Jumat, 11 November 2011

PRANATA SOSIAL SEBAGAI DASAR KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

PRANATA SOSIAL SEBAGAI DASAR KEHIDUPAN BERMASYARAKAT[1]

Makalah disampaikan dalam pembekalan Pasanggiri Mojang Jajaka Kabupaten Bandung, 12 Juli 2011

Oleh: Taufik Ampera[2]

1. Pendahuluan

Masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang berbudaya dalam kehidupannya tidak lepas dari pranata sosial. Pranata sosial menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata sosial menurut Herskovits, tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (Harsojo, 1967: 157).

Hetzler secara lebih rinci mendefinisikan pranata sosial sebagai suatu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting (Harsojo, 1967: 157). Konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi, dan peraturan. Secara individual, pranata sosial mengambil bentuk berupa satu kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial, pranata sosial itu merupakan suatu struktur. Elwood menuturkan bahwa pranata sosial adalah sebagai suatu adat kebiasaan dalam kehidupan bersama yang mempunyai sanksi, yang disistematisasikan dan dibentuk oleh kewibawaan masyarakat.

Dari berbagai pengertian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa pranata sosial adalah suatu adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat mendatangkan sanksi bila terdapat pelanggaran. Pranata sosial yang akan dipaparkan pada makalah ini adalah sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, dan adat-istiadat masyarakat Sunda.

2. Pranata Sosial dalam Kebudayaan Sunda

2.2 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan meliputi hal-hal yang bersifat religi, yang ikut mengatur perilaku individu dalam menghadapi hidup dan kehidupannya. Sistem kepercayaan tersebut, merupakan cermin dan sikap atau perilaku individu saat mendekatkan diri pada Tuhan sebagai Pencipta alam semesta.

Sistem kepercayaan masyarakat Sunda dapat ditelusuri dari berbagai sumber adat kebiasaan masyarakat Sunda. Pada kepercayaan orang Baduy – sebutan yang digunakan oleh orang luar terhadap penduduk desa Kanékés yang terletak di Provinsi Banten, mereka sendiri menyebut dirinya orang Kanékés. Mereka mempertahankan kepercayaan yang mereka peluk sebelum Islam datang – yang dianggap pula sebagai kepercayaan orang Sunda yang asli. Kepercayaan itu disebut agama Sunda Wiwitan atau Jatisunda. Meski isi agama itu sedikit saja yang sudah diketahui, karena sikap pemeluknya yang tertutup, namun pada dasarnya mereka mempercayai akan adanya tiga jagat yang dikuasai oleh Sanghiang Keresa (Yang Maha Kuasa), Sanghiang Keresa disebut juga Batara Tunggal (Batara Tunggal); Batara Jagat (Penguasa Alam); dan Batara Séda Niskala (Yang Mahagaib). Adapun jagat yang tiga adalah Buana Nyungcung, tempat tinggal Sanghiang Keresa; Buana Panca Tengah, tempat hidup manusia dan mahluk lain; dan Buana Larang yaitu neraka. Dasar kepercayaan kepada Zat yang tunggal yang terdapat dalam agama orang Sunda (Sunda Wiwitan) itulah yang mempermudah mereka menerima agama Islam yang datang kemudian (Rosidi, 2005: 12).

Dalam kesenian pantun yang telah dikenal sejak lama, semenjak masa Kerajaan Sunda masih berdiri terungkap pula sistem kepercayaan masyarakat Sunda. Dalam pertunjukan pantun, juru pantun selalu memulainya dengan rajah, yaitu semacam mantera yang miminta kepada para leluhur dan para dewa agar jangan murka dan agar memberikan keselamatan kepada sang juru pantun, para penonton, dan lingkungan tempat pertujukkan diadakan. Pada awalnya yang dimintai keselamatan adalah para leluhur, kemudian ‘batara-batari’, “dewa-dewi” yang berasal dari kepercayaan Hindu. Setelah memeluk agama Islam, masuklah perkataan yang bernuansakan Islam, seperti Allah, Rasulullah, dan para wali dan leluhur yang berjasa mengislamkan Tatar Sunda. Demikian pula, sebelum pertunjukan berakhir, juru pantun kembali membaca rajah pamunah (doa penutup) yang antaranya berisi mengembalikan tokoh-tokoh yang diceritakan ke tempat asalnya, karena dipercaya bahwa yang diceritakannya semalam suntuk itu adalah peristiwa yang benar terjadi. Dalam rajah pamunah atau rajah pamungkas juga disebut Allah, Rasulullah dan para wali serta leluhur lainnya (Rosidi, 2005: 13).

Tradisi yang berhubungan dengan sitem kepercayaan terdapat pula di Kampung Cikondang, Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang berada pada kawasan cagar budaya di kaki Gunung Tilu. Di daerah tersebut, masih menyimpan tradisi lokal dalam bentuk upacara Wuku Taun yang diperingati setiap tahun, tepatnya pada tanggal 1 sampai dengan 15 muharam. Upacara diselenggarakan sebagai wujud ungkapan rasa syukur selesai panen. Pada intinya upacara ini memperingati atau menyambut pergantian tahun Hijriyah, agar masyarakat terhindar dari marabahaya dan mengharapkan keselamatan lahir dan batin. Pada pelaksanaan upacara tersebut ada syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk sesajen, bahan-bahannya harus alami yang berasal dari hutan keramat, sawah, dan palawija yang merupakan kekayaan bumi adat atau tanah warisan. Bahan-bahan yang dimaksud adalah padi-padian sebagai bahan nasi tumpeng dan makanan ringan, palawija, buah kelapa untuk minyak dan gula aren, dan buah-buahan, serta ayam kampung berbulu warna hitam, putih, dan abu-abu (Rosyadi, 2007: 38-39). Simbol-simbol dan makna yang menyertai dalam upacara tersebut tersirat pada sesaji adalah:

1. Opak beureum dan opak bodas; merah putih melambangkan berani karena benar, takut karena salah. Diharapkan agar manusia selalu bersih dalam berbuat, berucap, dan berniat.

2. Hayam bodas, hayam hideung, hayam hawuk; warna putih bermakna manusia harus bersih dan suci; warna hitam bermakna agar manusia selalu berinisiatif untuk berkarya dengan kesadaran; warna abu-abu bermakna cikal bakal manusia.

3. Daun pisang manggala; bermakna bahwa manusia harus memiliki karakter kuat dan be rjiwa lapang dada.

2.3 Sistem Kekerabatan

Dalam LK versi Pleyte terdapat penyebutan hubungan kekerabatan yaitu rama pulung ‘ayah angkat’ (LK, 145), ambu pulung ‘ibu angkat’(LK, 145), anak putu ‘anak cucu’ (LK, 145), anak cikal ‘anak sulung’(LK, 191), seuweu ‘cucu (LK, 191), titisan ‘keturunan’(LK, 193). Adapun dalam LK versi Eringa terdapat sistemkekerabatan seperti aki ‘kakek’ (LK, 535-538) dan rama pulung ‘bapak angkat’ (LK, 535-538).

Dalam novel PK terungkap kata-kata yang berhubungan dengan sistem kekerabatan diantaranya; minantu ‘menantu’ (PK, 18), apuputra ‘berputra’ (PK, 37), karuhun ‘leluhur’ (PK,37), dan garwa ‘istri’ (PK,49). Di samping itu, terdapat pula sebutan paman/pun bibi ‘paman/bibi saya’ (PK, 120), dan ibu eyang ‘ibunya nenek/kakek’ (PK, 160) (Abdulwahid, dkk. 2003: 18).

Sistem kekerabatan masyarakat Sunda dapat dilihat pula pada tradisi pernikahan. Setelah upacara pernikahan dilaksanakan, terbentuklah sebuah keluarga, apabila keluarga tersebut kelak mendapatkan anak, maka jadilah keluarga “batih”, yakni keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak. selain keluarga “batih”, ada sekelompok kerabat sekitar yang erat hubungan kekerabatannya, biasanya mereka diundang pada acara-acara tertentu, seaperti acara pernikahan atau peristiwa-peristiwa lainnya, kelompok tersebut disebut golongan. Golongan merupakan kelompok kekerabatan yang dalam antropologi disebut kindred. Sedangkan satu golongan yang diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh pada masa lampau disebut bondoroyot.

Mengenai prinsip garis keturunan, sistem kekerabatan pada masyarakat Sunda bersifat bilateral, yaitu garis keturunan yang berdasarkan pada hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki maupun wanita atau sistem kekerabatan yang mengakui baik kerabat dari garis keturunan ibu maupun garis keturunan bapak dengan kedudukan yang sama. Dilihat dari sudut ego, masyarakat Sunda mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, seperti berikut ini.


Ke atas: Ke bawah:

1. Kolot/bapa 1. Anak

2. Embah/Aki 2. Incu (cucu)

3. Buyut 3. Buyut (cicit)

4. Bao 4. Bao

5. Janggawaréng 5. Janggawaréng

6. Udeg-udeg 6. Udeg-udeg

7. Gantung siwur 7. Gantung siwur


Dalam urutan generasi tersebut, dua generasi ke atas dan ke bawah mempunyai hubungan yang fungsional dalam sistem kekerabatan masyarakat Sunda, sedangkan tiga generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional. Selain tujuh generasi ke atas dan ke bawah, masyarakat sunda mengenal beberapa istilah kekerabatan dari ego, yaitu; ayah dengan sebutan Apa, Bapa atau Pa. Ibu dengan sebutan Ema atau Ma. Kakak laki-laki dengan sebutan Kakang, Kaka, Akang, Kang. Kakak perempuan dengan sebutan Ceuceu, Euceu atau Ceu. Kakak ayah atau ibu dengan sebutan Uwa atau Wa. Adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan Mamang, Emang atau Mang. Adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan Bibi, Ibi, Embi atau Bi. Dalam memahami sistem kekerabatan, dikenal dua istilah: terms of address (istilah untuk menyapa) misalnya kata bapak atau pak, dan terms of reference (istilah untuk menyebut) misalnya sebutan ayah merupakan istilah untuk menyebut “suami” ibu.

2.4 Sistem Kemasyarakat

Masyarakat Sunda memandang bahwa kehidupan keluarga mengandung arti saling hubungan antara unsur-unsur keluarga, antara lain kelompok kekerabatan yang didasarkan atas prinsip yang mengatur batas hubungan kerabat dengan tidak bersifat selektif. Dalam melangsungkan hidup bermasyarakat, keluarga memiliki tiga fungsi sebagai berikut:

(1) Melindungi dan mengarahkan (mendidik) anak-anak, sewaktu mereka secara fisik maupun sosial dalam keadaan tidak berdaya dan memiliki ketergantungan.

(2) Keluarga berfungsi sebagai pengendali kehidupan seks bagi laki-laki sebagai seorang ayah. Semua kebudayaan mempunyai pembatasan dan larangan hubungan seksual anatara kerabat dekat atau saudara kandung.

(3) Keluaraga sebagai pengatur pangan terutama dalam mendisiplinkan cara-cara makan kepada anak-anak (Sariyun.2001).

Dalam sebuah keluarga, yang menjadi tulang punggung (pencari nafkah) sekaligus pelindung adalah suami atau ayah (bapak), sedang istri atau ibu bertanggung jawab atas kelancaran urusan rumah tangga sekaligus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kebiasaan menetap setelah menikah pada masyarakat Sunda adalah matrilokal, suami untuk sementara tinggal di tempat keluarga istri, kelak setelah pasangan suami istri ini mapan, mereka akan mencari tempat tersendiri yang biasanya jauh dari kerabat istri maupun dari kerabat suami yang dalam istilahnya disebut neolokal.

Keharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, memberikan pengaruh yang sangat besar dalam membentuk perilaku anak. Orang tua dalam keluarga merupakan contoh teladan bagi semua anggota keluarga. Karena itu, tingkah laku orang tua harus sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hubungan-hubungan ideal antara para kerabat pada dasarnya sama bagi para anggota masyarakat Sunda, karena di rumah dan di antara kaum kerabatlah seorang anggota keluarga dididik untuk bertingkah laku dengan baik.

Di kalangan kaum menak Sunda, ada kecenderungan mewariskan nama keluarga ayah kepada anak-anaknya, terutama pada anak laki-laki. Nama bagi masyarakat Sunda bukan hanya sekedar pembeda dari orang lain, melainkan lebih dari itu. Bagi masyarakat Sunda nama termasuk sesuatu yang sakral dan ujud penghormatan kepada seseorang. Kesakralan itu dibuktikan dengan adanya kapamalian ‘pertabuan’ pada masyarakat Sunda berupa ekspresi ulah nyebut ngaran kolot matak hapa hui ‘jangan menyebut nama orang tua (akan menyebabkan durhaka’, yang biasanya diungkapkan oleh para orang tua kepada anaknya (Satjadibrata, 1954: 146) Penyebutan nama secara langsung (tanpa menggunakan kata sapaan, terutama kepada orang yang lebih tua dan yang layak dihormati) pun pada masyarakat Sunda dianggap kurang sopan dan tidak etis. Hal ini pula yang menyebabkan penamaan orang tua menurut anak sulungnya. Pasangan yang tlah mempunyai anak, tabu disebut-sebut lagi namanya (ketentuan seperti ini cenderung tidak diacuhkan pada sebagain masyarakat Sunda sekarang). Pada masyarakat kanêkês ketentuan ini masih berlaku, misalnya bila anak sulungnya itu laki-laki dan diberi nama Nasinah maka segera orang tuanya akan mendapat panggilan Ayah Nasinah “Bapak Nasinah” dan Ambu Nasinah “Ibu Nasinah”. Demikian pula bila anak sulung itu perempuan (Danasasmita & Djatisunda, 1986: 66).

Menurut Sobarna, nama pada masyarakat Sunda dapat mencerminkan keberadaan sosial dan latar belakang geografi seseorang. Melalui namanya terkadang dapat terlihat apakah si pemilik nama itu berasal dari masyarakat golongan somah (golongan bawah), santana (golongan menengah), atau mênak (atas, bangsawan); mengenai latar belakang geografis dapat diketahui, misalnya untuk golongan bangsawan, jika pada namanya menggunakan Suria pemilik nama itu berasal dari wilayah Sumedang; Suriadilaga, Wira berasal dari wilayah Sukapura; Wirakusumah, Kusuma (h) berasal dari wilayah Bandung; Wiranatakusuma (h), Tanu berasal dari wilayah Cianjur: Wiratanudinata (Sibarani dan Tarigan,1993: 72-73).

Pada umumnya pemberian nama pada seseorang dilakukan ketika masih bayi. Biasanya setelah hari ketujuh, yaitu setelah tali pusat bayi itu kering (bekas potongan tali tembuni pada pusat perut bayi telah lepas) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981: 59; Mustapa, 1985: 31). Ada pula yang memberi nama pada bayi itu setelah berumur 40 hari, bahkan ada yang sampai beberapa tahun. Untuk sementara, bayi yang belum diberi nama itu dipanggil dengan sapaan yang paling umum Ujang, untuk laki-laki golongan menengah ke bawah dan Nyai untuk perempuan.

Menurut Sobarna, makna nama pada masyarakat Sunda ada yang diberikan dengan acuan ada pula yang tanpa acuan. Pemberian nama dengan tanpa acuan hanya dimaksudkan untuk membedakan seseorang dari orang lain, seperti nama-nama sebnagain besar masyarakat golongan bawah. Pemberian makna nama dengan acuan, dapat mengacu pada kata sapaan, keturunan, perhitungan, alam, religi, tokoh, unik, dan modis (Sibarani dan Tarigan,1993: 74).

Masyarakat Sunda sudah terbiasa hidup bergotong-royong, terutama misalnya dalam pembongkaran rumah yang akan diperbaharui, ketika musim tandur (menanam padi) dan juga musim panên (menuai padi). Hidup saling menolong yang diterpakan oleh masyarakat Sunda, sesuai dengan prinsip silih asih, silih asah dan silih asuh.

2.5 Adat Istiadat Masyarakat Sunda

Masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang kaya memiliki adat istiadat. Banyaknya adat istiadat pada masyarakat Sunda disesuaikan dengan daur kehidupan manusia itu sendiri. Dimulai dari seseorang ngidam (hamil muda) sampai seseorang itu meninggal dunia. Daur kehidupan masyarakat Sunda sarat dengan adat. Mustapa (1985) memaparkan adat istiadat orang Sunda seperti berikut:

(1) Adat pengajaran. Adat pengajaran berhubungan dengan sistem pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, yang mengajarkan agar setiap anggota masyarakat memiliki perilaku yang sesuai dengat yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Adapun yang berhak yang mengajarinya ialah orang yang lebih tua umurnya daripada yang diajari, atau orang yang banyak pengalamannya. Selain itu, orang yang memiliki ikatan keluarga dan memiliki rasa sayang kepada orang yang lebih muda umurnya dapat pula memberikan pengajaran. Pengajaran dapat disampaikan melalui contoh kebaikan, penerapan kebiasaan, nasihat, menceritakan para leluhur, menyampaikan larangan, dan sebagainya (Mustapa. 1985: 4-7).

(2) Adat orang ngidam Adat kebiasaan yang sudah tetap yang berhubungan dengan adat perempuan yang mulai merasakan kehamilan. Adapun sifat-sifatnya perempuan yang sedang ngidam[3], yaitu besar nafsunya, pemarah, banyak keinginannya, apalagi untuk makan makanan yang masam-masam. Selain itu, orang yang ngidam mempunyai sifat mudah tersinggung, sakit hati, tidak sabar disebabkan keinganan yang tidak terlaksana. Bagi perempuan yang baru mengalami kehamilan yang pertama banyak sekali pepatah orang tua, pantangan, dan tabu yang harus ditaati (Mustapa. 1985: 8-9).

(3) Adat menjaga orang hamil. Menurut masyarakat Sunda, perempuan yang sudah melewati tiga bulan masa kehamilannya, dihadapkan pada banyak pantangan yang harus ditaati. Kalau kehamilannya sudah tujuh bulan, pihak keluarga harus mengadakan sedekah, selamatan tingkeban.[4] Dalam upacara selamatan itu, disediakan macam-macam lalab, misalnya ketimun, waluh, macam-macam kacang, macam-macam ikan, telur; tapi dipantang makanan yang berasal dari binatang yang disembelih, seperti ayam, biri-biri, dan kerbau. Di samping itu, harus menyediakan pula tujuh macam bunga, bunga pinang (mayang), sebutir kelapa muda yang berwarna kekuning-kuningan., lalu diukir dibentuk dua macam wajah pria dan wanita, yaitu Arjuna dan Subadra.[5] Dalam upacara itu, semua orang tua yang hadir mengguyuri perempuan hamil itu dengan air bunga. Setelah itu, perempuan hamil tersebut disuruh berdiri, dan kainnya diganti dengan kain sarung. Kelapa muda yang telah digambari tadi dimasukkan ke dalam kain sarung kemudian dijatuhkan. Kemudian kelapa itu dibelah dua oleh suaminya. Kain sarung terus diganti dengan kain panjang sampai tujuh kali ganti, setelah selesai lalu masuk ke dalam rumah. Air bekas mandi itu dibuang oleh suaminya ke jalan yang bersimpang empat. Rujak yang telah disediakan dijual oleh yang sedang hamil kepada anak-anak, sebagai uangnya yaitu berupa pecahan genting.

Pada bulan ke delapan tidak ada lagi upacara selamatn, kecuali sekedar membuat bubur lolos (bubur yang cair) yang dibungkus dengan daun pisang lalu dibaikan kepada tetangga. Sejak itu sudah ditentukan siapa paraji (dukun beranak) yang akan menolong persalinan. Pada saat perempuan melahirkan, paraji mengurus perempuan yang melahirkan dan bayi yang dilahirkannya sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat Sunda (Mustapa. 1985: 17 -25)

(4) Adat menyunat/khitanan[6]. Melaksanakan adat khitanan bagi masyarakat sunda merupakan kewajiban orang tua, sebagai tanda seorang muslim. Adapun aturannya sebelum anak laki-laki itu disunat, orang tuanya harus menanyakan dulu kepada orang tua-tua tentang waktunya yang baik untuk mengadakan selamatan. Umur anak laki-laki yang sudah cukup untuk disunat pada umumnya jaman dahulu tidak kurang dari lima belas atau delapan belas tahun; kalau belum akil balig, belum berani bermain dengan perempuan masih belum disunat. Tetapi sekarang pada umumnya tujuh atau delapan tahun juga sudah disunat, malah ada yang lebih kecil lagi (Mustapa. 1985: 45-47).

(5) Adat menikah. Tata cara perkawinan Sunda biasanya dimulai dari acara sebelum upacara perkawinan, saat akad nikah dan walimahan atau saat upacara perkawinan dan acara setelah upacara erkawinan. Acara sebelum perkawinan terdiri dari nanyaan (meminang) dan nyangcang (mengikat calon pengantin), narikan[7], dan nyindekkeun[8]. Biasanya seminggu sebelum seserahan[9], di tempat calon pengantin perempuan diadakan tutunggulan[10] yang disebut ngaleunggeuh, sebagai isyarat kepada tetangga bahwa seminggu lagi akan diadakan pernikahan. Tiba acara seserahan, yaitu acara penyerahan calon mempelai beserta barang bawaannya kepada calon pengantin perempuan. Setelah seserahan, pada malam harinya diadakan upacara ngeuyeuk seureuh[11]. Keesokan harinya dilangsungkan upacara pernikahan, intinya ialah akad nikah. Setelah selesai akad nikah, kemudian kedua mempelai melakukan sungkeman[12] kepada kedua orang tua. Acara selanjutnya adalah; sawer[13], nincak endog[14], buka pintu[15], huap lingkung[16]. Setelah selesai rangkaian acara tersebut, kemudian dilanjutkan dengan acara numbas[17].

(6) Adat pertanian. Pada umumnya masyarakat Sunda tempo dulu merupakan masyarakat agraris. Segala kegiatan yang berhubungan dengan adat pertanian; pada waktu mulai bertani, membuka sawah, menebar benih, mengurus tanaman, dan memanenya selalu diadakan selamatan. Bagi masyarakat Sunda, padi merupakan sesuatu yang harus mendapat penghormatan yang tinggi, oleh karena itu padi biasa disebut Pohaci Nyi Sri[18] (Mustapa. 1985: 83-89).

(7) Sesuatu yang ditakuti manusia. Dalam kehidupannya, masyarakat Sunda memiliki rasa takut terutama terhadap penyakit, paceklik, dan kutukan. Mengenai penyakit banyak pengaruhnya, banyak kepercayaannya, apabila yang tidak diketahui sebabnya. Untuk mengobati penyakit, masyarakat Sunda memiliki jampi dan cara pengobatannya. Di samping itu untuk menjaga keselamatan, masyarakat Sunda mengenal pula ngaruat, yaitu upacara mementaskan cerita waang golek dengan judul batara Kala, agar selamat dari gangguan batara Kala sangkala Masalah. Pada jaman dahulu, bila ada anggota keluarga terserang suatu penyakit, maka akan dibawa berobat ke dukun, yang menjadi dukun kadang-kadang perempuan tua atau laki-laki tua yang sudah dipercaya keahliannya (Mustapa. 1985: 115-118).

(8) Adat kematian. Masyarakat Sunda memiliki sebutan bagi orang yang telah meninggal. Sebutan itu diucapkan ketika seseorang dipastikan sudah jelas meninggal. Sebutan itu adalah ‘sudah selamat”, “sudah terus”, atau “sudah berlalu”. Semua famili, sahabat, dan sanak saudara diberitahu, semuanya pada datang untuk melayat. Mayat biasanya dibaringkan di ruang tengah. Di dekat mayat itu disediakan tempat membakar kemenyan yang sudah dinyalakan. Setelah berkumpul, laki-laki mengerjakan menggali tanah pekuburan, membuat kurung batang, dinding hari (papan untuk menutupi liang lahat) untuk menutupi mayat di dalam kubur untuk menahan runtuhan tanah. Kemudian mayat dimandikan dan dibungkus kain kafan. Setelah mayat beres dikafani lalu disembahyangkan. Ketika mayat dibawa ke makam digotong oleh empat orang laki-laki sambil berzikir, dengan dipayungi dua buah payung. Sedatang ke kuburan, mayat itu langsung dikuburkan. Pada malam harinya diadakan pengajian hingga malam ke tujuh. Setelah sedekah empat puluh hari, keluarga yang ditinggalkan mulai memperbaiki makam, ada yang memakai batu ada juga yang ditembok. Di pinggir makam ditanam pohon, seperti beringin, kemboja, hanjuang, katomas, puring, atau kemuning (Mustapa. 1985: 123-132).

(9) Waktu yang dimuliakan. Menurut adat-istiadat masyarakat Sunda terdapat tahun, bulan dan hari yang diistimewakan. Tahun yang diperhitungkan dalam adat Sunda adalah tahun tutup windu. Menurut adat Sunda, bulan yang harus dihormati adalah bulan Maulud. Pada bulan maulud dipantang mengerjakan sesuatu yang dianggap besar, misalnya mendirikan rumah. Mengenai kemanfaatan bulan Maulud, biasa digunakan untuk memuja, menyepuh diri, atau untuk menguji akan kegunaan perkakas yang berupa senjata. Ada lagi bulan yang terpilih, tapi hanya menurut kebesaran agama, yaitu bulan Rajab kaitannya dengan Isra Mi’raj nabi Muhammad SAW. Selain itu bulan yan terpilih dan dianggap lebih dari yang lain adalah bulan Rewah (Syaban), terpilih untuk memperingati arwah para leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat, pada bulan Syaban tanggal lima belas, catatan perbuatan manusia dilaporkan kepada Tuhan. Ada lagi bulan yang dirayakan lebih daripada yang lain, yaitu bulan Puasa. Bulan Rayagung merupakan bulan yang dimuliakan juga. Pada bulan ini ada perayaan Idul Adha (Idul Qurban). Bulan Rayagung, terpilih sebagai bulan yang dibesarkan, biasa dipergunakan untuk kawin, terutama untuk mengharap kesenangan dan kesejahteraan. Tanggal sepuluh Muharam, merupakan hari yang dibedakan dengan hari yang lainnya Pada tanggal sepuluh Muharam banyak pertabuan yang diberlakukan. Hari Rebo wekasan pada bulan Sapar dipercaya sebagai hari yang kurang baik karena dipercaya sebagai hari turunnya banyak kecelakaan yang menimpa umat manusia (Mustapa. 1985: 138-159).

3. Perwujudan Pranata Sosial dalam Karakter Masyarakat Sunda

Karakter masyarakat Sunda yang dikenal selama ini adalah cageur, bageur, bener, pinter, teger, pangger, wantér, singer, dan cangker.

1. Cageur; manusia sunda adalah manusia yang sehat lahir batin, fisik maupun psikis.

2. Bageur, manusia sunda adalah manusia yang hidupnya tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan hukum atau manusia yang taat hukum.

3. Bener; manusia sunda adalah manusia yang lurus tujuan hidupnya. Hidupnya mempunyai visi dan misi. Mempunyai itikad (tekad, karep) yang teguh serta beiman.

4. Pinter; manusia sunda adalah manusia yang mampu mengatasi masalah hidup yang dihadapinya.

5. Teger; manusia Sunda adalah manusia yang kuat hati, tidak putus asa.

6. Pangger; manusia Sunda adalah manusia yang kuat pendirian dan tahan uji.

7. Wantér; manusia sunda adalah yang berani tampil dan mampu berdaya saing.

8. Singer; manusia Sunda adalah manusia proaktif, terampil, dan beretos kerja.

9. Cangker; manusia Sunda adalah manusia yang mampu menanggung beban hidup.

Manusia Sunda yang memiliki karakter tersebut di atas, akan mampu mewujudkan pranata sosial dalam kehidupan sehari-harinya, atau manusia Sunda yang memiliki karakter seperti itu, adalah manusia yang memiliki pemahaman dan perilaku yang berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pranata sosial sebagai produk budaya masyarakat. Manusia yang berkarakter seperti itu akan dapat mewujudkan kehidupan yang gemah ripah répéh-rapih, silih asih, silih asah dan silih asuh.

Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.

Tradisi (budaya) saling asih sangat berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari keterasingan dirinya dalam masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan ketenangan. Ini merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat sebab manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang sering diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta mendesak manusia untuk melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.

Meski demikian, budaya religius sesungguhnya memberikan peluang dalam penyerapan iptek sebab memiliki sejumlah potensi, etos keterbukaan, penalaran, analisis, dan kritis sebagai upaya perwujudan akhlak Tuhan Yang Maha Berilmu dan Mahakreatif sebagimana dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asah.

Masyarakat saling asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi saling asah melahirkan etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain sebab tanpa tradisi iptek dan semangat.ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan sehingga mudah terekploitasi, tertindas, dan terjajah. Saling asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan iptek sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi.

Dalam masyarakat religius yang saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.

Selain itu, dalam masyarakat religius kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling kontrol, tegur sapa dan saling menasihati. Hal ini dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asuh. Budaya saling asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi saling asih pada masyarakat religius. Oleh karena itu, dalam masyarakat religius seperti ini jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara serempak (simultan).

Budaya silih asuh inilah yang merupakan manisfestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan maha menjaga, kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam masyarakat religius dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup dan segala bentuk kejahatan.

4. Simpulan

Pranata sosial pada hakikatnya adalah suatu nilai-nilai luhur masyarakat Sunda yang sudah sepantasnya menjadi acuan hidup, sehingga masyarakat Sunda dapat mewujudkan kehidupan yang gemah ripah répéh-rapih, silih asih, silih asah dan silih asuh.

Dengan menghayati pranata sosial, masyarakat Sunda akan mampu membendung pengaruh budaya asing yang menyerbu kebudayaan Sunda. Walaupun demikian, kita faham benar bahwa dalam alam kesejagatan (era globalisasi adalah mustahil membendung pengaruh dari luar, maka yang harus kita lakukan adalah kemampuan mentransformasikan nilai-nilai budaya dalam kemasan budaya Sunda yang mendunia.

Daftar Pustaka

Abdulwahid, Idat, dkk. 2003. Pranata Sosial dalam Masyarakat Sunda. Jakarta: Pusat bahasa departemen Pendidikan Nasional.

Danasasmita, saleh dan anis Djatisunda, 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung; departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Harsojo. 1967. Pengantar Antropologi. Bandung; Binacipta.

Mustapa, R.H. Hasan. 1985. Adat Istiadat Orang Sunda (diterjemahkan Maryati Sastrawijaya). Bandung Alumni.

Rosidi, ajip. 2005. “Isam dalam Kesenian Sunda” dalam Seri Sundalana. Bandung: Pusat studi Sunda.

Rosyadi, dkk. 2007. Kearifan Masyarakat Jawa Barat dalam Pelestarian Lingkungan (Wilayah Priangan Timur). Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jawa Barat.

Satjadibrata,R. 1954. Kamus Basa Sunda (Cet. II). Jakarta; perpustakaan perguruan kementrian P.P. dan K.

Sariyun, Yugo. 2001. “Kehidupan Keluarga Masyarakat Sunda”. (Makalah KIBS). Bandung.

Sibarani, Robet dan Henry GunturTarigan,1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi.



[1] Makalah disampaikan dalam pembekalan Pasanggiri Mojang Jajaka Kabupaten Bandung, 12 Juli 2011

[2] Pengajar di Universitas Padjadjaran

[3] Ngidam disebut nyiram dalam bahasa Sunda, dapat diartikan dari menyiram tanam-tanaman. Diartikan sebagai tahayul, kepercayaan terjadinya manusia dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan, seperti sebutir benih yang menunggu disiram air. Pengaruh perempuan yang sedang mengandung, bagaikan tanah yang didiami benih, haus dahaga menanti disiram air yang menghidupi.

[4] Upacara adapt bagi perempuan hamil yang memasuki usia kehamilan tujuh bulan.

[5] Tokoh cerita wayang. Anak bungsu dewi Kuntinalibrata dari Pandudewanata, salah seorang persaudaraan Pandawa. Dalam wayang golek Sunda, Arjuna dikenal sebagai lalanang jagat (paling sakti di dunia), ahli tapa, berparas tampan sehingga banyak perempuan tergila-gila. Karena itu ada ungkapan kasep kawas Arjuna (tampan seperti Arjuna). Subadra adalah anak Prabu Basudewa, istri pertama Arjuna, ibu Abimanyu.

[6] Menyunat dalam Bahasa Sunda biasa disebut disunatan dari sundatan, bahasa halusnya disepitan, berasal dari disebitan, istilah yang paling baik ialah dibersihkan.

[7] Acara sebelum pernikahan, orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin perempuan dengan maksud menanyakan kepastian pelaksanaan perkawinan.

[8] Acara sebelum pernikahan, orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin perempuan dengan maksud menentukan pelaksanaan seserahan.

[9] Acara penyerahan calon pengantin pria beserta barang bawaannya kepada orang tua calon pengantin perempuan.

[10] Menumbuk padi secara beramai-ramai, beras yang telah ditumbuk akan ditanak pada waktu hajat pernikahan.

[11] Acara sebelum perkawinan dengan menggunakan seperangkat peralatan, diantaranya sirih (seureuh dalam bahasa Sunda) sebagai simbol, dengan tujuan memberikan nasihat dan ajaran kepada calon pengantin melalui simbol-simbol.

[12] Mencium telapak tangan dengan posisi sujud tanda pemberian penghormatan kepada orang tua dan memohon doa untuk berumah tangga.

[13] Petuah untuk pengantin dalam bentuk syair, diiringi dengan tembng berisi nasihat orang tua. Dilakukan setelah akad nikah.

[14] Upacara menginjak ayam telur mentah sebagai simbol kesucian seorang perempuan dan bakti seorang istri kepada suami, dilakukan setelah acara sawer.

[15] Upacara adat setelah nincak endog, Ketika kedua pengantin hendak masuk ke rumah, pengantin perempuan saja yang boleh masuk, pengantin pria menunggu di depan pintu yang tertutup. Terjadi dialog antara suami-istri yang baru itu dalam bentuk tembang. Biasanya diwakili oleh penyanyi profesional.

[16] Acara saling menyuapi. Di depan keduanya telah disiapkan makanan yang sudah dihias, tetapi yang mutlak ada adalah bakakak, yaitu ayam yang dipanggang secara utuh. Sebelum saling menyuapi, kedua pengantin harus saling menarik bakakak sehingga terbagi dua. Yang mendapat bagian lebih besar dianggap memiliki rejeki yang lebih besar. Lalu keduanya duduk bersebelahan lalu saling menyuapi nasi ketan.

[17] Selamatan yang dilakukan seminggu setelah pernikahan dilangsungkan.

[18] Sebutan kepada padi supaya lebih hormat. Pohaci Nyi Sri atau Pohaci Sanghiang Sri disebut juga Dewi Sri atau dewi Padi.