lingkungannya, yang terlukai oleh sejumlah pengalaman akibat persaingan saudara-saudaranya, serta seorang anak yang memiliki skala emosi manusiawi dan nilai-nilai yang diyakini untuk menunutunnya pada hal-hal yang benar.
Tokoh Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang terdapat dalam budaya Sunda semuanya merupakan perempuan. Hal ini mencerminkan kebudayaan kosmologi Sunda lama dalam hubungannya dengan azas lelaki dan perempuan. Pada cerita pantun Lutung Kasarung penuh dengan gambaran Dunia Atas, bahkan uraian tentang pohaci amat rinci. Seperti kita ketahui, bahwa peranan Sunan Ambu sebagai ”eksekutif” Dunia Atas cukup jelas. Dunia atas berazas perempuan dan dunia manusia berazas lelaki. Lutung Kasarung penuh ajaran tentang berhuma, menyimpan padi, menumbuk padi, dan memasaknya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah tugas perempuan. Inilah sebabnya, pantun Lutung Kasarung menampilkan seluruh anak Prabu Tapa Agung perempuan semua.
Dalam cerita Nyi Bungsu Rarang atau Si Leungli digambarkan pula aktivitas perempuan dalam menumbuk padi, memasak serta tata cara merawat rumah. Begitu pula halnya dalam cerita Nyai Arum Tresna Malati digambarkan pula aktivitas mencuci pakaian yang dilakukan oleh si bungsu, Nyai Arum Tresna Malati. Dalam cerita Budak Hideung digambarkan pula keenam putri bersaudara, kecuali si bungsu meninun kain. Semua itu menggambarkan pekerjaan yang bersifat domistik yang dapat dilakukan oleh perempuan. Semua pekerjaan yang berhubungan dengan perempuan mempresentasikan bahwa perempuan Sunda memiliki kemampuan yang tinggi dalam melaksanakan peran dan fungsinya dalam kehidupan berumah tangga.
Perselisihan si sulung melawan si bungsu, Purbararang dengan Purbasari, keenam saudara adik-beradik dengan Nyi Bungsi Rarang, keenam saudara adik-beradik dengan Nyi Putri Arum Sari, dan keenam saudara adik-beradik dengan Nyai Arum Tresna Malati menggambarkan dualisme kosmologi, yakni keperempuan dan kelelakian, dalam-luar, kakak-adik. Purbararang atau anak sulung dalam tipe cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara, dalam kategori kosmologi Sunda dapat dibaca sebagai pihak lelaki, pihak luar, pihak aktif, kering, ayah, depan. Sedangkan Purbasari dapat dibaca sebagai pihak perempuan, pasif, dalam, basah, ibu, belakang. Dualisme antagonistik itu saling bertentangan dan mengalahkan. Si sulung ingin mengalahkan si bungsu. Lelaki mengalahkan perempuan.
Kenyataaan bahwa dalam suatu lingkungan selalu ada karakter-karakter baik dan jahat, bahkan dalam diri individu pun terdapat sisi jahat dan sisi baik. Pada kisah ini, baik dan buruk bukan sebuah kontinum yang harus saling dibenturkan, tetapi merupakan hal-hala dimensional dalam kehidupan yang justru harus diintegrasikan. Dalam perspektif Jungian, proses ini menggambarkan individuasi, proses mencapai keutuhan diri sendiri.
Si bungsu tumbuh sebagai anak yang hidup dalam nuansa kesendirian dan selalau dirundung penderitaan, seperti halnya banyak anak yatim piatu dan anak-anak lainnya yang teralienasi. Si bungsu juga memimpikan datangnya seorang pahlawan yang akan menyelematkan dan membawanya keluar dari penderitaan. Dalam perjalanan cerita, si bungsu menemukan bahwa dirinya dapat berbicara dengan ikan di kolam, membuatnya makin merasa tidak nyaman tinggal dalam dunia manusia normal. Kehidupan Si Bungsu sebagai yatim piatu, banyak dihabiskan dalam kesendirian dan penderitaan. Si bungsu merupakan orang yang disingkirkan dalam keluarga. Marie-Luise Von Franz, dalam The Interpretatations of Fairy Tales, menjelaskan bahwa dalam konteks arketipal, “gambaran sosok yang ditinggalkan” lebih merupakan suatu kedalaman makna, simbolisme bahwa sosok Tuhan baru dicari serta ditemukan di kedalaman sudut bawah sadar dari psike dan ketika orang merasa tidak dipedulikan.


2.3 Inisiasi Sebagai Proses Menunju Manusia Spiritual
Cerita Lutung Kasarung sebagai versi cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara, menceritakan pembentukan mandala vertikal dalam diri tokoh utamanya Purbasari Ayu Wangi. Proses menjadi ”orang suci” atau ”manusia sempurna” yang menyatu dengan dunia atas merupakan alur ceritanya. Peristiwa pembuangan Purbasari oleh kakaknya ke dalam hutan merupakan penderitaan yang harus diterima dengan sabar. Purbasari meskipun masih amat remaja, telah mencapai pemahaman hakikat hidup, yakni bahwa kemuliaan dan kehinaan, kekayaaan dan kemiskinan, sehat dan sakit, suka dan duka, keduanya harus diterima sama. Purbasari menerima hinaan kakaknya itu sebagai anugrah dunia atas juga. Purbararang adalah simbolisasi manusia yang membiarakan diri dikuasai kekuatan jahat, yang haus kekuasaan.

Pembuangan Guru Minda ke dunia manusia merupakan hukuman atas perbuatannya melirik dengan birahi waktu menghadapi Sunan Ambu, sang ibu. Kalau kita bandingkan dengan pembuangan Purbasari, justru Purbasari tak melakukan kesalahan apapun. Dunia atas dibuang atas kesalahannya sendiri, sedangkan dunia manusia dibuang atas kesalahan orang lain. Ini semakin menunjukkan kualitas Purbasari yang sedang mengalami proses sebagai manusi spiritual. Keduanya dibuang ke hutan, wilayah bukan manusia, wilayah ambang, antara dunia manusia dengan dunia para hyang.

Hutan adalah simbol arketipal dari alam bawah sadar; sesuatu yang misterius, rahasia, fertilitas, pertumbuhan, dan insting primitif. Dalam cerita Lutung Kasarung, Purbasari dibuang ke huta. Semua itu adalah gambaran inner self yang sedang menjalani suatu tuntutan sebagai bagian tugas individuasi. Ada keberanian yang harus ditumbuhkan untuk menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu muncul dan bisa jadi belum pernah diketahui sebelumnya. Di dalam ranah hutan ini, tidak ada sosok ayah atau ibu yang melindungi sang anak. Si anak harus melakukan trial and error sendirian untuk dapat tumbuh.

Begitu pula halnya dengan tokoh Nyi Bungsu Rarang, Nyai Arum Tresna Malati, dan Nyi Putri Arum Sari merupakan tokoh-tokoh yang mengalami keterasingan dan penderitaan. Ketiga tokoh si bungsu tersebut sedang mengalami proses sebagai manusia spiritual. Proses inisiasi yang dialami si bungsu merupakan perjalanan yang harus dilalui dalam kaitannya untuk menjadi manusia spiritual. Hal ini merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan fungsi ritual adalah liminalitas. Liminalitas adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami keadaan ambigu yaitu, keadaan neither here nor there (tidak di sini dan juga tidak di sana). Berarti individu sedang masuk ke tahap betwixt (di tengah-tengah) dan between (antara). Pengalaman liminal ini membuat si bungsu sadar diri, sadar akan eksistensinya. Pada tahap liminal ini, si bungsu tengah menjalani ritus inisiasi menuju manusia spiritual, sedang melakukan refleksi diri. Si bungsu dalam proses inisiasinya telah atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang memasuki masa tertentu pula.

2.4 Identitas Kolektif Masyarakat Sunda

Berdasarkan kajian proses individuasi tokoh si bungsu dalam tipe cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara pada bahasan berikut ini akan diuraikan identitas kolektif masyarakat Sunda. Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara dalam sastra Sunda merupakan cerita yang mendekontruksi mitos yang berkembang sebelumnya terhadap pandangan anak bungsu. Anak bungsu memiliki citra sebagai anak yang manja, malas, dan tidak dapat hidup mandiri. Melalui cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara masyarakat Sunda merekontruksi pencitraan si bungsu sehingga anak bungsu memiliki pencitraan yang berlainan. Si bungsu memiliki identitas baru sebagai seseorang yang memiliki identitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan keenam saudaranya. Proses inisiasi yang dialami si bungsu merupakan perjalanan yang harus dilalui dalam kaitannya dengan pencapaian identitas baru sebagai manusia spiritual.

Si bungsu merupakan simbolisme seorang anak yang kehilangan arketipe persaudaraan (archetype of comradeship). Relasi kakak beradik berpusat pada suatu daya tarik sentral kepedihan. Relasi kakak beradik dalam cerita tersebut menggantikan ketidakhadiran orang tua, baik orang tua kandung maupun orang tua tiri. Berbeda dengan tipe cerita lainnya, tipe cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara tidak menghadirkan tokoh orang tua. Ketidakhadiran orang tua lebih menegaskan proses individuasi si bungsu dan pembentukan identitas ketika si bungsu berada pada tahap krisis identitas akibat adanya persaingan antarsaudara. Kawai mengatakan bahwa banyak gadis remaja pada masa pubertas menjadi kritis atau meremehkan dan malahan membenci ibunya serta meragukan apakah ia benar ibu kandungnya. Hanya melalui periode ini seorang gadis menjadi tidak tergantung pada ibunya. Hal ini, dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa tokoh protagonis, anak perempuan tiri dalam banyak cerita rakyat menikah dan berbahagia. Dalam cerita rakyat tokoh ibu tiri adalah simbol dari sisi negatif seorang ibu, karena dalam kehidupan sehari-hari arti keibuan pada umumnya ditekannkan hanya pada sisi positifnya saja dan sikap semacam ini yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, ibu tiri dalam cerita rakyat mempunyai sifat yang jauh lebih buruk daripada ibu tiri dalam kenyataan (Kawai, 1988: 69).

Selanjutnya, Kawai menyatakan bahwa seorang wanita dapat menjadi mandiri karena mengalami sisi negatif dari keibuan; jadi ibu tiri memajukan perkembangan psikologis anak perempuan. Dengan kata lain, makna cerita rakyat bertema anak tiri adalah bahwa seorang ibu harus memperlihatkan sisi negatifnya kepada anak perempuannya untuk pertumbuhannya. Bila seorang ibu hanya memperlihatkan sisi baiknya, maka anak perempuan dapat menghadapi kesulitan dalam proses kedewasaannya (1988: 137).

Penafsiran Kawai ini selaras dengan penafsiran Bettelheim yang mengatakan bahwa dalam kehidupan seorang anak dia harus mengalami menjadi ”Cinderella” untuk mencapai identitas pribadi dan mencapai realisasi diri yang lebih tinggi. Dengan mengambil contoh protagonis Cinderella yang harus bekerja keras dan mengalami perlakuan buruk ini justru merupakan dorongan bagi tokoh untuk menjadi ulet, mengembangkan inisiatifnya dan ketabahan hati. Sedangkan saudara tiri Cinderella yang selalu mendapat perlakuan baik dari ibunya sepanjang cerita, tidak mencapai apapun dalah hidupnya dan tidak mengembangkan kepribadiannya sendiri karena harus selalu mendapatkan atau diberi petunjuk oleh ibunya (1977: 273-276). Peran ibu tiri atau ibu kandung pada cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara digantikan oleh keenam saudara kandungnya. Keenam saudaranya kandungnya yang sebenarnya andil dalam pembentukan identitas si bungsu menuju manusia spiritual.

Tokoh Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang terdapat dalam budaya Sunda semuanya merupakan perempuan. Sosok perempuan yang ditampilkan pada cerita tersebut ialah perempuan yang mampu mencapai keutuhan diri sendiri, yaitu perempuan yang memiliki kemampuan tinggi dalam melaksanakan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Penampilan perempuan dalam cerita itu terkait dengan sistem proyeksi masyarakat Sunda bahwa perempuan Sunda harus memiliki identitas yang memancarkan keutuhan diri sendiri.



III. SIMPULAN

Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara merupakan produk budaya masyarakat Sunda yang menggambarkan penderitaan anak bungsu, sosok yang tersingkirkan, kehilangan keterkaitan, dan simbol seseorang yang harus bertahan hidup tanpa perhatian. Melalui proses individasi, pada akhirnya si bungsu mampu mencapai identitas baru. Si bungsu menemukan identitas dirinya karena mengalami sisi negatif dari keenam saudaranya, keenam saudaranya itu telah memajukan perkembangan psikologis si bungsu.

Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara membangkitkan hal-hal arkais yang berhubungan dengan ketidaksadaran kolektif dan keliaran imajinasi masyarakat Sunda sebagai pemilik cerita itu. Cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara menawarkan penyadaraan akan nilai-nilai kehidupan.
* Disampaikan pada Simposium Kebudayaan
Indonesia - Malaysia XI Tahun 2009.

BACAAN ANAK


BACAAN SUNDA ANAK-ANAK NAN MELAMPAUI ZAMAN*

Penerbitan buku bacaan suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya penerbitan bacaan anak berbahasa Sunda. Menurut Christantiowati (1996), selama kurun waktu 1908 – 1945, bacaan anak terbit dalam berbagai bahasa, yaitu bahasa Indonesia (Melayu), bahasa Jawa, bahasa Madura, dan bahasa Sunda. Tahun 1908 ditetapkan sebagai awal pendirian Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) oleh pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1945 ditetapkan sebagai batas akhir karena pada tahun itulah Jepang mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia.

Dalam kurun waktu 1908 – 1945, tercatat tiga orang penulis bacaan anak berbahasa Sunda yang cukup produktif menulis buku. Ketiga penulis tersebut adalah D.K. Ardiwinata, Satjadibrata, dan Samsoedi.
D.K. Ardiwinata (1866-1974), dikenal sebagai pengarang roman pertama dalam bahasa Sunda dengan judul Baruang ka nu Ngarora (Racun bagi Para Pemuda) yang diterbitkan pada tahun 1931. Jauh sebelum itu, pada tahun 1910 D.K. Ardiwinata bersama dengan M. Saleh melalui penerbit Volkslectuur menerbitkan buku bacaan anak dalam bahasa Sunda dengan judul Dongeng-dongeng Soenda I . Masih pada tahun 1910, D.K. Ardiwinata dengan penerbit yang sama menerbitkan Dongeng-dongeng Soenda II. Setahun kemudian, pada tahun 1911 D.K. Ardiwinata bersama Wadiwasta menerjemahkan buku bacaan asing ke dalam bahasa Sunda dengan judul Pitoewah Poepoerieun: Roepa-roepa Tjarita (Nasihat yang Dapat Dimanfaatkan: Rupa-rupa Cerita), buku tersebut diterbitkan oleh Kolf & Co., Batavia. Pada tahun 1912, D.K. Ardiwinata melalui penerbit Volkslectuur menerbitkan Tjarita Djalma Paminggatan (Cerita Orang yang Suka Kabur). Lima tahun kemudian, pada tahun 1917, D.K. Ardiwinata melalui penerbit Drukkerij, Batavia menerbitkan Dongeng Warna-warna.Tahun 1921, D.K. Ardiwinata bersama dengan Prawirawinata melalui Balai Poestaka menerbitkan Tjarita Si Alpi (Cerita Si Alpi). Pada tahun 1922, D.K. Ardiwinata bersama R. Memed melalui penerbit Weltevreden menerbitkan bacaan anak berjudul Dongeng Paloekna (Dongeng Pilihan).

Satjadibrata (1886-1970) sebagai penulis bacaan anak selama kurun waktu 1908 – 1945, telah menerbitkan sebanyak delapan judul buku. Pada tahun 1931, Satjadibrata melalui Balai Poestaka menerbitkan Sakadang Peutjang (Sang Kancil) dan Lalakon Si Tjongtjorang (saduran dari Pinokio). Satu tahun kemudian, pada tahun 1932, Satjadibrata melalui Balai Poestaka menerbitkan tiga judul buku; Wawatjan Sastra-Sastri Cerita Sastra-Sastri), Tiloe Dongeng Lenjepaneun (Tiga Dongeng untuk Dihayati ), dan Boedak Timoe (Anak yang Ditemukan) - berupa buku saduran. Buku Silih Tipoe (Saling Tipu) karya Satjadibrata diterbitkan Balai Poestaka pada tahun 1933. Pandoe Panilih (Pandu Pilihan) dan Sari Poestaka (Sari Pustaka) karya Satjadibrata diterbitkan Balai Poestaka tahun 1936.

Samsoedi (1899-1987) merupakan pengarang Sunda yang mengkhususkan menulis cerita anak-anak. Buku-buku cerita yang telah diterbitkannya adalah; Tjarita Boedak Minggat ( Kisah Anak Minggat), Tjarita Si Diroen (Kisah Si Dirun), Boedak Teuneung (Anak Pemberani), ketiganya diterbitkan Balai Poestaka pada tahun 1930. Tahun 1931, Samsoedi melalui penerbit Balai Poestaka menerbitkan Djatining Sobat (sahabat Sejati) dan Babalik Pikir (Insyaf). Buku terbitan terakhir Samsoedi pada kurun waktu 1908 – 1945 adalah Soerat Wasiat (Surat Wasiat) yang diterbitkan Balai Poestaka tahun 1935. Atas jasa-jasanya, nama Samsoedi sejak tahun 1993 oleh Yayasan Kebudayaan Rancage diabadikan sebagai nama hadiah penulisan buku untuk anak-anak dalam bahasa Sunda, yaitu Hadiah Samsudi.

Ketiga penulis tersebut, telah memberikan sumbangan yang berharga pada sejarah bacaan anak di Indonesia, khususnya bacaan anak berbahasa Sunda. Beberapa karya yang telah diterbitkan masih banyak mendapat sambutan dan tanggapan pembaca saat ini. Karya-karya ketiga penulis tersebut merupakan karya-karya yang sangat berarti – karya-karya yang mampu hidup jauh lebih lama dari penulisnya. (Taufik Ampera, M. Hum. Dosen Program Studi Sastra Sunda UNPAD).


· Dimuat pada kolom LITERASI (KAMPUS)
Pikiran Rakyat, 16 Oktober 2008