Selasa, 20 Desember 2011

Makalah KIBS II

PELUANG DAN TANTANGAN MENGHIDUPKAN KEMBALI BACAAN KOLEKTIF BERBAHASA SUNDA DALAM KOMUNIKASI GLOBAL

Oleh: Taufik Ampera

Makalah disajikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda II

19-22 Desember 2011


Abstrak

Pada perjalanan budayanya, sebagian masyarakat Sunda pernah mendapatkan pengalaman yang sangat berkesan dengan hadirnya bacaan kolektif, yaitu buku bacaan yang dapat dinikmati oleh setiap anak yang hidup pada masanya. Bacaan kolektif yang pernah jaya dalam catatan sejarah masyarakat Sunda, misalnya Roesdi djeung Misnem, Soember Aroem, dan Taman Pamekar. Sayang sekali tradisi bacaan kolektif telah lama mati terlindas kemajuan media. Bacaan-bacaan yang ada kurang memberikan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Sehingga beberapa generasi yang tidak merasakan hadirnya bacaan kolektif tidak memiliki pengalaman bersama dalam memaknai hidup.

Peluang untuk menghidupkan kembali bacaan kolektif di sekolah-sekolah sangat terbuka meskipun harus menghadapi berbagai tantangan seiring dengan perkembangan informasi teknologi. Adanya kemauan dan upaya pada setiap pihak, penulis yakin bahwa bangsa yang besar ini akan menghasilkan kembali buku bacaan bermutu yang dapat mengekalkan karakter bangsa.

Kata kunci; bacaan kolektif, peluang, dan tantangan.

I. Pendahuluan

Bacaan anak sebagai hasil dari proses kreativitas penulis, merupakan karya yang penting bagi pengembangan anak. Dari sekian banyak kegunaanya, bacaan anak dapat menjadi sumber informasi bagi anak di samping sebagai media hiburan. Sebagaimana halnya manusia dewasa, anak pun dalam kehidupannya sangat membutuhkan informasi tentang berbagai hal yang ada dan terjadi dalam kehidupan di sekelilingnya. Kebutuhan anak akan informasi dapat diperoleh melalui bacaan anak. Lewat cerita yang terdapat dalam bacaan, anak dapat memperoleh informasi tentang berbagai aspek kehidupan. Demikian pula, melalui bacaannya, anak bahkan manusia dewasa pun dapat memperoleh, mempelajari, dan menyikapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan, manusia dan kemanusiaan. Cerita yang terdapat dalam bacaan anak menawarkan dan mendialogkan kehidupan dengan cara-cara yang menarik, yang dapat dipahami oleh anak sesuai dengan perkembangan intelektualnya. Dengan membaca dan memahami suatu cerita, seorang anak akan mendapatkan pelajaran berharga tentang hubungan atarmanusia dengan berbagai persolan-persolan yang dihadapinya, yang lebih penting anak mendapatkan informasi tentang cara pemecahan, yang tentunya akan melibatkan wilayah emosinya, di samping intelegensinya.

Bacaan anak-anak merupakan bacaan yang unik dan khas, yang memiliki perbedaan karakter dengan bacaan untuk dewasa. Di samping itu, bacaan anak pun memiliki target pembaca yang khusus, pembacanya pun merupakan pembaca yang unik pula, yaitu pembaca yang memiliki jiwa yang berada dalam taraf persiapan menuju kedewasaan. Namun, tidak berarti pembaca yang termasuk pada kalompok tersebut dipandang sebagai kelompok pembaca yang ”tidak layak baca”, melainkan kelompok pembaca tersebut merupakan pembaca yang harus dipahami sebagai target audiences yang memiliki kecerdasan jiwa dan pikiran yang sesuai dengan perkembangan umurnya. Oleh karena itu, dalam menyusun dan menentukan bacaan anak harus diperhitungkan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga kita sebagai manusia dewasa tidak salah menempatkan posisi mereka di samping bacaannya.

Namun sayang sekali, seiring dengan pesatnya perkembangan zaman, tradisi bacaan kolektif yang memiliki banyak manfaat sudah terlupakan bagi sebagian masyarakat Sunda dewasa ini. Anak-anak saat ini tidak mengenal adanya bacaan kolektif, sebuah bacaan yang dapat dinikmati bersama. Bacaan yang dapat membangun dan mengekalkan jati diri masyarakat Sunda

II. Upaya Menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif

2.1 Bacaan Kolektif Tempo Dulu

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, dalam sejarah penerbitan buku bacaan bagi anak-anak di Indonesia, masyarakat Sunda patut berbangga diri karena pada tahun 1862 melalui penerbit Landsdrukkerij telah diterbitkan buku bacaan bagi anak-anak yang digali dari khazanah sastra Sunda, yaitu Syair dan Fabel Sunda karya R.H. Moehamad Moesa, kemudia satu tahun berikutnya tahun 1863 oleh penerbit yang sama diterbitkan buku bacaan Dongeng-dongeng Toeladan karya R. Prawira Koesoemah. Setelah penerbitan kedua buku bacaan tersebut, hingga tahun 1909 tidak tercatat lagi penerbitan buku-buku bacaan berbahasa Sunda, maupun buku bacaan dalam bahasa Indonesia yang digali dari khazanah sastra Sunda.

Tahun 1908 di Indonesia didirikan Komisi Bacaan Rakyat atau lebih dikenal Volkslectuur berdasarkan Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No. 12 tanggal 14 september 1908. Tugas yang dibebankan kepada komisi tersebut adalah memberikan pertimbangan kepada Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran) dalam memilih naskah yang akan diterbitkan sebagai buku bacaan untuk digunakan di sekolah-sekolah pribumi dan untuk bacaan rakyat (Balai Pustaka Sewadjarnya, 1948; dalam Cristantiowati, 1996: 40). Dengan demikian, pendidikan Komisi Bacaan Rakyat bertujuan untuk mengadakan bahan bacaan yang sesuai untuk rakyat, yang mencegah:

... kepandaian membatja dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal jang kurang baik dan djanganlah daja upaja itu dipergunakan untuk hal-hal jang kurang patut, sehingga merusakkan tertib dan keamanan negeri... (Balai Pustaka Sewadjarnya, 1948; dalam Cristantiowati, 1996: 42).

Buku bacaan berbahasa Sunda terbitan pertama Komisi Bacaan Rakyat adalah Dongeng-dongeng Soenda karangan M. Saleh dan Ardiwinata tahun 1910. Sejak itu mulai banyak diterbitkan buku-buku bacaan anak-anak berbahasa Sunda. Di antaranya ada beberapa buku yang dapat digolongkan sebagai buku bacaan kolektif, seperti Roesdi djeung Misnem, Gandasari , dan Soember Aroem. Buku-buku tersebut dijadikan sebagai buku bacaan bagi siswa di sekolah-sekolah. Di bawah ini penulis memaparkan tiga buah buku yang pernah populer pada lingkungan masyarakat pembacanya.

Roesdi djeung Misnem sebagai buku bacaan anak tempo dulu diperkirakan terbit pada tahun 1913. Bila diamati, sebenarnya tahun penerbitan pada cetakan pertama, dan kedua buku tersebut, tidak pernah secara resmi tertulis. Angka tahun 1913, dapat ditelusuri dalam katalog buku tersebut yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Buku Bacaan Roesdi djeung Misnem terdiri atas empat jilid yang ditulis oleh A.C. Deenik dan R. Djajadiredja, dilengkapi dengan gambar karya W.K. de Bruin. Dalam pengantar buku tersebut disebutkan, kedua penulisnya mendapatkan bantuan dari Mas Moehammad Rais, seorang guru Sunda di Kweekschool voor Onderwijzers te Bandoeng yang memeriksa dan memperbaiki kekurangannya.

Buku Roesdi djeung Misnem menceritakan tokoh seorang anak yang bernama Rusdi, oleh pengarangnya diberi nama panggilan lain yaitu, Ujang Gembru (anak laki-laki gendut). Rusdi memiliki seorang adik perempuan bernama Misnem. Kehidupan keseharian kedua kakak beradik itu, digambarkan sebagai kehidupan anak-anak kebanyakan, yang menjalani masa kanak-kanaknya dengan riang gembira dan dengan segala kenakalannya.

Di samping ceritanya yang memikat, buku Roesdi djeung Misnem disertai pula dengan iluistrasi yang menarik. W.K. de Bruin telah berhasil menampilkan para tokoh cerita, latar, dan suasana yang ada dalam buku tersebut melalui gambar, Keberhasilan itu dapat dicermati di antaranya melalui visualisasi sosok Rusdi dengan pakaian yang dikenakan anak-anak Sunda saat itu, seperti baju yang tak berkancing, celana longgar dan totopong (secarik kain yang diikatkan di kepala). Demikian pula, deskripsi rumah mereka yang berada di pinggir sebuah sungai, tentang kucing peliharaan Rusdi, dan kejadian keseharian lainnya yang dialami Rusdi, Misnem dan keluargnya, hingga pendeskripsian tentang tamu yang datang berkunjung begitu hidup dan mengesankan.

Buku bacaan lainnya yang pernah digemari oleh sebagian luas masyarakat Sunda pada masa lalu adalah Soember Aroem yang ditulis oleh R.I Adiwidjaya dan R. KD. Djajadiredja. Buku tersebut diterbitkan oleh Noordhoff - Kolff N.V. Batavia-Centrum; J.B. Wolters U.M.- Groningen – Batavia-C. Soember Aroem menceritakan keseharian Ujang Sumitra dan Nyai Erum. Keduanya merupakan putra menak (bangsawan) Sunda yang dikenal dengan panggilan Juragan Hormat. Nyi Erum dan Ujang Sumitra yang biasa dipanggil Ujang Tata dalam buku bacaan tersebut, digambarkan sebagai sosok anak yang berperilaku baik serta menurut kepada kedua orang tuanya. Kedua sosok anak tersebut merupakan sosok anak ideal yang diharapkan banyak orang tua.

Taman Pamekar karangan A. Sanusi dan Samsudi, terdiri atas lima jilid diterbitkan oleh penerbit Ganaco N. V. Bandung – Jakarta. Taman Pamekar menceritakan keseharian tiga orang kakak beradik, bernama Nyi Isah, Jang Aman, dan Ade. Mereka adalah anak Pa Sastra, Mantri Pasar Cicalengka. Isah dan Aman bersekolah di Sekolah Dasar Cicalengka, sementara Ade belum bersekolah, umurnya baru menginjak lima tahun. Dalam buku tersebut, diceritakan pula kenakalan teman-teman Aman, seperti kenakalan Asjum yang tergiur main lotre.

Ketiga buku tersebut memiliki arti yang sangat penting dalam keberlangsungan tradisi membaca pada masyarakat Sunda. Dari segi cerita dan ilustrasinya, buku-buku tersebut telah memperkaya khazanah bacaan anak-anak berbahasa Sunda. Sebagai sebuah buku bacaan kolektif, buku-buku tersebut telah mengekalkan pengalaman dan pengetahuan kolektif masyarakat Sunda. Pembaca selain mendapatkan hiburan, juga dimanjakan dengan fantasi yang hadir dalam setiap tampilan cerita. Buku-buku tersebut menampilkan cerita yang menarik, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, penuh keterikatan hingga larut dalam cerita. Buku-buku tersebut berbicara tentang kehidupan masyarakat Sunda, sehingga pembaca dapat menerima pemahaman yang lebih baik tentang berbagai aspek dan peristiwa kehidupan yang secara faktual dijumpai di masyarakatnya. Lewat buku-buku bacaan tersebut, pembaca mendapatkan pemahaman, memperkaya pengalaman dan pengetahuan. Kaitannya dengan hal tersebut, Perers mengungkapkan kesan mengenai buku sebagai bahan bacaan di masa kecil; “The images and books of our childhood influence our adult values and personalities” (2004: 4).

2.2 Peluang Menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif

Kehadiran bacaan anak tempo dulu yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan murid sekolah akan bacaannya hingga saat ini masih menimbulkan kesan yang mendalam bagi sebagai masyarakat Sunda. Tidak sedikit masyarakat Sunda dewasa ini mengharapkan kehadiran buku semacam itu. Dalam suatu tulisannya, Ajip Rosidi meluapkan kenangan indahnya terhadap buku Rusdi jeung Misnem; “Mun aya jalma nu nanya ka kuring, buku naon nu pangdipikaresepna jeung pangalusna minangka bacaan di Sakola Rayat. Kuring tangtu bakal ngajawab; buku ”Roesdi djeung Misnem”. (1967:42). Kenangan manis terhadap buku diungkapkan pula oleh mereka yang pernah membacanya. Seperti pernyataan Hawe Setiawan orang tua dahulu kalau menolak pendapat yang salah sambil bergurau biasa menyebutkan “Tidak ada dalam buku Rusdinya!” Bukan KUHP yang dirujuk akan tetapi buku bacaan ketika masih duduk di SR tempo dulu, yaitu buku ”Roesdi djeung Misnem” (sepanjangjk.wordpress.com). Kepopuleran buku Roesdi djeung Misnem diakui pula oleh Haryoto Kunto; “Hampir bisa dipastikan, generasi tua yang sempat mengenyam bangku sekolah dasar di Tatar Sunda pada jaman kolonial dulu, akrab mengenal buku baacaan ini” (1986: 881-884).

Kenangan manis terhadap buku bacaan tempo dulu, bukan hanya ditujukan terhadap buku Roesdi djeung Misnem saja, melainkan terhadap buku bacaan lainnya yaitu Taman Pamekar. Pada suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda), guru-guru yang hadir menyampaikan usul untuk menerbitkan kembali buku Taman Pamekar karena buku tersebut dianggap sangat menarik dan memberikan pengaruh yang baik kepada pembacanya (galuh-purba.com). Jadi jelas sekali, bahwa buku-buku bacaan tempo dulu khususnya buku-buku yang termasuk ke dalam buku bacaan kolektif mendapat sambutan yang baik serta meninggalkan kesan yang mendalam pada setiap pembacanya. Hal tersebut, tentunya merupakan suatu peluang untuk menghidupkan kembali bacaan kolektif pada masa kini dan masa yang akan datang. Peluang tersebut bukan merupakan pekerjaan yang sulit untuk dilakukan, mengingat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia terdapat kebijakan yang dapat dijadikan sebagai acuan.

Depdiknas telah bertekad untuk menjalankan program pengembangan pendidikan 2010-2014. Program yang akan dijalankan tersebut mempunyai visi ”Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif”. Misi pengembangan program terangkum dalam 5K, yakni meningkatkan Ketersediaan Layanan Pendidikan, Memperluas Keterjangkauan Layanan Pendidikan, Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan, Mewujudkan Kesetaraan dalam Meperoleh Layanan Pendidikan, dan Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan. Nyata sekali program tersebut membuka peluang untuk pengadaan buku bacaan yang berkualitas sebagai bacaan siswa di sekolah (Ampera, 2010a).

Hadirnya Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah bisa dijadikan sebagai landasan kebijakan dalam program penerbitan buku teks pelajaran bahasa Sunda dan buku bacaan muatan lokal bahasa dan sastra daerah berkualitas. Tidak dipungkiri memang di Provisi Jawa Barat selalu ada proyek pengadaan buku yang dikelola oleh Dinas Pendidikan, setiap buku yang diterbitkan telah melalui tahap penilaian dan mendapatkan SK Gubernur Jawa Barat tentang Buku Teks Pelajaran Bahasa Sunda dan Buku Bacaan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah Berkualitas yang digunakan dalam proses pembelajaran di tingkat SD/MI, SMP/MTs., dan SMA/SMK/MA. Namun upaya itu belum membangkitkan tradisi membaca pada masyarakat Sunda. Di samping itu, proyek tersebut pun belum melahirkan buku yang diharapkan sebagai buku yang dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi setiap pembacanya.

Perkembangan studi sastra anak yang berkaitan dengan keragaman jenis bacaan anak memberikan peluang untuk bangkitnya kembali buku bacaan kolektif. Bacaan yang diciptakan untuk tujuan itu, tidak sebatas pada jenis novelet, melainkan dapat berbentuk jenis bacaan lainnya, seperti puisi, buku informasi, biografi, buku cerita bergambar atau komik.

2. 3 Tantangan Menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif

Menghidupkan kembali bacaan kolektif bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah, melainkan pekerjaan yang penuh tantangan. Maraknya teks kompetitor seperti film kartun (animasi) yang sekarang sudah terbangun sebagai suatu kekuatan yang besar dan canggih merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Film kartun saat ini telah menjadi sahabat setia, hadir begitu mudah dan sangat dekat dengan anak-anak, sehingga akan berdampak pada pudarnya tradisi membaca pada generasi Sunda saat ini. Film kartun merupakan pilihan mudah bagi anak-anak ketika mereka memerlukan hiburan yang menyenanglan. Di hadapan mereka telah hadir puluhan film kartun yang setia menemani.

SpongeBob adalah film kartun paling favorit di Indonesia. SpongeBob Square Pants adalah sebuah serial film animasi yang paling populer di Nickelodeon. Di Indonesia serial ini dipopulerkan oleh Lativi (sekarang TvOne), kemudian hak tayang acara-acara yang diproduksi oleh Nickelodeon dibeli oleh Global TV. Tokoh utama Spongebob adalah sebuah spons laut berwarna kuning yang hidup bersama peliharaannya, Gary, seekor siput laut yang berperilaku sebagai kucing.

Shaun the Sheep juga digemari anak-anak sebagai sebuah tontonan. Film kartun Shaun the Sheep ini berlatar peternakan. Tokoh utamanya adalah Shaun, domba nyentrik dan kurus yang selalu jadi pimpinan kawan kawannya dan selalu punya ide cerdas meskipun seringkali konyol. Ternyata film kartun Shaun the Sheep tidak hanya disukai oleh anak-anak, tetapi juga oleh segala penonton dari seluruh penjuru dunia. Film animasi Shaun the Sheep ini merupakan film dari Inggris yang pernah ditayangkan di BBC Cartoon. Film ini telah banyak meraih penghargaaan. Di Indonesia film tersebut ditayang di beberapa stasiun televisi.

The Penguins of Madagascar adalah film animasi pilihan lainnya bagi anak-anak. The Penguins of Madagascar menceritakan keseharian empat pinguin di kebun binatang. Para pinguin tersebut adalah Skipper, Rico, Kowalski dan Private. Keempat pinguin ini selalu kompak dalam menjalankan misi. Skipper adalah komandan dari pinguin tersebut. Mereka mempunyai "markas" yang letaknya di tengah-tengah kolam renang kebun binatang.

Dora the Explorer serial kartun kesayangan anak-anak. Dora the Explorer adalah serial animasi televisi anak-anak dari Amerika Serikat milik jaringan televisi kabel Nickelodeon. Di jaringan televisi Indonesia serial ini disiarkan dalam Versi Bahasa Indonesia, semula di Lativi (sekarang TvOne), sekarang di Global TV. Dora, tokoh utama serial ini, adalah seorang gadis kecil yang baik hati dan senang menjelajah. Ia selalu ditemani oleh Boots, seekor monyet. Mereka berdua menjelajah untuk membantu seorang teman atau mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Arah penjelajahan mereka biasanya dibimbing oleh peta yang saat tidak digunakan tersimpan dalam ransel milik Dora.

Di Indonesia dewasa ini Upin & Ipin telah menjadi idola baru. Kartun yang berasal dari Malaysia ini jadi tontonan favorit anak, bahkan remaja dan orang dewasa pun merasa terhibur manakala menyaksikannya. Upin & Ipin merupakan cerita yang menggambarkan dua orang anak kembar dengan kepala botak dan wajah yang polos dan lucu. Keduanya tinggal bersama neneknya yang biasa dipanggil Opah dan seorang kakak perempuan yang sering dipanggil Kak Ros. Upin dan Ipin ialah sosok anak yang kecil yang masih polos dan senang melakukan apa yang menurut mereka menyenangkan (Ampera, 2010b).

Tantangan lainnya adalah hadirnya sastra anak terjemahan. Sebut saja serial Batman. Cerita ini diadaptasi oleh Andrew Helfer berdasarkan skenario Lee Batclhler dan Akiva Golsman. Judul-judul seperti Batman and the Ninja, The Terror of Two Face, dan The True Story of Batman merupakan judul-judul yang populer sebagai sebuah bacaan di kalangan anak-anak. Terjemahan seri Disney juga mewarnai persaingan bacaan anak. Winnie's Honey Tree - Pohon Madu Winnie, Disney Princess: Asyiknya Musim Semi, dan Jasmine: Koin yang Hilang merupakan karya sastra terjemahan yang banyak dipilih anak-anak sebagai bahan bacaan.

Buku lain terjemahan lainnya yang telah membius anak-anak untuk membacanya adalah Harry Potter karya J.K. Rowling. Harry Potter, tokoh rekaan Joanne Kathleen Rowling ini, adalah salah satu mite pada zaman modern. Kehadirannya sungguh fenomenal, tak hanya mampu menarik begitu banyak penggemar, namun dia juga menjungkirbalikkan kenyataan dengan menghadirkan fakta begitu banyak anak kecil membaca novel setebal ratusan bahkan ribuan halaman (Audifax. 2005: XIII).

Komik terjemahan pun telah menyihir anak-anak Indonesia (termasuk pembaca dari kalangan masyarakat Sunda) untuk menentukan pilihannya sebagai bacaan yang tidak boaleh terlewatkan. Minat anak-anak terhadap komik-komik ini terjadi karena derasnya aliran komik impor yang beredar di kalangan mereka. Sebutlah komik Donald Bebek, komik Princess yang mengisahkan putri-putri ciptaan Walt Disney atau komik Jepang terjemahan yang semakin menjamur. Komik yang paling menarik perhatian pembaca saat ini adalah komik yang berasal dari Jepang yang disebut manga. Beberapa penerbit di Indonesia telah menerjemahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta manga. Biasanya manga terjemahan ini tertinggal beberapa seri oleh manga asli yang diterbitkan oleh Jepang. Ada juga manga terjemahan yang terhenti di tengah-tengah, karena kesulitan mengurus lisensinya. Dengan adanya hal seperti itu tentu para pembaca akan penasaran dengan chapter-chapter yang selanjutnya. Sehingga para pembaca akan dipaksa mengambil berbagai jalan pintas. Seiring dengan berkembangnya teknologi pembaca sudah bisa menemukan jalan pintas tersebut. Jalan tersebut adalah dengan membaca manga tersebut lewat internet atau populer dengan nama manga scan. Derasnya komik terjemahan sebagai bahan bacaan anak, serta besarnya minat membaca anak-anak terhadap komik terjemahan membuktikan, bahwa fenomena buku komik terjemahan di kalangan anak-anak masih belum dapat dikalahkan dengan buku bacaan lain.

Kepopuleran sastra anak terjemahan dan komik sebagai bacaan anak di Indonesia, ditunjang dengan publikasi yang gencar serta cerita yang diadaftasi ke dalam film atau sebaliknya. Di samping itu popularitas film kartun, sastra anak terjemahan, dan komik telah merambah ke berbagai perlengkapan hidup, mulai dari alat permainan, alat-alat sekolah, hingga pakaian dan peralatan tidur, sehingga semakin dekatlah budaya pop dalam kehidupan anak-anak dan pada akhirnya mengalahkan minat mereka terhadap bacaan lokal.

Membanjirnya sastra anak terjemahan di pasaran, yang laris melebihi sastra anak Indonesia bukan tanpa sebab. Struktur cerita yang apik, rupa-rupanya, menjadi daya tarik melebihi alasan yang lain. Sebenarnya, sastra anak Indonesia bukan sastra yang sulit didapatkan. Setiap tahun ratusan judul prosa diterbitkan (Sugihastuti, 1999: 3-4). Menurut Trimansyah (1999: 131) yang menjadi satu titik kelemahan dalam perkembangan proses kreatif novel-novel (sastra anak, novel anak) tersebut adalah tidak berkembangnya tema. Banyak tema berkarya sama, atau mirip dengan yang lainnya. Di dalam tema kebanyakan sastra anak indonesia terkandung unsur didaktik yang kuat, bahkan cenderung terlalu menggurui. Akibatnya, yang terbit itu banyak dipenuhi pesan moral, pesan pembangunan, bahkan pelajaran.

Demikian pula dalam sastra Sunda, masih ada beberapa kelemahan yang ada dalam novelet anak yang perlu diatasi, misalnya logika penceritaan dan pembentukan karakter anak. Contohnya saja salah satu novelet yang pernah mendapatkan hadiah Samsudi tahun 1996, bila ditilik dari segi karakter, pola pikir dan tindakan anak sama sekali tidak mencerminkan sebagai tokoh seorang anak, melainkan, tokoh anak yang hadir dalam novelet tersebut terlalu “didewasakan’ oleh pengarangnya, sehingga bukan sosok anak lagi yang hadir dalam cerita tersebut, melainkan orang dewasa yang menjelma menjadi tokoh anak.

Tantangan lain yang tidak boleh dipandang dengan sebelah mata adalah bergesernya sudut pandang anak terhadap bacaannya. Hal itu terjadi karena anak-anak masa kini memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam membaca. Anak-anak masa kini memiliki tuntutan cerita yang lebih kompleks baik secara struktur maupun secara isi. Ketika secara bersamaan mereka bermain lassy, robot, dan play station, bercengkrama dalam dunia antariksa, lalu membayangkan diri amat ketakutan di belantara dinosaurus (Jurassic Park), berada dalam ancaman perang nuklir (Children of the Dust), meliha masa lalu yang begitu rumit (Kera Sakti, dragon Ball), maka cerita yang berplot simpel dan naif tidak lagi menjadi teks yang menarik bagi mereka, karena kurang mampu memberikan tantangan bagi kebutuhan-kebutuhan kognitif/emosional mereka (Purbani, 1999; 2).

2.4 Upaya menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif

Menghidupkan kembali bacaan kolektif sebagai bacaan anak-anak pada masa kini dan masa mendatang, bukan merupakan pekerjaan yang tidak mungkin dapat terlaksana, melainkan suatu tugas yang harus dijalankan oleh setiap orang yang memiliki tanggung jawab untuk membangun generasi muda yang cerdas. Permasalahannya, masih adakah tanggung jawab kita sebagai orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan bacaan berbahasa Sunda bagi anak-anak yang hidup dalam kemajuan teknologi informasi saat ini.

Upaya menghidupkan kembali bacaan kolektif, dapat dilakukan melalui penulisan buku oleh para penulis berpengalaman yang memahami benar buku ditulis sebagai bacaan anak-anak. Pengadaan buku tidak hanya sekedar untuk memenuhi proyek, melainkan untuk memenuhi kebutuhan bacaan bagi anak-anak masa kini yang disesuaikan dengan minatnya. Upaya lainnya dapat memanfaatkan buku yang mendapatkan penghargaan dari lembaga tertentu.

Menghidupkan kembali bacaan kolektif dapat pula dengan menerbitkan kembali buku-buku tempo dulu yang merupakan buku-buku berkategori “agung”, yaitu buku-buku yang mampu melampaui zaman, tetap hidup dalam jiwa setiap pembacanya, atau dapat pula membuat buku baru yang disesuaikan dengan semangat zaman. Kaitannya dengan penulisan dan penerbitan buku saat ini dan masa depan, Chavalit dalam satu tulisannya menyatakan:

“Children's books in the next century, whether in printing of electronic form, must be produced to ensure that our children are aware of the current situations in the world. Of course, there must be fairy tales, humorous stories, rhymes, comic and the like which will make them laugh, relaxed, refreshed and mentally healthy to such an extent that they can read and intellectually manage to digest more serious materials. Children's books in the future, should help the child to solve problems they are facing, to understand one another cultural heritage, and to help one another in improving the world situation. This is the age of global interelations and information technology which supersede national, political and geographical boundaries. The spirit of brotherhood and sisterhood should be inculcated in our children trough the reading of books which should be well written and published with the view to attaining these goals (2004: 115).

Agar buku bacaan yang ditulis dan diterbitkan memenuhi minat anak sebagai pembaca yang tidak boleh dianggap sebagai pembaca inferior, melainkan sebagai pembaca khusus, Perers menyarankan bahwa buku bacaan untuk anak harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

“Children's books must dare to be literature, using a rich language. Children's books must dare to be creative, using artistic images and not standardised flat pictures. Children's books must promote imagination, but not encourage prejudice. Children's books must dare sometimes not to be didactic, although such books are also needed. Children's books must dare to be a pleasure to read, to awaken the desire to read more, to paint or to write, to ask question of life. Perhaps the real challenge for traditional children's book faced by new seductive multimedia products, is that of quality. The standards of quality must not be lower on children's books than on books for adults” (2004:4).

3. Simpulan

Bacaan anak tempo dulu sebagai bacaan kolektif meninggalkan kesan yang indah bagi mereka yang telah membacanya. Sebagai sebuah buku bacaan kolektif, buku-buku tersebut telah mengekalkan pengalaman dan pengetahuan kolektif masyarakat Sunda.

Peluang menghidupkan kembali bacaan kolektif sebagai bacaan anak-anak pada masa kini dan masa mendatang terbuka lebar. Hal itu pun dikuatkan dengan berbagai program dan kebijakan pemerintah, peraturan daerah, dan kehendak masyarakat pembaca. Maraknya film kartun, membanjirnya sastra terjemahan, dan bergesernya sudut pandang anak terhadap bacaannya merupakan tantangan yang harus dihadapi.

Menghidupkan kembali bacaan kolektif dapat dilakukan dengan menerbitkan kembali buku-buku tempo dulu yang merupakan buku-buku berkategori “agung”. Upaya lain, dapat pula membuat buku baru yang disesuaikan dengan semangat zaman dan minat anak-anak sebagai pembaca khusus.

Daftar Pustaka

Ampera, Taufik. 2010a. “Peluang Menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif“ (Artikel) dimuat di Tribun Jabar, 9 Januari 2010.

---------------------. 2010b. Upin dan Ipin Idola Baru Anak Indonesia. (Artikel) dimuat di Tribun Jabar, 7 Agustus 2010.

Audifax. 2005. Mite Harry Potter Psikosemiotika dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta dan Bandung; Jalasutra.

Chavalit, Khyunying Maenmas. 2004. “Children’s Book Publshing in the Next Millenium” dalam Proceedings of Seminar-cum-Workshop on Children’s Book Publishing in the Next Millenium. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Christantiowati. 1996. Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945. Jakarta: Balai Pustaka.

Eman. “Rusdi jeung Misnem” Buku Bacaan Sekolah Tempo Doeloe di Priangan, online documents; http://sepanjangjk.wordpress.com// 5 Desember 2011: 20.15.

Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Granesia.

Perees, Maria. 2004. “Children’s Book Publishing in the Next Millenium” dalam Proceedings of Seminar-cum-Workshop on Children’s Book Publishing in the Next Millenium. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Purba, Dipa Galuh. “Basa Sunda di Rancakasumba”, online documents; http;//galuh-purba.com/. 5 Desember 2011: 19.55.

Purbani, Widyastuti. 1999. “Sastra Anak Indonesia sebagai Genre, Sebuah Utopia?” (Makalah) Pertemuan Ilmiah Daerah HISKI III di Universitas negeri Yogyakarta.

Rosidi, Ajip. 1967. Dur Panjak. Bandung: Pusaka Sunda.

Sugihastuti. 1999. “Sastra Anak Terjemahan” (Makalah) Pertemuan Ilmiah Daerah HISKI III di Universitas negeri Yogyakarta

Trimansyah, Bambang. 1999. Cerita Anak Indonesia Kontemporer. Bandung: Nuansa.

Tidak ada komentar: