Jumat, 11 November 2011

PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN NILAI- NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT SUNDA*

Oleh: Taufik Ampera, Drs., M. Hum.
(Universitas Padjadjaran)



1. PENGANTAR
Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang diiringi dengan persebaran nilai-nilai baru serta ilmu pengetahuan dan teknologi maju, menyebabkan nilai-nilai tradisi terdesak atau terdegradasi, tidak dipatuhi atau tidak dikembangkan lagi, baik oleh pendukungnya, maupun oleh orang lain di luar komunitas itu. Gejalan lain, ketika masyarakat pendukung tradisi patuh mendukungnya, namun ternyata mendapat tantangan dari luar, seperti tidak adanya pengakuan dan penghormatan terhadap tradisi lokal. Hal tersebut, tentunya akan memudahkan konflik sosial.
Agar hal itu tidak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, maka penghayatan terhadap nilai-nilia budaya mutlak dilakukan, karena nilai-nilai tersebut menjadi ciri identitas masyarakat, yang berkaitan erat dengan otentisitas perilaku atau visi hidup masyarakat pendukung budaya lokal tersebut. Pentingnya memahami ‘nilai-nilai budaya’ sebagai energi sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat, akan membentuk kinerja politik, ekonomi, penegakan hukum, pendidikan dan sosial suatu bangsa ke arah yang lebih baik.


*Disampaikan pada Rakor Pokja Adat-istiadat dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Tingkat Kabupaten Bandung, 22 Nopember 2010.

2. PENGERTIAN
2.1 ADAT-ISTIADAT
Istilah adat dalam budaya Sunda;
1. Arti “urf”, sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan pada masyarakat.
2. Kebiasaan yang bersifat seremonial, upacara yang berhubungan dengan kepercayaan lama dan penuh simbol.
3. Berarti “tabi’at”, sifat pembawaan sejak lahir, bersifat kodrati.
4. Berarti sopan-santun pergaulan.
Adat-istiadat adalah berbagai adat kebiasaan yang terus berlaku pada masyarakat.

2.2 NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
Nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dianggap baik atau buruk berdasarkan kebudayaan setempat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.

3. BUDAYA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT DI BANDUNG
3.1 LOCAL KNOWLEDGE MASYARAKAT CIKONDANG
Pengetahuan lokal yang dimaksud; sebagian nasi tumpeng yang dihidangkan pada upacara tradisional, dikeringkan kemudian disangray lalu diseduh dan didinginkan kemudian disiramkan pada tanaman yang berhama. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai obat sakit perut.
Untuk menghilangkan hama, masyarakat menggunakan cara lain, yaitu dengan menutup hama yang menempel pada tanaman dengan daun pisang manggala yang dipakai bungkus atau alas sesajen.

3.2 TRADISI LOKAL
WUKU TAUN; diperingati tiap tahun pada tanggal 1 s.d 15 Muharam wujud rasa syukur selesai panen. Simbol-simbol pada sesaji;
1. Opak beureum dan opak bodas; merah putih melambangkan berani karena benar, takut karena salah. Diharapkan agar manusia selalu bersih dalam berbuat, berucap, dan berniat.
2. Hayam bodas, hayam hideung, hayam hawuk; warna putih bermakna manusia harus bersih dan suci; warna hitam bermakna agar manusia selalu berinisiatif untuk berkarya dengan kesadaran; warna abu-abu bermakna cikal bakal manusia.
3. Daun pisang manggala; bermakna bahwa manusia harus memiliki karakter kuat dan berjiwa lapang dada.

3.3 POLA PEMUKIMAN
Rumah tempat tinggal masyarakat dibangun berkelompok di lereng bukit. Di level paling tinggi, sebelah selatan pemukiman penduduk, terdapat bumi adat (dengan kelengkapannya leuit, kolam, tampian dan jamban serta saung lisung). Bagian bumi adat lainnya adalah hutan keramat. Pohon-pohon yang tumbuh di dalam hutan keramat tidak boleh ditebang sembarangan. Hanya jika ada wangsit, pohon tersebut boleh ditebang dan dipergunakan untuk membuat atau memperbaiki rumah adat. Hal ini erat kaitannya dengan pengetahuan lokal dan tabu yang masih dianut oleh masyarakat.

4. UPAYA PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN
1. Revitalisasasi ‘dihidupkan lagi dan didorong agar tumbuh dan berkembang’;
2. Reaktualisasi ‘dihidupkan kembali dengan ‘miindung ka waktu mibapa ka jaman’;
3. Revisi ‘disesuaikan dari tujuan semula’;
4. Restrukturisasi ‘dimodifikasi agar sesuai dengan jamannya’;
5. Fill In ‘diisi dengan nilai-nilai baru’;
6. Inovasi ‘adanya kreativitas budayawan agar lebih menarik’;
7. Kreasi ‘membuat kreasi baru yang sesuai dengan daerahnya’;
8. Delete ‘adanya penghapusan nilai-nilai yang tidak sesuai’

REVITALISASI; LUMBUNG MINI MASYARAKAT
Budaya Jimpitan; jimpitan merupakan salah satu bentuk gotong royong masyarakat pedesaan. Tradisi beras jimpitan atau lumbung mini mungkin kini hampir tidak pernah terdengar lagi. Padahal, tradisi beras jimpitan ini memiliki multi fungsi bagi ketahanan pangan keluarga sekaligus bisa menjadi ketahanan ekonomi bagi bangsa. Kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini memang paling tidak mengajarkan spirit menabung dalam artian tidak menabung uang, melainkan menyisihkan sejumput beras untuk ditabung guna keperluan keluarga, kelompok dan komunitas suatu masyarakat menjaga ketahanan pangannya.

REVISI UNGKAPAN SUNDA
Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda; ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua. Jika dilihat dari filosofinya, “Someah hade ka semah” merupakan local wisdom dari tatar Sunda. Ini berarti bahwa urang Sunda harus ramah pada tetamunya. Agar tidak “Jati kasilih ku junti”, maka “Someah hade ka semah” diterapkan kepada semah nu hade (pendatang yang berperilaku baik); “Someah hade ka semah anu hade”.

INOVASI WAYANG GOLEK
Asep Sunandar Sunarya mengkombinasikan wayangnya berdasarkan aspek sandiwara dan remediasi. Juga menirukan gerakan-gerakan kartun amerika dan film silat dari Hongkong. Begitu pula dalam iringan musiknya, banyak menampilkan berbagai unsur musik diantaranya dangdut. Gaya inovatif Asep dianggap revolusi wayang pada tahun 1980-an dan merupakan kebangkitan wayang. Selain inovasi gerakan dan musik wayang, Asep terkenal dengan kreativitasnya terhadap tokoh cepot.

PENGHAPUSAN NILAI YANG TIDAK SESUAI
Sebuah tawaran terhadap babasan “Awewe dulang tinande” (awewe mah biasana kumaha kahayang lalaki). Ungkapan tersebut Tidak aktual lagi bila dikaitkan dengan gerakan emansipasi wanita dan feminisme.



5. PENUTUP
Dengan terjadinya transformasi sosial budaya akibat derasnya globalisasi, diperlukan adanya pemaknaan terhadap nilai dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam keseluruhan budaya. Nilai-nilai budaya, tidak dapat diragukan lagi dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan aktivitas masyarakat.

Disampaikan pada Rakor Pokja Adat-istiadat dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Tingkat Kabupaten Bandung, 22 Nopember 2010.

Tidak ada komentar: