Jumat, 11 November 2011

PROBLEMATIKA PENGAJARAN SASTRA ANAK DAN SASTRA REMAJA
DALAM PELAJARAN BAHASA SUNDA

Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional HBI 2011, 3-4 Mei 2011, penyelenggara Balai Bahasa Bandung.

Oleh: Taufik Ampera


Abstrak

Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal merupakan masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas terselesaikan, dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti nyata adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal.
Kenyataan pengajaran sastra anak dan sastra remaja berbahasa Sunda sebagai pelajaran yang dianggap tidak penting, dapat dibuktikan dalam pelajaran bahasa Sunda. Sastra “terselip” dalam buku pelajaran tersebut. Pada setiap bagian pelajaran tidak secara jelas dibahas sebagai materi sastra. Sastra disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Sisi lain yang sangat penting, yang hingga kini terlupakan dan kurang mendapat perhatian dan sorotan adalah penempatan sastra anak dan sastra remaja sebagai genre sastra dalam pengajaran sastra di sekolah.
Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan realitas pengajaran sastra saat ini, dampaknya terhadap pengajaran, serta alternatif jalan keluarnya. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Sunda pada tempat yang layak dan sejajar dengan pelajaran lainnya.

1. Pendahuluan

Dapat dipastikan bahwa banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui pengajaran sastra anak dan sastra remaja. Melalui pengajaran sastra anak dan sastra remaja siswa akan memperoleh berbagai macam keuntungan, baik yang menyangkut pengetahuan sastra maupun yang menyangkut keterampilan berbahasa. Namun, hingga kini pengajaran sastra anak dan sastra remaja masih dipandang belum ideal, masih banyak permasalahan yang dihadapi, pengajaran sastra anak dan sastra remaja masih dipandang belum menemukan bentuknya.
Sisi lain yang sangat penting yang hingga kini terlupakan dan kurang mendapat perhatian dan sorotan adalah penempatan sastra anak dan sastra remaja sebagai genre sastra dalam pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, sudah selayaknya pengajaran sastra anak dan sastra remaja mendapatkan perhatian yang memadai. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra anak dan sastra remaja pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.

2. Problematika Pengajaran Sastra Anak dan Sastra Remaja
Dewasa ini banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengajaran sastra anak dan sastra remaja di sekolah. Hingga saat ini masih terus terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajaran sastra anak dan sastra remaja masih belum tepat sasaran. Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai persoalan mendasar yang menyagkut dengan pengajaran sastra anak dan sastra remaja di sekolah, khususnya pengajaran sastra anak dan sastra remaja dalam pengajaran bahasa Sunda.
Pertama, sistem pendidikan di Indonesia, belum menempatkan sastra sebagai bidang kajian yang penting dan berperan dalam perkembangan bangsa menuju masyarakat industri. Siswa lebih banyak diarahkan agar siap untuk menyambut derasnya perkembangan teknologi dan informasi, sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan utama. Sedikitnya perhatian terhadap sastra dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi adanya kecenderungan tersebut.
Kenyataan pengajaran sastra Sunda sebagai pelajaran yang dianggap tidak penting, dapat dibuktikan dalam muatan pelajaran bahasa Sunda. Sastra “terselip” dalam buku pelajaran tersebut. Pada setiap bagian pelajaran tidak secara jelas dibahas sebagai materi sastra. Sastra disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Sastra disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi. Lebih jelasnya pelajaran sastra terintegrasi pada pelajaran bahasa. Hal itu, menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah (Ampera. 2010a: 1)
Ketidakpastian sastra dalam pelajaran bahasa Sunda, terbukti pula dengan tidak adanya ketegasan identitas pelajaran sastra. Buku-buku pelajaran selalu menampilkan “bahasa” sebagai label untuk menempatkannya sebagai bidang ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Berikut ini beragam judul buku yang menempatkan kerupawanan “bahasa”, yang sesungguhnya di dalamnya “terselip” sastra: Piwuruk Basa, Piwulang Basa, Penuntun Belajar Bahasa Sunda, Pelajaran Bahasa Sunda, Palajaran Basa Sunda, Banda Basa Sunda, dan Gapura Basa (Ampera. 2010a:2).
Dalam setiap buku itu, sesungguhnya terdapat materi sastra dari berbagai genre sastra anak, sebut saja cerita fiksi, yaitu karangan yang ditulis dalam bentuk prosa, diantaranya; Sakadang Peucang Keuna Ku Leugeut (Sumarsono, 2004a: 21-22), Sireum jeung Gajah (Sumarsono, dkk. 2005: 39-42), Sasakala Uncal Tandukan (Sumarsono, 2003: 26-27) Budak Pahatu (Sumarsono, 2003: 38-40), Pangeran Tambakbaya (Sumarsono, 2004b: 27-28), Si Kabayan jeung Mitohana (Sumarsono, 2004b: 36-38), Sasakala Selat Sunda jeung Gunung Rakata (Sumarsono, 2004b: 45-47), dan Balap Melak Cau (Rusyana, 2007: 43-44). Di samping sastra dalam bentuk prosa, dalam pelajaran bahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar, terdapat pula genre puisi tradisional seperti kakawihan barudak ‘nyanyian anak-anak’, pupujian, dan pupuh (Ampera. 2010a:2).
Mencermati uraian tersebut, sebenarnya pelajaran sastra Sunda di sekolah itu ada, tetapi bukan merupakan pelajaran yang khusus, melainkan terintegrasi dalam pelajaran bahasa Sunda. Bukan sesuatu yang mengherankan bila di sekolah dasar tidak dikenal adanya sastra anak atau dalam istilah bahasa Sunda sastra bacaan barudak. Di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, tidak mengherankan jika tidak dikenal sastra remaja.
Kedua, erat terkait dengan permasalahan di atas, sastra anak dan sastra remaja berbahasa Sunda dalam diskriminasi. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman berbagai kalangan mengenai adanya genre sastra anak dan sastra remaja. Perlu dijelaskan pada pembahasan ini bahwa, setiap pembaca berhak atas bacaannya masing-masing, anak memiliki dunia sastra yang sesuai dengan alam kehidupannya, begitu pula remaja memiliki dunia sastranya yang sesuai dengan kehidupan mereka. Pengajaran sastra yang tidak menempatkan materi sastra sesuai dengan kelompok umur pada setiap jenjang pendidikan, merupakan pendidikan yang tidak memanusiakan manusia. Dalam kesejarahan sastra, sastra anak dapat memberikan sumbangan penting bagi pertumbuhan anak karena dalam sastra anak terdapat nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya. O’Sullivan (2005: 13) menegaskan bahwa dalam kesejarahannya, sastra anak sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi berikutnya. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari sastra anak adalah pemhaman tentang kehidupan. Menurut Lukens (2003: 9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran kehidupan yang ada dalam sastra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan menanggapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Diskriminasi terhadap sastra anak dan remaja disebabkan pula oleh sempitnya memaknai sastra anak dan remaja. Sastra anak dan remaja belum diperhitungkan sebagai sastra karena dianggap memiliki nilai susastra yang rendah. Hal itu, mengakibatkan sastra anak dan remaja nyaris tidak tersentuh, sepi dari perbincangan, apresiasi, kajian, dan kritik yang mendewasakan.
Ketiga, Pengajaran sastra anak dan remaja tidak diarahkan pada apresiasi sastra, melainkan siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk memproduksi dan menghayati karya yang diajarkan. Pengajaran sastra yang ideal sesungguhnya mencakup dua hal, yakni menanamkan apresiasi dan memberikan pengetahuan. Apresiasi berhubungan dengan sikap dan nilai, yang meliputi masalah penerimaan, tanggapan dan penilaian. Pengetahuan meliputi informasi dan konsep yang berhubungan dengan studi sastra, yang meliputi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. IG.A.K. Wardani (1981:1-2) mengemukakan proses apresiasi dapat dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan menggemari, ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku serta keinginan membacanya.
2. Tingkatan menikmati, yaitu mulai dapat menikmati cipta sastra krena mulai tumbuhnya pengertian.
3. Tingkatan mereaksi, yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati misalnya dengan menulis sebuah resensi atau berdebat dalam diskusi sastra. Ke dalam tingkatan ini juga termasuk keinginan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra.
4. Tingkat produktif, yaitu mulai ikut menghasilkan cipta sastra.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud apresiasi dalam pengajaran sastra bukan hanya memberikan penilaian atau penghargaan terhadap karya sastra, tetapi lebih dari itu. Oleh karena itu, tujuan pengajaran sastra sebaiknya lebih dipahami lagi, yaitu pengajaran sastra yang lebih apresiatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep pengajaran tersebut akan menghadapi berbagai persoalan terlebih pada siswa yang tingkat keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Disadari pula bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif memadai. Namun demikian, sebaiknya guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih kemampuan apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi kesastraan kepada siswa.
Keempat, teknik pengajaran sastra anak dan sastra remaja. Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut dijamin akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra.
Sebagai tawaran alternatif, pengajaran sastra anak dan sastra remaja dapat menggunakan metode pengajaran sastra berbasis aktivitas, yaitu pengajaran yang menekankan pada aktivitas siswa dengan bimbingan pengajar, siswa diarahkan untuk memiliki kemampuan belajar secar mandiri karena kegiatan belajar mandiri merupakan kegiatan yang sangat bermakna. Metode pengjaran ini berbeda dengan konsep pendidikan tradisional, yang menempatkan siswa hanya sebagai pendengar, di dalam proses belajar mengajar siswa hanya mendengarkan hal-hal yang disampaikan pengajar. Pengajar dianggap sebagai orang yang serba tahu dan sangat menentukan segala hal yang dianggap penting oleh siswa (Ampera. 2010b:7).
Kelima, sistem evaluasi pengajaran sastra. Masalah lain yang dihadapi pengajaran sastra anak dan sastra remaja adalah sistem evaluasi pengajaran sastra yang cenderung ke aspek kognitif atau pengetahuan. Selama ini, sistem evaluasi lebih terfokus pada evalusi pengetahuan para siswa, sebaiknya evaluasi pun dilakukan dengan mempertimbangkan evaluasi yang mengarah ke penumbuhan keterampilan. Bila model evaluasi tersebut tidak memungkinkan dilakukan di sekolah, evaluasi tersebut dapat dilaksanakan di berbagai kesempatan lain. Evaluasi keterampilan dan apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui penugasan di rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain.
Keenam, pengadaan dan pemanfaatan buku bacaan. Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah pemanfaatan dan pengadaan buku bacaan kesastraan di sekolah melalui proyek pemerintah. Dewasa ini sulit sekali ditemukan bacaan sastra yang termasuk kedalam bacaan kolektif. Jika kita mengingat kembali masa kanak-kanak yang telah lama berlalu, ada pengalaman yang sangat berkesan dengan hadirnya abacaan kolektif, yaitu buku bacaan yang dapat dinikmati ol;eh setiap siswa. Sayang sekali tradisi bacaan kolektif telah lama mati terlindas kemajuan media (Ampera. 2010c).

3. Otonomi Pelajaran Sastra Anak dan Remaja
Berkaitan dengan berbagai permasalah di atas, pengajaran sastra anak dan sastra remaja harus memiliki kedudukan yang utama dan menjadi perhatian penting. Belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Dengan mempelajari sastra, siswa akan memperoleh pengalaman batin yang mengesankan. Lewat penjelajahan terhadap sastra, siswa akan memahami berbagai permasalahan dan dapat pula menentukan cara mengatasi berbagai permasalahan yang di hadapinya. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Sastra memiliki kontribusi besar dalam memperkaya batin, memperhalus budi, memahami keindahan, mengembangkan kecerdasan imajinasi, mengembangkan kognisi, mengembangkan kepribadian, mengembangkan rasa sosial, memperkaya bahasa dan budaya.
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Sehingga dapat dipastikan bahwa sastra anak dan remaja menjadi makin penting ditempatkan pada ruang khusus dalam institusi pendidikan. Namun, kenyataannya kedudukan sastra dalam kurikulum pendidikan belum memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Sastra masih terbelenggu dalam pelajaraan bahasa.
Otonomi pengajaran sastra menjadi amat penting mengingat pengajaran bahasa dan pengajaran sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda. Di samping itu, berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru bahasa dapat mengajar sastra dengan baik. Guru yang memiliki kemampuan mengajarkan bahasa belum tentu mampu mengajar sastra dengan baik. Hal lain yang perlu diperhatikan, tidak semua guru bahasa memiliki minat yang kuat pada sastra.
Adanya pemisahan spesialisasi bidang bahasa dan sastra, memberikan peluang besar kepada guru untuk lebih meningkatkan kemampuannya. Dengan cara seperti itu, seorang guru dapat menempatkan dirinya sebagai seorang ahli yang mampu menciptakan pengajaran sastra yang kondusif.
Pengajaran sastra dan apresiasi sastra secara khusus dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya melalui sanggar sastra. Sudah saatnya pihak sekolah mengaktifkan kembali sanggar sastra di sekolah. Kegiatan bersastra di luar jam belajar secara langsung pasti akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan penghargaan yang positif terhadap sastra. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan kreativitas, penyaluran bakat dan minat, serta pembinaan moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat belajar secara formal di dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar jam belajar.



4. Simpulan
Permasalahan pengajaran sastra Sunda di sekolah harus segera diatasi agar pengajaran sastra lebih optimal, sehingga dapat melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan bersastra. Pelajaran sastra di sekolah harus ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya dalam sistem pendidikan yang menempatkan otonomi bidang ilmu.
Materi pembelajaran sastra harus disesuaikan dengan usia siswa, karena setiap kelompok usia memiliki kebutuhan untuk bersastra sesuai dengan pengalaman hidupnya. Langkah pengakraban siswa dengan karya sastra perlu terus dilakukan agar mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra sesuai dengan dunianya.



DAFTAR PUSTAKA

Ampera, Taufik. 2010a. “Menelusuri Karya yang “Terselip” dalam Pelajaran Bahasa Sunda”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengajaran Sastra di Sekolah, diselenggarakan Perkumpulan Keluarga Besar Wargi Bogor, 18 Mei 2010.

--------------------. 2010b. Pengajaran Sastra; Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.

-------------------. 2010c. “Peluang Menghidupkan Kembali Bacaan Kolektif” (Artikel).Tribun Jabar, 9 januari 2010.

Faturohman, Taufik, dkk. 2008. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid SD/MI. Bandung: Geger Sunten dan Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Iskandarwassid, 2006. Penuntun Belajar Bahasa Sunda untuk SD Kelas II Semester 1. Depok: Arya Duta.

Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.

O’Sullivan, Emer. 2005. Comparative Children’s Literature (Based on her book, Kinderliterarische Komparatistik). (Diterjemahkan oleh Anthea Bell). London and New York: Routledge.

Rusyana, Enang . 2006. Palajaran Basa Sunda Pikeun Murid Kelas V Sakola Dasar Semester 1. Bogor: Bina Pustaka.
-------------------- . 2007. Palajaran Basa Sunda Pikeun Murid Kelas III Sakola Dasar Semester 1. Bogor: Bina Pustaka.

Sudaryat, Yayat. 2008. Banda Basa Sunda Pikeun Murid SD/MI Kelas 4. Bandung: Mutiara Ilmu.

Sumarsono, Tatang, dkk. 2003. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 2 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.

-------------------------------- . 2004 a. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 1 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.

-------------------------------. 2004 b. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 3 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.

------------------------------. 2005. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 1 Semester Kadua. Bandung: Geger Sunten.

Wiarna, Ensa. 2003. Piwuruk Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid Sakola Dasar. Bandung: Siger Tengah Group.

Tidak ada komentar: