Jumat, 11 November 2011

“SASTRA” SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN BAHASA
ANAK-ANAK

Oleh
Taufik Ampera



1. Pendahuluan
Bahasa mempunyai fungsi hakiki sebagai alat komunikasi. Dengan bahasa seseorang dapat berhubungan dengan yang lainnya, mengungkapkan perasaan, pikiran, ide, dan kemauannya. Dengan adanya komunikasi, seseorang dapat memahami orang lain. Oleh karena kedudukan bahasa sebagai alat komunikasi inilah, maka pengembangan bahasa pada anak-anak sangat penting, agar mereka mampu melakukan interaksi sosial dengan baik.
Sastra dengan media bahasanya mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan kemampuan berbahasa anak-anak, baik menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Pengenalan kesastraan kepada anak terutama di sekolah sebaiknya melibatkan keempat saluran berbahasa tersebut dengan strategi yang dikreasikan sendiri oleh guru secara kontekstual.
Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan realitas pengajaran sastra Sunda di sekolah. Meskipun pengajaran sastra di sekolah masih menghadapi berbagai permasalahan, namun ternyata sastra dapat menjadi media pengembangan bahasa anak-anak. Melalui sastra anak-anak dapat memperkaya kebahasaannya.

2. “Sastra” dalam Pelajaran Bahasa Sunda
Pada makalah yang pernah dipaparkan, penulis mengungkapkan bahwa pelajaran sastra Sunda di sekolah terintegrasi dalam pelajaran bahasa Sunda (Periksa Ampera. 2010a). Untuk lebih jelasnya, penulis kemukakan kembali dengan beberapa bagian yang disesuaikan. Pelajaran sastra Sunda bukan merupakan pelajaran yang “khusus” dapat dibuktikan dalam muatan pelajaran bahasa Sunda. Sastra “terselip” dalam buku pelajaran tersebut. Pada setiap bagian pelajaran tidak secara jelas dibahas sebagai materi sastra. Sastra disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Sastra disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi. Lebih jelasnya pelajaran sastra terintegrasi pada pelajaran bahasa. Hal itu, menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah.
Ketidakpastian sastra dalam pelajaran bahasa Sunda, terbukti pula dengan tidak adanya ketegasan identitas pelajaran sastra. Buku-buku pelajaran selalu menampilkan “bahasa” sebagai label untuk menempatkannya sebagai bidang ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Berikut ini beragam judul buku yang menempatkan kerupawanan “bahasa”, yang sesungguhnya di dalamnya “terselip” sastra: Piwuruk Basa, Piwulang Basa, Penuntun Belajar Bahasa Sunda, Pelajaran Bahasa Sunda, Palajaran Basa Sunda, Banda Basa Sunda, dan Gapura Basa.
Dalam setiap buku itu, sesungguhnya terdapat materi sastra dari berbagai genre sastra anak, sebut saja diantaranya; Sakadang Peucang Keuna Ku Leugeut (Sumarsono, 2004a: 21-22), Sireum jeung Gajah (Sumarsono, dkk. 2005: 39-42), Sasakala Uncal Tandukan (Sumarsono, 2003: 26-27) Budak Pahatu (Sumarsono, 2003: 38-40), Pangeran Tambakbaya (Sumarsono, 2004b: 27-28), Si Kabayan jeung Mitohana (Sumarsono, 2004b: 36-38), Sasakala Selat Sunda jeung Gunung Rakata (Sumarsono, 2004b: 45-47), dan Balap Melak Cau (Rusyana, 2007: 43-44). Di samping prosa tradisional, dalam pelajaran bahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar, terdapat pula genre puisi tradisional seperti kakawihan barudak ‘nyanyian anak-anak’, pupujian, dan pupuh.
Mencermati uraian tersebut, sebenarnya pelajaran sastra Sunda di sekolah itu ada, tetapi bukan merupakan pelajaran yang khusus, melainkan terintegrasi dalam pelajaran bahasa Sunda. Bukan sesuatu yang mengherankan bila di sekolah dasar tidak dikenal adanya sastra anak atau dalam istilah bahasa Sunda sastra bacaan barudak. Di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, tidak mengherankan jika tidak dikenal sastra remaja.
Sebaliknya negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, Jepang, Australia, dan Canada telah lama berlomba-lomba untuk mengembangkan sastra sebagai bidang kajian di berbagai jenjang pendidikan. Negara-negara maju tersebut menempatkan sastra anak dan sastra remaja sebagai teks yang harus dipelajari dan dikaji secara khusus. Sastra anak dan remaja sudah merupakan disiplin ilmu yang mapan dan banyak diminati. Para pakar dan profesor giat mengembangkan keilmuannya, para sastrawan setia melahirkan karya-karyanya, kritikus sangat bertanggung jawab mendewasakan karya yang telah dihasilkan para sastrawan, serta pembaca sastra mampu memberikan sambutan yang mengesankan. Buku-buku dan jurnal-jurnal tentang perkembangan ilmu sastra anak dan remaja berkembang dengan pesat. Perpustakaan dan galeri buku memantapkan sastra anak dan sastra remaja sebagai disiplin ilmu yang bergengsi.
Pada uraian berikut, penting dikemukakan mengenai sastra anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak hidup dalam masa perkembangan yang pesat, terutama perkembangan fisik dan perkembangan mental. Untuk menunjang perkembangan fisik dan mental anak, sastra dapat dijadikan sebagai sarana penunjang, karena sastra dapat memberikan nilai-nilai tinggi bagi proses perkembangan bahasa, kognitif, personalitas, dan sosial anak-anak.
Menurut Lukens (2003: 9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran kehidupan yang ada dalam sastra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan menanggapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Kewajiban orang tua dan pengajar sastra untuk menentukan pilihan sastra yang sesuai dengan jiwa anak, yaitu sastra yang menempatkan anak sebagai pengamat utama dan sebagai pusat pemilik kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman dan mengembangkan fantasinya. Sastra yang dipilih pertama-tama harus mencerminkan perasaan dan pengalaman anak. Hunt (1995; 61) mengungkapkan definisi sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak. Sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak, yang secara khusus cocok dan dapat memuaskan sekelompok pembaca yang disebut anak. Dari definisi yang dikemukakan Hunt tersebut, dapat dipahami, bahwa sastra anak adalah buku-buku bacaan atau karya sastra yang sengaja ditulis sebagai bacaan anak, isinya sesuai dengan minat dan pengalaman anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosi dan intelektual anak.
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan dan semesta (Semi, 1993: 1). Sastra merupakan karya kreatif yang mengungkapkan masalah hidup. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari sudut pandang anak, dari kacamata anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan pikiran anak (Nurgiantoro, 2005: 8). Sastra anak sebagai bacaan anak harus memiliki karakter sederhana, isi dan bentuk sastra disesuaikan dengan tingkat pengalaman anak. Tingkat pengalaman dan kematangan anak, berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak belum memahami ungkapan-ungkapan yang kompleks, apalagi ungkapan yang termasuk kategori tidak lazim sebagaimana dalam bacaan dewasa.
Kaitannya dengan uraian sastra anak, Perry Noedelman (Hillman, 1995: 3) menyatakan bahwa ciri sastra anak adalah bersifat didaktik, dengan pesan budaya yang melekat kuat dalam cerita-cerita yang dirancang sebagai sarana belajar anak-anak bagaimana menjadi orang dewasa. O’Sullivan (2005: 13) menegaskan bahwa dalam kesejarahannya, sastra anak sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi berikutnya. Cristantiowati (1996:13) mengungkapkan perbedaan antara sastra orang dewasa dengan sastra anak, yaitu dalam ”kedalaman”. Hal ini berkaitan erat dengan pengalaman anak yang lebih terbatas dari pada orang dewasa, sehingga anak belum dapat memahami ide-ide rumit. Ide dalam sastra anak harus disampaikan dalam bentuk dan bahasa yang lebih sederhana.

3. Kontribusi Sastra bagi Perkembangan Bahasa Anak
Perkembangan bahasa meliputi berbagai aspek linguistik, seperti fonologis, morfologis, sintaksis, dan wacana. Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari berbagai unsur tersebut. Sastra dengan bahasa sebagai alat utamanya dapat dijadikan sebagai media perkembangan bahasa anak. Oleh karena itu, aspek-aspek linguistik dalam sastra pun perlu memperoleh perhatian utama.
3.1 Perkembangan Kosa Kata
Studi psikolinguistik membukikan bahwa anak-anak kadang menggunakan kata-kata tertentu sebelum mereka memahami maknanya. Menurut Berk (1994: 367-368) pada awal pemerolehan bahasa, anak-anak pada umumnya melakukan beberapa hal berikut; beberapa kata diberi makna lebih luas (overextension), lebih sempit (underextension), dan bahkan tidak berkaitan sama sekali (noextension). Kasus itu terjadi selama proses pemerolehan kata pada anak berlangsung. Permasalahan tersebut perlu ditangani, antara lain melalui diksi (pilihan kata) dalam sastra. Diksi dalam kaitan ini memberikan tawaran terhadap bentuk-bentuk kata yang akan dipahami siswa serta memberikan konteks yang memadai sehingga siswa dapat memahami maknanya sekaligus.
Untuk memperkaya pemerolehan kosa kata pada siswa, guru dapat melakukan hal-hal berikut ini.
a. Pilih kata-kata yang hendak diperkenalkan kepada siswa atau dapat memanfaatkan materi kosa kata yang ada dalam buku pelajaran.
b. Bimbing siswa untuk mengucapkan kata dengan lafal yang tepat dan jelas, sehingga siswa dapat menerima kata itu sebagai kosa kata baru.
c. Susun kata-kata tersebut menjadi sebuah cerita. Ulang kata-kata itu dalam konteks yang tepat hingga siswa memperoleh gambaran makna.


3.2 Perkembangan Struktur Kalimat
Perkembangan struktur kalimat melalui karya sastra tidak akan berhasil dengan baik jika guru tidak melatih siswa untuk bercerita ulang (retelling). Melalui bercerita ulang dapat diketahui apakah siswa mampu menangkap isi cerita dan dapat mengungkapkan kembali cerita dengan struktur bahasanya sendiri sesuai dengan yang dicontohkan. Bercerita ulang dapat dilakukan melalui teknik demonstrasi. Teknik demonstrasi dalam pengajaran sastra anak dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan atau memperagakan suatu materi (Ampera. 2010b: 20).
Melalui bercerita atau berdialog, siswa akan memperoleh keleluasaan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik. Untuk mengembangkan struktur kalimat, sebaiknya diupayakan pilih berbagai ragam kalimat. Ciptakan kalimat yang bervariasi dalam bercerita atau berdilaog. Satu hal yang perlu dicatat, pilih juga cerita yang sesuai dengan perkembangan emosi, intelektual, dan imajinasi siswa.


3.3 Perkembangan Pragmatik
Secara alamiah, anak-anak telah dapat menggunakan tuturan yang mempunyai fungsi ilokasi yang secara pragmatik dapat diklasifikasikan sebagai tindak tutur yang kompetitif seperti memerintah dan menuntut, menyenangkan seperti menyapa dan mengucapkan terima kasih, bekerja sama seperti menyatakan dan melaporkan, serta bertentangan seperti mengancam dan menuduh. Sopan santun adalah fenomena linguistik. Pragmatik dalam hal ini megatur tingkah laku bahasa yang memenuhi prinsip sopan santun terutama tingkah laku direktif (seperti memerintah) dan komisif (seperti berjanji) (Leech, 1990; 104-106).
Prinsip sopan santun dalam pragmatik menganjurkan supaya dalam bertindak tutur kita memenuhi prinsip kesopansantunan, terutama tindak tutur yang digunakan untuk memerintah dan berjanji. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa tuturan yang baik memiliki beberapa kriteria. Hal itulah yang perlu diajarkan oleh para guru dan orang tua terhadap siswa dan anak-anak. Dengan demikian cerita dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran pragmatik pada anak-anak. Di bawah ini dipaparkan contoh kutipan dialog dalam beberapa karya sastra untuk berbagai fungsi bahasa (dimodifikasi dari Halliday, 1975), yang dapat menggambarkan prinsip sopan santun dalam pragmatik.

Fungsi Bahasa Bentuk Sopan Bentuk Kurang Sopan
Instrumental (memperoleh sesuatu) Nuhun, Tétéh kersa nampi abdi sareng énggal-énggal abdi dipasihan pidameleun.
(Si Leungli: 8) Katarimakeun pisan Tétéh, daék narima kuring tur gancang méré pagawéan.
Regulatori (menyarankan atau mengontrol) Cing atuh nu Gareulis geura rarépéh nangisna!
(Putri Tujuh:25) Meunggeus atuh ulah careurik waé!
Interaksional (membangun hubungan sosial) Sampurasun, ieu mamang daratang...
(Putri Tujuh:36) Héy........ ieu kaula geus daratang.
Personal (mengekspresikan emosi, perasaan) Abdi téh parantos capé. Ngider milarian gawé can aya anu maliré.
(Si Leungli: 21) Kuring téh geus capé ngider néangan gawé can aya nu maliré .
Heuristik (bertanya sesuatu) Saha atuh kakasih anu Geulis téh?
(Putri Tujuh:37) Saha atuh ngaran anu geulis téh?
Imaginatif (mencipta dan berimajinasi) “Ta...tata...tatata; Aduh! Tata...tatata.
(Torotot Heong: 35) “Ta...tata...tatata; Aduh! Nyeri....nyeri....nyeri...

Representasional (memberikan informasi) Nun gusti, abdi téh parantos teu indung teu bapa.
(Budak Pahatu) Sangakan di dinya nyaho, kuring teh geus teu indung teu bapa.

Melalui pemahaman tingkat tutur berbahasa, seorang anak atau siswa tidak hanya akan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, melainkan juga memiliki kehalusan budi. Hal itu sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Mönks (1998) anak-anak yang terbiasa berkomunikasi dalam bahasa daerah ragam tinggi cenderung bersikap sopan dan mampu menahan diri.


3. Simpulan
Sastra sebagai sebuah karya seni memiliki sumbangan yang besar bagi perkembangan bahasa anak. Peningkatan penguasaan bahasa anak tersebut harus dipahami tidak hanya melibatkan kosakata dan struktur kalimat, tetapi terlebih menyangkut pada pemahaman dan kemampuan bertindak tutur yang memenuhi prinsip kesopansantunan.
Kian tinggi apresiasi sastra seseorang, maka kian meningkat pula kemampuan bahasnya. Oleh karena itu, pengajaran sastra perlu lebih diperhatikan, tidak lagi dipandang sebelah mata atau sebagai pelengkap materi pengajaran bahasa.


DAFTAR PUSTAKA
Ampera, Taufik. 2010a. “Menelusuri karya yang “Terselip” dalam Pelajaran Bahasa Sunda” . Makalah Seminar Pengajaran Sastra di Sekolah diselenggarakan Perkumpulan Keluarga Besar Wargi Bogor, 18 mei 2010.
----------------------. 2010b. Pengajaran Sastra; Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.
Berk, L.E. 1994. Child Development. Boston: Allyn & Bacon.
Cristantiowati. 1996. Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945. Jakarta: Balai Pusta.
Deenik, A.C. dan Rd. Djajadiredja. Roesdi jeung Misnem. Batavia: Rijswijk (Z.H.) Blankwaardt & Schoonhoven.
Faturohman, Taufik, dkk. 2008. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid SD/MI. Bandung: Geger Sunten dan Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Hillman, Judith. 1995. Discovering Children’s Literature. New Jersey: Prentice-Hall. Inc.
Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory and Children’s Literature. Cambridge, Massachusetts: Blackwell.
Iskandarwassid, 2006. Penuntun Belajar Bahasa Sunda untuk SD Kelas II Semester 1. Depok: Arya Duta.

Leech, Geofrey. 1990. Principles of Pragmatics. Singapura; Longman.
Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.
Mönks, F.J. A.M.P. Knoers, dan Haditono, Siti Rahayu. 1998. Psikologi perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
O’Sullivan, Emer. 2005. Comparative Children’s Literature (Based on her book, Kinderliterarische Komparatistik). (Diterjemahkan oleh Anthea Bell). London and New York: Routledge.
Rusyana, Enang . 2006. Palajaran Basa Sunda Pikeun Murid Kelas V Sakola Dasar Semester 1. Bogor: Bina Pustaka.
-------------------- . 2007. Palajaran Basa Sunda Pikeun Murid Kelas III Sakola Dasar Semester 1. Bogor: Bina Pustaka.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudaryat, Yayat. 2008. Banda Basa Sunda Pikeun Murid SD/MI Kelas 4. Bandung: Mutiara Ilmu.
Sumarna, Akub. 1984: Si Leungli. Bandung; Tarate.
-------------------. 2007. Putri Tujuh. Bandung: Imtima.
Sumarsono, Tatang, dkk. 2003. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 2 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.
-------------------------------- . 2004 a. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 1 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.
-------------------------------. 2004 b. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 3 Semester Kahiji. Bandung: Geger Sunten.
------------------------------. 2005. Piwulang Basa Pangajaran Basa Sunda Anggoeun Murid SD Kelas 1 Semester Kadua. Bandung: Geger Sunten.
Umbara. 1983. Torotot Heong jeung Dongeng-dongeng Sunda Lianna. Bandung: Rahmat Cijulang.
Wiarna, Ensa. 2003. Piwuruk Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid Sakola Dasar. Bandung: Siger Tengah Group.


(Materi TOT - Disdik Provinsi Jawa barat, 2010)

Tidak ada komentar: