Jumat, 11 November 2011

MATERI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


CERITA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN : SEBUAH TAWARAN ALTERNATIF
PENGAJARAN SASTRA BERDASARKAN KARAKTER PENDIDIKAN BUDAYA SUNDA

Oleh: Taufik Ampera
Universitas Padjadjaran


1. KONSEP PENDIDIKAN DALAM BUDAYA SUNDA
1.1 Dasar Filosofi Pendidikan dalam Budaya Sunda
SILIH ASIH – SILIH ASAH – SILIH ASUH (Saling Mengasihi, Saling Mencerdasakan, dan Saling Mengayomi) – Bandingkan dengan TUTWURI HANDAYANI.

1.2 Tujuan Pendidikan dalam Budaya Sunda
Hasil dari proses 3SA secara individual akan mewujudkan manusia-manusia Sunda yang berkualitas, yang ditandai dengan sifat-sifat seperti berikut;
1. CAGEUR; sehat lahir batinnya, fisik maupun psikisnya.
2. BAGEUR; tidak melanggar aturan hukum (taat hukum).
3. BENER; mempunyai itikad yang teguh.
4. PINTER; mampu mengatasi masalah hidup yang dihadapinya.
5. TEGER; kuat hati, tidak mudah putus asa.
6. PANGGER; kuat pendirian, tahan ujian.
7. WANTER; berani tampil, berdaya saing.
8. SINGER; proaktif, terampil, beretos kerja.
9. CANGKER; mampu menanggung beban hidup.




1.3 Cerita (Dongeng) sebagai Materi Pengajaran
a. Pengertian Dongeng
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng disebut sebagai cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Danandjaja. 1984: 83).

b. Manfaat Dongeng (Cerita Rakyat)
Cerita merupakan kebutuhan universal manusia, dari anak-anak hingga orang dewasa. Bagi anak-anak, cerita tidak sekedar memberi manfaat emotif tetapi juga membantu pertumbuhan mereka dalam berbagai aspek. Oleh karena itu, perlu diyakini bahwa bercerita merupakan aktivitas penting dan tak terpisahkan dalam program pendidikan untuk anak. Cerita bagi anak memiliki manfaat yang sama pentingnya dengan aktivitas dan program pendidikan itu sendiri.

Cerita dapat membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak karena mereka senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang-ulang. Hasil penelitian di selandian baru menunjukkan bahwa cerita yang diberikan oleh ibu-ibu pada anak-anak mereka memberikan kontribusi yang berarti pada keberhasilan pendidikan. Anak-anak itu tumbuh menjadi individu-individu yang berhasil (Mudhoffa dan Musbakin, 2001). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Semiawan menegaskan bahwa cerita merupakan wahana yang ampuh untuk memahami (verstehen) dan menorobos ke dalam (penetrate into) penghayatan pengalaman anak. Cerita menjadi jalan yang tepat untuk memasuki dunia anak, karena dalam aktivitas tersebut terjadi pertemuan dan keterlibatan emosi, pemahaman dan keterlibatan mental antara pencerita dengan anak. Keasyikan dalam menyelami subtansi cerita sehingga mampu memasuki dunia minat (center of interest) anak, akan menghasilkan apa yang oleh Maslow disebut sebagai penghayatan pengalaman yang paling mendalam (peak-experience). Terjadinya pertemuan itu merupakan peluang untuk menginkorporasikan segi-segi pedagogig dalam cerita. Dengan demikian, tanpa disadari cerita akan mempengaruhi perkembangan pribadinya, membentuk sikap-sikap moral dan keteladanan (Semiawan, 2002).

Cerita dapat pula menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi anak. Mendengarkan atau membaca cerita akan membawa anak keuar dari kesadaran ruang dan waktu, keluar dari kesadaran diri sendiri, dan setelah selesai anak akan kembali ke kediriannya dengan pengalaman baru, dengan sedikit perubahan akibat pengalaman yang diperolehnya (Huck dkk, 1987: 9). Imajinasi anak ikut berkembang sejalan dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang dinikmatinya.

Cerita dapat memacu kemampuan verbal anak. Cerita yang bagus tidak sekedar menghibur tetapi juga mendidik, sekaligus merangsang perkembangan komponen kecerdasan linguistik yang paling penting, yakni kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis. Memacu kecerdasan linguistik merupakan kegiatan yang sangat penting. Pernyataan ini didukung oleh pendapat sejumlah ahli, bahwa diantara komponen kecerdasan yang lain, kecerdasan linguistik yang mungkin merupakan kecerdasan yang universal. Di Amerika, kemampuan berbahasa termasuk dalam urutan kecerdasan yang paling dihargai, sama halnya dengan pemikiran logis-matematik (Amstrong, 1933).

Pengaruh cerita terhadap kecerdasan bahasa anak diakui oleh Leonhardt. Menurutnya, cerita memancing rasa kebnahasaan anak. Anak yang gemar mendengar dan membaca cerita akan memiliki kemampuan berbicara, menulis, dan memahami gagasan rumit secara lebih baik (Leonhardt, 1997: 27). Ini berarti, selain memacu kemampuan berbicara, menyimak cerita juga merangsang minat menulis anak.

Manfaat cerita rakyat, khususnya dongeng, juga diteliti oleh bruno bettelheim, seorang psikiater anak. Pendapatnya didasari oleh pengalamannya merawat anak yang bermasalah, dan ia mencatat adanya kebutuhan vital akan dongeng. Bettelheim menyebutkan bahwa tokoh-tokoh dalam dongeng merupakan tokoh yang terisolasi, terbuang, dan terusir. Melihat keaadaan anak-anak masa kini yang seringkali juga merasakan hal yang sama, maka anak memerlukan citra tokoh yang meskipun suatu saat dalam keadaan terisolasi dan terbuang, mampu mencapai kemenangan dan mendapat ganjaran yang bermanfaat bagi hidupnya (Bettelheim, 1977; 11). Bettelheim mengungkapkan makna psikologis yang terkandung dalam beberapa cerita, yaitu antara lain optimisme, mencapai integrasi, membangun integrasi, mencapai realisasi diri yan lebih tinggi dan identitas pribadi, mencapai kemandirian, dan penyembuhan dari rasa putus asa.


c. Materi Dongeng
1. Manuk Titiran jeung Nyiruan ‘Burung Perkutut dengan Lebah’
2. Beurit jeung Landak ‘Tikus dan Landak’
3. Gajah jeung Sireum ‘Gajah dan Semut’
4. Tikukur ‘Burung Tekukur’
5. Satria


1.4 Pemaknaan Cerita Dongeng dalam Upaya Menelusuri Karakteristik Manusia Sunda
Manuk Titiran jeung Nyiruan ‘Burung Perkutut dengan Lebah’
a. Alur Cerita
1. Seekor lebah kehausan. Lebah pergi ke sebuah pancuran hendak minum.
2. Ketika lebah akan minum, lebah terpeleset lalu jatuh ke sebuah kolam.
3. Burung perkutut merasa kasihan melihatnya, lalu ia menjatuhkan selembar daun ke dekat lebah yang hampir tenggelam.
4. Lebah merayap mendekati daun yang terapung di atas air yang dijatuhkan burung perkutut. Lebah terhindar dari maut.
5. Seorang pemburu mengetai burung perkutut, ia hendak memanahnya.
6. Lebah segera menolong burung perkutut yang telah menyelamatkannya dengan mengengat betis pemburu.
7. Pemburu kesakitan sehingga tak jadi memanah burung perkutut. Burung perkutut terbang dengan selamat.

b. Penokohan
1. tokoh utama (protagonis) adalah lebah karena selalu hadir dalam setiap kejadian dan peristiwa, sedangkan burung perkutut sebagai tokoh pembantu, sedangkan pemburu adalah tokoh pelengkap (antagonis).
2. Sifat-sifat Tokoh
Lebah daam cerita tersebut kurang hati-hati sehingga terpeleset dan jatuh ke sebuah kolam. Namun lebah juga baik hati, tahu membalas budi kepada burung perkutut yang telah menolongnya.

Burung perkutut memiliki sifat baik hati, ia memberi pertolongan kepada sesama makhluk yang terancam bahaya walaupun berbeda bangsa dan golongan.

Pemburu, bersifat jahat tidak melindungi kelestarian alam.

c. Tema
Berdasarkan penulusuran alur cerita dan penokohan, dapat dirumuskan tema cerita, yaitu “kebaikan mendatangkan kebahagiaan”. Tema tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sifat kurang hati-hati mengakibatkan malapetaka (celaka).
2. Tolong menolong dan pandai membalas budi adalah perbuatan yang terpuji.

d. Amanat
Amanat yang dapat disimpulkan adalah:
1. Setiap makhluk harus berhati-hati terhadap segala perbuatan karena kekuranghati-hatian akan mengakibatkan celaka atau malapetaka.
2. Setiap manusia hendaklah melakukan tolong-menolong dengan tidak membedakan bangsa, suku bangsa, dan golongan.
3. Setiap manusia hendaklah tahu membalas budi.
e. Unsur Didaktis
Kedua binatang dalam cerita tersebut dapat dijadikan sebagai contoh atau teladan karena telah memberikan keteladanan:
1. Mendidik anak agar selalu berhati-hati dalam segala perbuatan.
2. Mendidik anak agar dapat tolong-menolong sesama teman. Perbuatan tolong-menolong merupakan perbuatan yang mulia, sesuai dengan ajaran agama, Pancasila, dan nilai-nilai budaya.
3. Mendidik anak agar pandai membalas budi.

1.5 Diskusi ; Kaitkan makna cerita dengan nilai-nilai budaya Sunda!

1.6 Latihan; telusuri makna cerita lainnya dan kaitkan dengan nilai-nilai budaya Sunda serta konsepsi pendidikan Sunda!

Tidak ada komentar: