Jumat, 11 November 2011

PENTINGNYA BERCERITA DALAM PENDIDIKAN ANAK
PADA TINGKAT TAMAN KANAK-KANAK

Oleh
Taufik Ampera



1. PENDAHULUAN

Masa anak-anak adalah masa yang penting dalam perjalanan hidup seseorang. Perkembangan perilaku kehidupan pada masa anak-anak akan sangat berpengaruh pada perkembangan dan perilaku pada saat dewasa nanti.
Pada masa awal seperti masa TK, anak-anak belum mampu membaca dengan baik dan benar. Pada masa inilah peran guru sangat diperlukan. Materi pelajaran yang belum dapat dipahami oleh anak melalui bacaan, harus diambil alih oleh guru melalui kegiatan bercerita. Maka kegiatan bercerita merupakan kegiatan penting dalam pendidikan anak.

2. PRINSIP PENDIDIKAN DI TAMAN KANAK-KANAK

Pendidikan anak pada tingkat TK merupakan pendidikan yang khususa penyelenggaraannya. Oleh karena itu agar pendidikan itu dapat membentuk perkembangan anak, maka penyelenggaraan pendidikan pada tingkat TK harus memperhatikan prinsip berikut:

1. TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah. Untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan.
2. Masing-masing anak didik perlu memperoleh perhatian yang bersifat individual, sesuai dengan kebutuhan.
3. Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan proses belajar.
4. Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari.
5. Sifat kegiatan belajar di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah.
6. Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak (Hamalik.1992).

Mencermati prinsip pendidikan di TK dapat dirumuskan bahwa pendidikan di TK harus mengacu pada prinsip bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain, karena dunia anak adalah dunia bermain. Hal tersebut dapat berarti bahwa seluruh kegiatan belajar yang diselenggarakan untuk anak TK tidak boleh mengandung unsur pemaksaan.
Program pendidikan untuk anak TK harus menyenangkan bagi peserta didik selaku pelaku. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut akan berakibat buruk bagi anak, seperti perasaan bosan, melelahkan, dan kehilangan minat belajar.

3. KEGIATAN BERCERITA UNTUK ANAK
Kegiatan bercerita merupakan kegiatan yang bermakna dalam kaitannya dengan perkembangan anak. Alasan cerita sebagai sesuatu yang penting bagi anak, dapat disimak pada uraian berikut:
1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak di samping teladan yang dilihat anak tiap hari.
2. Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat doiintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
3. Bercerita member ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mewngembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan social.
4. Bercerita member cotoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang bgaik, sekaligus member pelajaran bagi anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negative oleh masyarakat.
5. Bercerita memberikan barometer social pada anak, nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti patuh pda perintah orang tua, mengalah pada adik, dan selalu bersikap jujur.
6. Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada pelajaran budi pekerti yang diberikan melaluyi penuturan dan perintah langsung.
7. Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.
8. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figure lekat orang tua.
9. Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan demikian itu menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dari suatu poeristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian di sekelilingnya.
10. Bercerita memberikan daya tarik bersekolah bagi anak karena di dalam bercerita ada efek rekreatif dan imajinatif yang diperlukan nak seusia TK. Kehadiran cerita membuat anak lebih memiliki kerinduan bersekolah.
11. Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut orang lain (Itadz. 2008: 20-21).

Arti pentingnya cerita bagi pendidikan anak TK, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan guru dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur kehidupan dalam bentuk cerita atau dongeng. Kemampuan guru menjadi tolok ukur kebermaknaan bercerita.
Cerita untuk anak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Hanya saja prioritas penikmatnya berbeda. Meskipun demikian, membuat cerita untuk anak tetap harus memenuhi persyaratan. Membuat cerita anak, terlebih cerita tertulis, membutuhkan ketekunan, pendalaman, pengenmdapan, kejujuran, pertanggungjawaban, penelitian, energy yang besar, dan pengetahuan tentang pembacanya itu sendiri (Epstein, 1991 dalam Bunanta, 2000).
Untuk konsumsi anak TK, cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang sesuai untuk mereka antara lain; tema moral dan kemanusiaan, tema binatang. Di samping itu sebaiknya tema yang disajikan bersifat tradisional berbicara pertentangn baik buruk, perseteruan antara kebenaran dan kejahatan. Tema tradisional sangat penting karena bersifat pedagogik dan berperan dalam pembentukan pribadi anak untuk mencintai kebenaran dan menentang kejahatan.
Amanat cerita harus menjadi perhatian pula. Hasil pengamatan mmengungkapkan bahwa, anak yang diberi cerita yang terlalu dekat dengan permasalahannya menjadi kehilangan gairah untuk menyimak cerita. Anak memiliki kepekaan untuk mengetahui bahwa dirinya sedang menjadi objek sindiran. Hal ini perlu dicermati guru dalam memilih dan menampilkan amanat dalam cerita. Amanat yang terlalu mensarati atau membebani mengurangi daya pesona cerita.
Logika kemampuan anak TK masih terbatas, maka plot atau alur cerita yang ditampilkan harus sederhana, tidak terlalu rumit. Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif. Anak TK memerlukan tokoh cerita yang jelas dan sederhana. Tokoh-tokoh sederhana membantu anak-anak dalam mengidentifikasikan tokoh jahat dan tokoh baik. Tokoh sederhana hanya memiliki satu sifat saja, baik saja atau buruk saja. Cerita anak boleh terjadi dalam latar atau setting apa pun, asal sesuai dengan perkembangan kognisi dan moral anak-anak. Setting waktu yang tepat adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahsa anak seperti besok dan sekarang. Rincian waktu sebaiknya dihindari agar anak tidak terbebani mengingat detil waktu sehingga melupakan amanat cerita.
Cerita merupakan dunia yang diciptakan melalui kata-kata. Dunia itu diciptakan, dibangun, ditawarkan, dan diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata (Nurgiyantoro, 1991: 164). Cerita denan media bahasa harus dapat dipahami pembaca atau pendengarnya, oleh karena itu bahasa yang digunakan harus sesuai dengan tingkat usia, sekolah, dan pendidikan pembaca atau pendengarnya. Bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak seusia Tk ditandai sifat-sifatnya sebagai berikut.
1. Kosakata sesuai tahap perkembangan bahasa anak.
a. Cerita untuk anak usia 4 tahun berisi kata-kata mudah yang didasarkan pada kurang lebih 1500 kata yang diperoleh anak. Untuk anak usia 5 tahun didasarkan pada sekitar 3000 kata, dan untuk anak usia 6 tahun didasarkan pada sekitar 6000 kata
b. Kosakata yang digunakan tidak bermakna ganda sehingga akan menyulitkan anak dalam memahami cerita.
c. Kata-kata yang dianggap penting dapat diulang-ulang dalam penceritaan.

2. Struktur kalimat sesuai tingkat perolehan anak.
a. Cerita untuk anak yang berumur 4 tahun berisi kira-kira 4 kata dalam satu kalimat, anak 5 tahun 5 kata, dan anak 6 tahun 6 kata. Hal tersebut didasarkan pada teori Piaget tentang perkembangan struktur kalimat anak.
b. Kalimat yang panjang bainya dipecah menjadi beberapa kalimat.
c. Dapat diperkenalkan pada berbagai jenisd kalima; kalimat aktif, kalimat pasif, dan kalimat majemuk misalnya.


4. MANFAAT CERITA UNTUK ANAK
Cerita sangat bermanfaat bagi pengembangan anak. beikut ini dapat disimak beberapa apandangan mengenai manfaat cerita.
1. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif membentuk pribadi dan moral anak. Melalui cerita, anak dapat memahami nilai baik dan buruk yang berlaku pada masyarakat.
2. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi. Cerita dapat dijadikan sebagai media menyalurkan imajinasi dan fantasi anak. Pada saat menyimak cerita, imajinasi anak mulai dirangsang. Imajinasi yang dibangun anak saat menyimak cerita memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan anak dalam menyeelesaikan masalah secara kreatif.
3. Memacu kemampuan verbal anak. Ceritadapat memacu kecerdasan linguistik anak. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi.
4. Merangsang minat menulis anak. Anak yang terbiasaa memahami cerita dan lebih awal berkenalan dengan cerita akan memiliki kemampuan menulis dengan baik.
5. Merangsang minat baca anak. Kegiatan bercerita dengan buku menjadi ‘pelatihan” baca yang penting. Cerita akan menumbuhkan minat anak terhadap bacaannya.
6. Membuka cakrawala pengetahuan anak. melalaui cerita anak akan mendapatkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat (Itadz. 2008: 81-100).

Manfaat cerita khususnya dongeng, telah diteliti oleh Bruno Bettelheim, seorang psikiater anak. Pendapatnya didasari oleh pengalamannya merawat anak yang bermasalah, dan ia mencatat adanya kebutuhan vital akan dongeng. Bettelheim menyebutkan bahwa tokoh-tokoh dalam dongeng merupakan tokoh yang terisolasi, terbuang, dan terusir. Melihat keadaan anak-anak masa kini yang seringkali juga merasakan hal yang sama, maka anak memerlukan citra tokoh yang meskipun suatu saat dalam keadaan terisolasi dan terbuang, mampu mencapai kemenangan dan mendapat ganjaran yang bermanfaat bagi hidupnya (Bettelheim, 1977; 11). Oleh karena itu ia menyatakan bahwa anak-anak pada masa kini lebih lagi memerlukan cerita rakyat daripada masa ketika cerita rakyat itu diciptakan. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat tidak saja memberi rasa percaya diri dan rasa mampu pada anak, juga memberi pandangan hidup yang berkaitan dengan moralitas. Selain itu juga, cerita rakyat menambah kemampuan berbahasa dan meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra serta mengembangkan kesadaran tentang kebudayaan.

5. KONTRIBUSI CERITA BAGI PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
Perkembangan bahasa meliputi berbagai aspek linguistik, seperti fonologis, morfologis, sintaksis, dan wacana. Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari berbagai unsur tersebut. Cerita dengan bahasa sebagai alat utamanya dapat dijadikan sebagai media perkembangan bahasa anak. Oleh karena itu, aspek-aspek linguistik dalam scerita pun perlu memperoleh perhatian utama.
5.1 Perkembangan Kosa Kata
Studi psikolinguistik membukikan bahwa anak-anak kadang menggunakan kata-kata tertentu sebelum mereka memahami maknanya. Menurut Berk (1994: 367-368) pada awal pemerolehan bahasa, anak-anak pada umumnya melakukan beberapa hal berikut; beberapa kata diberi makna lebih luas (overextension), lebih sempit (underextension), dan bahkan tidak berkaitan sama sekali (noextension). Kasus itu terjadi selama proses pemerolehan kata pada anak berlangsung. Permasalahan tersebut perlu ditangani, antara lain melalui diksi (pilihan kata) dalam sastra. Diksi dalam kaitan ini memberikan tawaran terhadap bentuk-bentuk kata yang akan dipahami siswa serta memberikan konteks yang memadai sehingga siswa dapat memahami maknanya sekaligus.
Untuk memperkaya pemerolehan kosa kata pada siswa, guru dapat melakukan hal-hal berikut ini.
a. Pilih kata-kata yang hendak diperkenalkan kepada siswa atau dapat memanfaatkan materi kosa kata yang ada dalam buku pelajaran.
b. Bimbing siswa untuk mengucapkan kata dengan lafal yang tepat dan jelas, sehingga siswa dapat menerima kata itu sebagai kosa kata baru.
c. Susun kata-kata tersebut menjadi sebuah cerita. Ulang kata-kata itu dalam konteks yang tepat hingga siswa memperoleh gambaran makna.

5.2 Perkembangan Struktur Kalimat
Perkembangan struktur kalimat melalui karya sastra tidak akan berhasil dengan baik jika guru tidak melatih siswa untuk bercerita ulang (retelling). Melalui bercerita ulang dapat diketahui apakah siswa mampu menangkap isi cerita dan dapat mengungkapkan kembali cerita dengan struktur bahasanya sendiri sesuai dengan yang dicontohkan. Bercerita ulang dapat dilakukan melalui teknik demonstrasi. Teknik demonstrasi dalam pengajaran sastra anak dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan atau memperagakan suatu materi (Ampera. 2010: 20).
Melalui bercerita atau berdialog, siswa akan memperoleh keleluasaan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik. Untuk mengembangkan struktur kalimat, sebaiknya diupayakan pilih berbagai ragam kalimat. Ciptakan kalimat yang bervariasi dalam bercerita atau berdilaog. Satu hal yang perlu dicatat, pilih juga cerita yang sesuai dengan perkembangan emosi, intelektual, dan imajinasi siswa.

5.3 Perkembangan Pragmatik
Secara alamiah, anak-anak telah dapat menggunakan tuturan yang mempunyai fungsi ilokasi yang secara pragmatik dapat diklasifikasikan sebagai tindak tutur yang kompetitif seperti memerintah dan menuntut, menyenangkan seperti menyapa dan mengucapkan terima kasih, bekerja sama seperti menyatakan dan melaporkan, serta bertentangan seperti mengancam dan menuduh. Sopan santun adalah fenomena linguistik. Pragmatik dalam hal ini megatur tingkah laku bahasa yang memenuhi prinsip sopan santun terutama tingkah laku direktif (seperti memerintah) dan komisif (seperti berjanji) (Leech, 1990; 104-106).
Prinsip sopan santun dalam pragmatik menganjurkan supaya dalam bertindak tutur kita memenuhi prinsip kesopansantunan, terutama tindak tutur yang digunakan untuk memerintah dan berjanji. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa tuturan yang baik memiliki beberapa kriteria. Hal itulah yang perlu diajarkan oleh para guru dan orang tua terhadap siswa dan anak-anak. Dengan demikian cerita dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran pragmatik pada anak-anak.

6. CARA BERCERITA
Untuk menunjang peragaan bercerita, di bawah ini dikemukakan cara mendongeng berdasarkan pemaparan Priyono (2001:27-33).
A. Mendongeng Langsung
Cara mendongeng secara langsung tanpa alat peraga bisanya sering digunakan oleh para orang tua atau guru di sekolah. Posisi: (1) jangan membungkuk; duduk tegap dan rileks, (2) pahami dulu dongeng yang akan diceritakan, (3) suasana harus gembira. Pada saat mulai mendongeng usahakan mengawali dengan nyanyian atau pantun, misalnya untuk cerita tentang laut, nyanyikan lagu ”Nenek Moyangku Orang Pelaut.” kemudian lanjutkan dengan, ”Syahdan (konon) pada zaman dahulu kala di suatu tempat....” dan seterusnya.
Perubahan wajah atau mimik muka disesuaikan dengan tokoh yang diceritakan, misalnya ekspresi wajah sedih ketika tokoh sedang berduka. Saat mendongeng perhatikan juga ekspresi wajah pendengar dan libatkan mereka dalam alur cerita supaya mereka mempunyai kebanggaan menjadi bagian dari tokoh idola masing-masing. Hal ini sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan emosi anak. Jangan lupa, di akhir cerita, pesan yang ingin disampaikan diulas, tetapi jangan terlalu menggurui.

B. Mendongeng dengan Alat Peraga Boneka
Mendongeng dengan alat peraga boneka, memerlukan sedikit keterampilan karena tokoh yang akan dibawakan atau boneka yang dipegang harus sesuai dengan karakter dalam cerita. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, ketika mendongeng dengan alat peraga boneka:
1. Jarak boneka tangan harus agak jauh dari mulut.
2. Kedua belah tangan harus lentur dalam memainkan boneka.
3. Bisa diiringi dengan musik untuk menambah suasan.
4. Libatkan anak-anak dalam adegan cerita yang dibawakan.
5. Sesekali adakan dialog antara tokoh boneka dan pendengar atau penonton.
6. Suara karakter dari tokoh cerita dongeng harus pas sesuai peran.
7. Ajak pendengar atau penonton bernyanyi bersama boneka guna memperoleh keterikatan dalam cerita dongeng.
8. Seusai mendongeng jangan lupa ulas pesan yang terkandung dalam dongeng tersebut; boneka seolah-olah berbicara pada anak-anak (pendengar atau penonton).

C. Mendongeng dengan Alat Peraga Buku
Cara mendongeng dengan alat peraga buku, misalnya membacakan cerita atau gambar. Hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Posisi duduk harus berada di tengah dan bisa dilihat dari berbagai arah.
2. Pahami dahulu dongeng yang akan disampaikan atau diceritakan.
3. Cara memegang buku adalah di samping kiri bahu, pandangan lurus ke depan.
4. Saat tangan kanan menunjuk gambar harus seirama dengan urutan cerita. Ingat jangan sampai salah menempatkan intonasi sesuai karakter tokoh dalam cerita.
5. Sesekali boleh berekpresi sendiri untuk memikat anak yang mendengarkan.
6. Libatkan mereka dalam cerita tersebut supaya interaktif.
7. Dalam membuka halaman buku harus perlahan-lahan sambil tetap mendongeng.
8. Saat cerita sudah selesai jangan lupa adakan tanya jawab, misalnya tanyakan nama tokoh dan pengarangnya agar anak mulai belajar menghargai karya cipta.


D. Mendongeng dengan Alat Peraga di Papan Panel
Cara lain untuk mendongeng adalah menggunakan alat peraga kertas karton di papan panel.
1. Terlebih dahulu siapkan cerita gambar yang dibuat menarik dengan tata warna sesuai tingkat usia.
2. Gambar-gambar itu ditempel di papan panel di depan pendengar anak-anak.
3. Setiap mulai cerita, jangan salah menyebut dan menunjukkan tokoh yang diceritakan.
4. Setelah digunakan, gambar yang telah diceritakan atau didongengkan dilipat ke belakang papan panel atau ditumpuk rapi.
5. Sesekali adakan dialog dengan anak-anak (pendengar) yang mendengarkan.
6. Pada waktu bercerita, karakter tokoh tersebut bisa dipraktekkan bersama anak-anak sehingga mereka terlibat langsung.
7. Dalam menyajikan cerita, pendongeng bisa menambahnya dengan nyanyian supaya anak merasa senang dan gembira.
8. Setelah selesai bercerita atau mendongeng, gambar dilipat kembali, anak yang mendengarkan bisa disuruh bercerita atau mendongeng kembali.

E. Mendongeng dengan Gaya Teater
1. Posisi pendongeng di sudut pinggir dengan lampu yang sudah disediakan.
2. Ketika mulai mendongeng harus sesuai dengan skenario dan diperlukan waktu yang tepat.
3. Pendongeng berfungsi sebagai narator, ibarat dalang dalam sebuah pertunjukan.
4. Dalam mendongeng diperlukan sedikit gaya teaterikal karena jarak antara penonton yang mendengarkan agak jauh.
5. Musik pengiring sebagai ilustrasi sangat mendukung adegan.
6. Porsi dalam mendongeng adalah 40% pendongeng, 60% fragmen atau visual adegan.
7. Pendongeng menutup akhir cerita tanpa mengulas lagi.

Sebelum menyajikan demonstrasi, sebaiknya pengajar membimbing siswa untuk memilih cerita yang tepat untuk disajikan. Di antara berbagai jenis cerita, cerita tradisional dan cerita tentang pengalaman merupakan cerita yang banyak diminati.
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam menentukan cerita adalah pilih judul yang menarik dan mudah diingat. Studi psikolinguistik membuktikan bahwa judul memiliki kontribusi terhadap memori cerita. Menurut Scove (2000), judul merupakan elemen cerita yang pertama kali diingat daripada kalimat-kalimat dalam cerita. Melalui judul, pendengar atau pembaca akan memanfaatkan latar belakang pengetahuan untuk memproses isi cerita secara top down. Hal itu digunakan untuk pemahaman unit bahasa yang lebih besar, dan hal tersebut membantu pemahaman dan penyimpanan secara menyeluruh (Itadz. 2008: 102).
Setelah menemukan judul yang tepat, pengajar dan siswa dapat menentukan materi cerita yang baik. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan memilah dan memilih bahan, karena begitu banyaknya bahan cerita yang tersedia di sekitar kita (Itadz. 2008: 102). Untuk mendapatkan cerita yang baik dan tepat, pengajar dan siswa dapat melaksanakan petunjuk dari Cox (Itadz. 2008: 102-103), seperti berikut:
1. Mencari sumber cerita sebanyak-banyaknya, baik sumber visual berupa buku, sumber audial berupa dongeng yang dilisankan, dan cerita radio, maupun sumber audio-visual berupa cerita di televisi, video, maupun film.
2. Catat dan urutkan cerita-cerita tersebut dalam sebuah file cerita. Kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan kartu atau dengan menggunakan lembar kertas. Tulis dalam file tersebut judul cerita dan nama penulis.
3. Pilihlah dongeng berdasarkan analisis pengajar atau siswa. Lakukan pembacaan sekilas untuk menentukan hal tersebut. Jika belum yakin, lakukan sekali lagi. Tulis hasil pemilahan tersebut pada file. Dengana demikian akan diperoleh identitas cerita yang dikategorikan berdasarkan kesesuaian cerita dengan pendengarnya, berdasaraakan usia atau tingkat pendidikan.
4. Identifikasikan materi pendukung yang dapat diusahakan pengajar dan siswa, seperti boneka, wayang, musik dan peraga lainnya untuk kegiatan persembahan cerita.

7. SIMPULAN
Kegiatan bercerita merupakan salah satu upaya dalam pengembangan anak. Kegiatan bercerita dapat dilakukan sebaga media transformasi nilai-nilai kehidupan. Banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan bercerita. Kegiatan bercerita mrupakan salah satu wujud dari aktivitas komunikasi.
Agar cerita dapat dipahami lebih mudah, maka sebaiknya penutur ceita menguasai cara bercerita. Sehingga cerita akan lebih berarti untuk mengisi relung kehidupan anak. Melalui cerita pula aanak akan mampu memahami kehidupannya.















DAFTAR PUSTAKA

Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra; Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.
Berk, L.E. 1994. Child Development. Boston: Allyn & Bacon.
Hamalik, Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Itadz. 2008. Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta; Tiara Wacana.

Leech, Geofrey. 1990. Principles of Pragmatics. Singapura; Longman.
Nurgiantoro, Burhan. 1991. Dasar-dasar Kajian Fiksi: Sebuah Teori Pendekatan Fiksi. Yogyakarta: Usaha Mahasiswa.

Priyono, Kusumo. 2001. Terampil Mendongeng. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

(Disampaikan pada Pelatihan Guru-Guru TK se-Jawa Barat, 2010 di Lembang)

Tidak ada komentar: