Jumat, 05 September 2008


Konferensi Internasional Budaya Sunda
The International Conference on Sundanese CultureGedung Merdeka, Bandung - Indonesia22-25 Agustus 2001


TRADISI KELISANAN PADA ANAK-ANAK
TRADISI YANG TERPINGGIRKAN

Oleh: Taufik Ampera

I. Pendahuluan

Bila kita menyadari bahwa anak-anak merupakan bagian kehidupan kita, dan menganggap mereka sebagai pewaris kebudayaan, maka kita harus memahami pentingnya pewarisan kebudayaan itu bagi anak-anak sebagai generasi penerus yang memiliki tugas sebagai pelestari dan pemelihara tradisi.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kian maraknya teks kompetitor semacam animasi (film kartun), yang sekarang ini sudah terbangun sebagai suatu kekuatan yang kokoh, suatu rezim yang besar dan tangguh telah menggeser tradisi yang pernah berakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Sunda. Pudarnya sakralisasi dan romantisme tradisi kelisanan pada anak-anak telah membuat berbagai pihak merasa prihatin. Orang tua dituding sebagai pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai pemelihara kebudayaan, karena terlalu sibuk dengan berbagai urusan mereka sendiri. Sekolah dituding sebagai lembaga yang tidak bisa menjaga kelestarian budaya, tidak menyediakan waktu untuk kegiatan ritual dalam pemeliharaan tradisi. Maraknya komik dan science fiction, dengan tipuan-tipuan yang tidak masuk akal dituding pula telah merampas pesona tradisi kelisanan pada anak-anak. Televisi yang menayangkan berbagai hiburan merupakan media yang paling banyak menanggung hujatan dan cacian, karena dianggap telah mengalihkan perhatian anak-anak dari tradisinya. Alhasil, anak-anak tidak lagi mengenal tradisi yang pernah akrab dan menjadi andalan bagi generasi sebelumnya.

Bila tudingan-tudingan itu terus berlangsung dan terbukti kebenarannnya, dengan tanpa ada upaya untuk pelestraian tradisi, maka anak-anak akan kehilangan warisan yang berharga dan akan terjadi pula terputusnya mata rantai tradisi. Hal itu sangat disayangkan karena anak-anak tidak akan pernah memetik nilai-nilai adiluhung sebagaimana yang telah didapatkan oleh para orang tuanya, yang tidak sempat diwariskannya kembali kepada anak-anaknya.

II. Tradisi Kelisanan pada Anak-anak

Dalam kehidupannya, anak-anak pun mengenal tradisi bersastra, di dalam kehidupan mereka terdapat sastra yang khas, yaitu sastra anak. Secara sederhana sastra anak sering didefinisikan sebagai genre sastra yang diciptakan untuk konsumsi anak-anak. Oleh karena itu, sastra anak juga sering disebut sebagai cerita anak atau bacaan anak kalau muncul dalam bentuk tertulis.

Banyak hal membuat sastra anak sebagai sebuah teks yang khas, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan sastra (bacaan) untuk orang dewasa. Audience sastra anak adalah makhluk khusus, mereka tidak boleh dipandang sebagai audience inferior, karena mereka memiliki kecerdasannya sendiri.

Masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang memiliki kekayaan budaya, banyak menyimpan warisan budaya, diantaranya seni mendongeng pada anak-anak. Mendongeng merupakan salah satu tradisi lisan yang pada masa lalu merupakan bentuk hiburan yang sangat populer dan digemari oleh anak-anak. Pada waktu tradisi itu masih hidup dan berakar pada masyarakat pendukungnya, anak-anak sangat perhatian mendengarkan dongeng yang padat pitutur. Dalam tradisi kelisanan di masyarakat, dongeng disampaikan secara lisan oleh seorang penutur cerita kepada yang lainnya. Dongeng merupakan genre sastra tradisional. Sebagai sastra tradisional, dongeng tentunya memiliki ciri-ciri khas atau ciri-ciri kelisanan yang membedakannya dengan bentuk lain. Ciri khas dongeng diantaranya adalah menceritakan secara lisan cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh.

III. Pergeseran Tradisi

Sebelum dunia percetakan maju pesat seperti sekarang ini, anak-anak berada dalam tradisi kelisanan yang kuat. Banyak cerita atau dongeng didengarkannya secara lisan, melalui penutur cerita atau orang tua. Bahkan dulu pada saat tradisi kelisanan hidup dalam lingkungan masyarakat pendukungnya dikenal banyak penutur cerita atau pelipur lara. Namun, pada saat ini kita akan mengalami kesulitan, manakala kita mencari penutur cerita yang benar-benar memiliki kemampuan bercerita dengan baik dan memiliki perbendaharaan cerita yang banyak pula.

Berkurangnya jumlah penutur cerita dijelaskan oleh Yus Rusyana (1981: 48). Karena terjadi perubahan dalam kebutuhan dan kesempatan menuturkan cerita sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam masyarakat Sunda, maka berkuranglah jumlah penutur dan keterampilannya menuturkan cerita. Penutur yang sangat cepat berkurang dan karena itu jika tidak diselamatkan mungkin punah adalah jenis penutur yang berkeahlian yaitu juru pantun. Hal itu terbukti pada waktu diadakan proyek perekaman cerita pantun, sangat sulit diperoleh juru pantun, seperti dikemukakan oleh Ajip Rosidi.

Lebih lanjut Yus Rusyana menjelaskan bahwa berkurangnya jumlah penutur dan keterampilannya sesungguhnya terjadi juga dengan penutur cerita bukan juru cerita, yaitu orang yang mengenal cerita dan dapat menceritakannya kepada orang lain. Pada tahun 1975 – 1976 saya mengumpulkan cerita dari beberapa desa di kabupaten Bandung. Ternyata sulit mendapatkan orang yang mampu bercerita dengan baik. Para penutur yang saya jumpai berumur 45 –78 tahun, sebagian besar berumur di atas 60 tahun. Mereka itu oleh masyarakatnya dianggap sebagai orang tua yang mengetahui keadaan kampung halamannya di masa lalu. Para penutur itu banyak yang mengatakan bahwa ia sudah lupa akan beberapa cerita yang menurut pengakuannya dahulu pernah didengarnya. Para penutur itu menerima cerita umumnya pada waktu berumur antara lima tahun sampai belasan tahun (1981: 48).

Pergeseran tradisi telah terjadi secara berangsur-angsur, tradisi yang bersifat oral telah bergeser ke arah tradisi tulis. Kesempatan bercerita pun turut bergeser pula. Orang tua sebagai juru cerita amatir, yang paling dekat dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan anak-anaknya, kehilangan kedudukannya yang sentral dan strategis dalam memelihara tradisi kelisanan. Pada masa tradisi kelisanan yang masih kuat, orang tua dengan senang hati mendongeng kepada anak-anaknya. Dongeng merupakan hiburan yang mengasyikan bagi anak-anak menjelang tidur. Namun untuk saat ini tidak sedikit orang tua yang merasa terganggu manakala dimintai anaknya untuk mendongeng. Kesibukan orang tua telah mengalihkan peranan dan tugasnya sebagai pemelihara budaya pada media lain.

Berkurangnya penutur cerita yang baik dan bergantinya kebiasaan mendongeng yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya menyebabkan hilangnya figur pencerita di hadapan anak-anak. Hal ini mengakibatkan pula terkikisnya fungsi sosial seperti yang dikandung dalam tradisi kelisanan. Dalam tradisi lisan, antara penutur cerita dengan audience akan terjalin komunikasi lisan, baik dengan sesama audience maupun dengan penutur cerita yang hadir di hadapannya. Berbeda dengan tradisi tulis, ketika anak-anak membaca buku cerita tidak akan terjadi komunikasi lisan. Orang tua yang dulu berperan sebagai penutur cerita amatir bagi anak-anaknya, kini menjadi marginal man sebab dalam tradisi kelisanan, yang ada adalah rasa kebersamaan. Rasa ini tidak lagi tercipta pada tradisi tulis (Sugihastuti, 1996: 7).

Di samping terkikisnya fungsi sosial, ada hal lain yang hilang dengan adanya pergeseran tradisi itu, yaitu hilangnya stilized tertentu yang tidak ada dalam tradisi tulisan. Dalam tradisi lisan, cerita sangat kental dengan pola-pola yang formulaik, yang skematis, dan mnemonic patterned. Pola-pola itu tidak akan ditemukan dalam tradisi tulis. Demikian pula dengan ciri-ciri khusus yang berupa oral stylized form yang sangat kental dalam tradisi lisan, tidak akan ditemukan pula dalam tradisi tulis. Kelompok kata seperti, kocapkeun di hiji nagara (tersebutlah di suatu kerajaan) atau jaman baheula kacaturkeun (zaman dahulu tersebutlah), yang merupakan kata-kata yang menandai sebagai ciri cerita yang didongengkan, tidak akan ditemukan pula pada cerita-cerita yang lahir pada masa sekarang.

Tergesernya tradisi lisan melahirkan kebiasaan baru pada anak-anak. Kebiasaan baru tersebut akan membawa dampak yang baik, bila anak-anak gemar membaca buku-buku cerita, namun pada kenyataannya tradisi baca pada anak-anak belum menyebar kuat. Selama ini kita masih sering mendengar, minat siswa membaca karya sastra sangat kecil antara lain disebabkan faktor pendidikan yang belum meluas dan merata serta kurangnya daya beli buku-buku cerita. Akibatnya anak-anak akan kehilangan "dunianya" yaitu dunia bersastra yang mentradisi. Menanggapi kenyataan tersebut Sugihastuti mengatakan bahwa tradisi kelisanan sudah menjauh dari mereka, namun tradisi tulis belum terjangkau. Jadinya, mereka berada dalam ambang keduanya (1996: 7). Pada akhirnya anak-anak akan terperangkap pada budaya lain yaitu budaya tontonan yang semakin hari semakin menjanjikan berbagai hiburan dan semakin nikmat disaksikan.

Dalam budaya tontonan peran penutur cerita sangat jauh bergeser bahkan hilang sama sekali. Televisi telah menggantikan tugas dan peran sebagai penghibur yang sangat akrab dan mudah diterima oleh anak-anak. Film kartun dan film robot telah merebut perhatian anak-anak. Anak-anak sanggup duduk berlama-lama di depan layar kaca untuk menyaksikan tokoh-tokoh idolanya, seperti Doraemon dengan berbagai alat ajaibnya, Dragon Ball dengan konflik-konflik yang dipicu oleh perebutan alat sakti, Power Rangers dengan kesatria-kesatria yang tangguh, dan Crayon Shinchan dengan kenakalan dan kekonyolannya yang melebihi anak-anak seusianya, sehingga sering membuat masalah pada orang-orang di sekitarnya termasuk keluarga, guru, dan teman-temannya. Film-film tersebut merupakan film-film barat yang sangat dinamis, yang banyak menyajikan imajinasi menarik dan perangkat yang serba canggih. Dengan suguhan tersebut anak-anak merasa senang dan puas sehingga merasa tidak perlu lagi adanya tradisi mendongeng, Begitu pula dengan orang tua, tidak perlu bersusah payah lagi bertutur saat meninabobokan anaknya. Dongeng Si Kancil tidak perlu lagi didongengkan, orang tua tinggal memutar VCD Petualangan Si Kancil, anak-anak akan senang hati menyaksikannya.

Berkaitan dengan kehadiran televisi di tengah anak-anak sebagai media hiburan, di bawah ini akan dikemukakan hasil penelitian Arini Hidayati mengenai beberapa acara yang paling disukai anak. Berdasarkan jenis acara, anak-anak lebih menyukai acara film jenis kartun. Kecenderungan ini sebanding dengan motivasi anak yang kebanyakan menggunakan televisi sebagai media hiburan, dan mereka mendapatkannya lewat televisi.

Satu lagi yang sulit diabaikan, adalah adanya kecenderungan anak-anak yang tergila-gila terhadap tayangan cerita-cerita untuk orang dewasa yang ditayangkan di Televisi yang digarap dengan memukau, seperti Misteri Gunung Merapi dengan Mak Lampir-nya dan Dendam Nyi Pelet dengan penampilan tokohnya yang cantik dan seksi.

Kehadiran televisi bagi anak-anak selain bisa dijadikan sebagai alat hiburan, juga sebagai salah satu teman yang setia ketika anak merasa kesepian atau manakala anak tidak punya kegiatan. Berkaitan dengan hal ini, penelitian Grennberg (via Hidayati, 1998: 76) mengungkapkan adanya delapan motif kenapa anak menonton televisi, yaitu: untuk mengisi waktu, melupakan kesulitan, mempelajari sesuatu, mempelajari diri, memberikan rangsangan, bersantai, mencari persahabatan dan sekedar kebiasaan. Jadi, tidak selamanya, tapi lebih cenderung dalam rangka "pencarian kepada sesuatu yang menyenangkan.

Adanya motif pada anak mengapa menonton televisi ini, dapat dijadikan dasar, bahwa anak telah menentukan salah satu pilihannya yang paling disenangi. Dan anak puas dengan pilihan ini. Hal inilah yang menjadikan televisi populer di mata anak-anak, bahkan sampai sekarang ini, anak belum menemukan sesuatu yang dianggap cukup memuaskan selain televisi. Dari televisi, anak bisa menemukan banyak hal seperti musik, drama, film, kuis, berita, dan acara-acara lainnya (Hidayati, 1998: 76).

Lebih lanjut Hidayati menjelaskan bahwa kepopuleran televisi dikarenakan oleh kesederhanaannya dalam menyampaikan pesan, sehingga anak dengan mudah dapat memanfaatkan dan menerima pesan tersebut. Kemudahan itu ditunjang dengan sifatnya yang audio-visual (pandang-dengar), sehingga informasi atau data yang disampaikan menjadi sangat mudah diterima dan dicerna oleh pemirsa, bahkan oleh anak-anak kecil sekalipun. Televisi lebih banyak menyita perhatian anak dibanding aneka bentuk permainan lain. Di samping faktor tersebut, media televisi tidak membatasi pemirsanya dengan tingkatan pendidikan atau usia tertentu (1998: 76-77).

Tingkat kepopuleran televisi bagi masing-masing anak akan berbeda. Artinya, daya tarik televisi tidak akan sama pada setriap anak, dan biasanya sesuai tingkatan usia. Dari hasil penelitiannya, Hurlock (via Hidayati, 1998: 77) mengambil kesimpulan bahwa anak usia pra-sekolah lebih menyukai dramatisasi yang melibatkan hewan dan orang yang dikenal, musik, kartun dan komedi sederhana. Anak kelas satu dan dua biasanya menyukai pertunjukan boneka, film koboy, misteri, humor, suasana kehidupan keluarga dan acara kuis berhadiah. Anak kelas tiga dan empat biasanya menyukai acara yang imajinatif seperti tentang roket dan kendaraan ruang angkasa, show, cerita misteri, detektif, drama dan musik. Sedangkan anak kelas lima dan enam lebih cenderung pada acara yang bersifat ilmu pengetahuan dan hasta karya, termasuk juga menyenangi acara yang imajinatif dan film-film.

Kehadiran televisi di tengah-tengah kehidupan anak-anak akan membawa pengaruh. Tentu saja tergantung kita mengartikan pengaruh tersebut, jika pengaruh tersebut ditanggapi sebagai hal positif, bisa saja. Pada akhirnya, semua memang kembali kepada anak, lingkungan dan peran orang tua. Di samping itu bahwa masing-masing media, seperti televisi, radio, dan buku mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Dalam menyikapi masalah tersebut, yang penting kita harus bijak, artinya kita harus mengambil sikap agar berbagai media itu bermanfaat bagi perkembangan anak. Kalaupun ada kelemahannya, maka kita harus mampu mengatasi kelemahan itu dan berusaha mencari penyelesaian dari permasalahan yang ada.
IV. Manfaat yang Dapat Diambil dari Tradisi yang Terpinggirkan

Tradisi kelisanan yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya, bila dibiarkan pada kedudukannya sebagai tradisi yang terpinggirkan, lambat laun akan punah ditelan arus perkembangan zaman yang semakin hari semakin pesat. Sangat disayangkan bila generasi mendatang tidak akan menerima warisan budaya yang adiluhung itu. Bila kita bersikap bijak dan teliti kembali tradisi itu, maka kita akan kembali menemukan pesona yang dipancarkannya, nilai-nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya masih sesuai dengan kehidupan masa kini.

Banyak aspek yang dapat diangkat, diantranya melalui kajian cerita. Cerita yang hidup dalam tradisi kelisanan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan kecerdasan emosi anak.
Istilah kecerdasan emosi pada awalnya dikemukakan oleh dua orang psikolog, yaitu Peter Salovy (dari Harvard University) dan John Mayer (dari New Hampshire University), dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence: Why It Can Matter more than IQ (1995), yang kemudian menjadi best seller, termasuk di Indonesia dalam edisi terjemahannya tahun 1997, Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan. Selanjutnya, keterampilan tersebut terwujud dalam kemampuan untuk (1) mengenali emosi diri sendiri; (2) mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat; (3) memotivasi diri sendiri; (4) mengenali orang lain; (5) dan membina hubungan dengan orang lain (Salovey dan Mayer via Pertiwi, 1997).

Anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akam memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah dan tangtangan yang timbul selama proses perkembangan munuju manusia dewasa. Mereka bukanlah manusia yang mudah putus asa dan menyerah, sebab dengan keterampilan sosial dan kecerdasan emosinya, mereka dapat mengelola dan mengekspresikan emosinya dengan baik dan tepat, dapat da mengatasi tantangan yang dihadapinya, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dalam kehidupan anak memainkan peranan yang sangat penting, Sebab, seperti pernah disinyalir oleh Goleman (1977), kecerdasan intelektual hanya memiliki peran 20% terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seorang anak, sementara 80% lainnya ditentukan oleh faktor nasib dan kecerdasan emosinya.

Kecerdasan emosi, menurut Pertiwi, dkk (1997), bukanlah sesuatu yang dimiliki seorang anak secara alamiah atau bawaan, tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Adalah tugas para orang tua dan pendididik (guru-guru yang mengajar murid-muridnya pada setiap jenjang pendidikan) untuk mengajarkan dan mengembangkan kecerdasan emosi anak melalui berbagai upaya, diantaranya melalui tradisi mendongeng. Dongeng dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan kecerdasan emosi bagi anak-anak.
Kaitannya dengan manfaat sastra anak bagi perkembangan emosi anak, Bunanta (1998: 52) mengatakan bahwa sastra, misalnya cerita rakyat, mengajarkan pada anak bahwa manusia memiliki berbagai perasaan dan emosi, seperti rasa cinta, benci, marah, sedih dan gembira, dilahirkan dan mati. Di samping itu, lewat karya sastra yang merupakan dunia fantasi anak memandang dan memahami rasa takut, frustasi, berjuang melawan ketidakadilan dan kejahatan, serta menjadi penenangnya.

Manfaat cerita anak, khususnya dongeng bagi perkembangan psikologi (emosi) anak, pernah diteliti oleh Bruno Bettelheim, seorang psikiater anak. Pendapatnya didasarkan pada pengalamannya merawat anak-anak bermasalah. Bettelheim menyatakan bahwa tokoh-tokoh dalam dongeng merupakan tokoh-tokoh yang terisolasi, terbuang, dan terusir. Ada persamaan antara anak-anak bermasalah dengan tokoh-tokoh dalam dongeng. Anak-anak bermasalah tersebut memerlukan citra tokoh yang meskipun suatu saat dalam keadaan terisolasi dan terbuang, tetapi mampu mencapai kemenangan dan mendapat ganjaran yang bermanfaat bagi hidupnya. Selanjutnya Bettelheim mencatat bahwa dongeng telah memberikan rasa percaya diri dan mampu pada anak, juga memberikan pandangan hidup yang berkaitan dengan moralitas (Bunanta, 1998: 53).

Ketika kita membicarakan manfaat dongeng dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak, maka pertama-tama yang harus disadari adalah adanya bermacam-macam wilayah kehidupan yang digambarakan dalam dongeng, mulai dari hal-hal yang baik sampai hal-hal yang buruk. Karena itu, kita perlu mempertimbangkan dongeng (karya) yang perlu diberikan kepada anak, yang dari segi isi lebih memberi teladan yang positif bagi anak-anak. Sebab, kalau dicermati tidak semua dongeng , bahkan dongeng yang cukup populer, menunjukkan contoh perilaku manusia yang terpuji. Akibatnya, kesalahan pemilihan cerita, akan berakibat fatal. Apalagi, seperti yang sering diyakini sejumlah orang bahwa dongeng seringkali memiliki daya persuasif (pengaruh) yang sangat halus. Dalam hal ini Langfeldt (via Bunanta, 1998: 54) mengatakan bahwa untuk mengembangkan sifat kasih dan keberanian pada anak perlu dipilihlah cerita yang mempunyai nilai edukasi dan moral. Cerita seperti Sangkuriang versi Gerdi W. K. tampaknya tidak cocok untuk anak-anak dalam konteks pengembangan emosinya, karena memiliki nilai negatif yang dapat mengajari seorang anak untuk berbuat kasar terhadap ibunya. Hal tersebut ditunjukkan melalui dialog antara Sangkuriang dengan Dayang Sumbi, ibunya, berikut ini.

"Aku tak percaya semua omonganmu. Bahkan kalaupun kau benar ibuku,
aku tak peduli! Sama sekali tak peduli! Aku tetap akan mengawinimu"
"Sangkuriang, tidaak!"
"Kau boleh menjerit sekuat tenagamu, siapa yang mau dengar?"
"Sangkuriang tidak! Kau harus membuang pikiran itu. Dosa besar, Nak!"
"Apa artinya dosa? Aku tidak takut!"
"Anakku, Sangkuriang, sadarlah Nak!"
"Sadar? Tidak Aku lebih baik gila! Dalam kegilaan aku lebih bebas! Tak ada yang bisa mengaturku! Tidak juga kau! Dengar, bagaimanapun dan apapun yang telah terjadi, kau tetap akan kuperistri!"
"Oh, tidak!"
Dayang Sumbi mencoba lari.
"Tidak Sangkuriang, tidak!"
"Ha ha ha, tidak usah lari Dayang Sumbi!"
"Ini aku kakangmu! Ha ha ha ha ha ……"
"Tidak! Aku ibumu!"
"Ha ha ha, lupakan itu! Kini aku kakangmu!"
Sangkuriang menerkam Dayang Sumbi. Tapi keajaiban terjadi, Dayang Sumbi lenyap dari pandangan. Ia beralih rupa menjadi setangkai bunga (hlm. 123-126).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sangkuriang bermaksud memperistri Dayang Sumbi, yang sebenarnya adalah ibunya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Sangkuriang berniat melakukan incest dengan ibunya sendiri. Dayang Sumbi menolak keinginan Sangkuriang, anaknya, tetapi Sangkuriang tetap memaksakan kehendaknya, bahkan Sangkuriang berniat "menerkam" Dayang Sumbi. Namun ternyata terjadi keajaiban, Dayang Sumbi berubah menjadi setangkai bunga, niat Sangkuriang tidak dapat terwujud. Adegan yang melukiskan nafsu Sangkuriang untuk memperistri ibunya yang dilukiskan dengan "beringas", perlu ditinjau kembali kelayakan dan penyampaiannya apabila akan dijadikan bahan cerita untuk konsumsi anak-anak, karena dalam adegan tersebut lebih banyak nilai negatifnya, meskipun tentunya secara sastra ada hal lain dibalik pelukisan itu.

Dengan demikian, ketika kita akan memberikan cerita kepada anak-anak dalam upaya mengembangkan kecerdasan emosi anak, maka kita perlu melakukan beberapa pertimbangan. Pertama, pilih karya yang sesuai dengan dunia anak-anak, baik dari segi tokoh-tokohnya maupun isinya. Dengan karakteristik karya semacam ini anak lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang mereka temui dari karya yang mereka baca (dengar). Kedua, pilih karya yang menggambarkan kehidupan yang menyentuh wilayah kecerdasan emosi seperti kemampuan mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan tepat, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan yang baik dengan orang lain (Wiyatmi, 1999: 4-5).

Ringkasan cerita berikut ini, yang diambil dari Pangajaran Sastra Sunda ‘Pengajaran Sastra Sunda’ yang disusun oleh Budi Rahayu Tamsyah, dkk. (1996: 154-156), merupakan contoh yang menarik.

Tersebutlah ada seorang santri, telah bertahun-tahun menimba ilmu di pesatren, namun tidak ada kemajuan dalam pengetahuannya. Kitab-kitab yang diajarkan tak satupun yang dihapalnya. Padahal ia merupakan santri yang rajin dan patuh dalam mengikuti pelajaran yang diberikan ajengan. Karena merasa tidak ada perkembangan, maka ia bermaksud kembali ke kampungnya. Setelah mendapat izin dari ajengan, maka berangkatlah.
Di tengah perjalanan, ketika ia sedang istirahat dilihatnya air menetes menimpa batu. Sambil mengamati batu, ia berpikir "tetesan air yang terus-menerus menimpa batu akan meninggalkan bekas, tentunya itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun. Hanya karena tetesan air, batu yang demikian keras bisa berubah seperti itu."
Ia merenung dan memikirkan kejadian alam yang dilihatnya. Dalam hatinya ia berkata; "
Peristiwa ini pantas untuk dijadikan contoh; barang siapa yang ingin berhasil mewujudkan maksudnya harus tekun dan sabar. Karena itu, meskipun harus menanggung malu, lebih baik saya kembali lagi ke pesantren. Semoga saja berhasil apa yang dicita-citakan." (diringkas dari cerita Cikaracak Ninggang Batu, Laun-laun Jadi Legok).

Dari cerita tersebut, anak dapat mengetahui bagaimana terjadinya perubahan karakter. Tokoh santri yang tadinya patah semangat karena merasa tidak ada perkembangan meskipun telah lama belajar di pesatren, sehingga ia bertekad kembali ke kampunya, namun setelah melihat kejadian alam ketika ia beristirahat di tengah perjalanan, ia merasa sadar bahwa bila ingin berhasil, maka ia harus tekun dan sabar. Cerita tersebut dapat memberi contoh pada anak-anak untuk menjadi orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain. Di samping itu juga mengajari anak bagaimana pentingnya mengelola emosi dan merenungkan kejadian alam di sekitar kita yang tampaknya sepele tetapi sangat penting. Di sini anak juga dihadapkan pada persoalan bagaimana orang yang berbuat salah karena terbawa emosinya tidak malu untuk mengakui kekurangannya, bahkan berusaha untuk lebih giat lagi belajar.

V. Pelestarian Tradisi yang Berorientasi Masa Kini

Dengan memperhatikan manfaat yang dapat dipetik dari warisan budaya yang terpinggirkan, maka akan lebih mempertegas anggapan bahwa tidak selamanya yang bernuansa klasik dengan ciri ‘kemasalaluannya’ disisihkan dari kehidupan. Bahkan ternyata bila kita menggali kembali dengan bijak dan berlaku adil, akan ditemukan nilai-nilai masa lalu yang masih sesuai dengan kehidupan saat ini.

Pelestarian tradisi kelisanan pada anak-anak mutlak dilakukan, karena banyak segi positifnya yang dapat diambil dalam upaya pemberdayaan anak. Jalinan komunikasi antara anak dengan orang tua yang terkikis akibat berbagai kepentingan, dapat direkatkan kembali melalui tradisi mendongeng. Anak-anak kita layak didongengi. Mereka membutuhkan dongeng karena memerlukan pengalaman batin untk memperkaya emosinya. Pada saat mendengarkan dongeng, emosi anak selalu mengalami pergerakan yang dipengaruhi oleh tema dan masalah dalam dongeng. Ketika anak mendapatkan kisah-kisah yang lucu yang didukung oleh kelucuan pendongeng, maka anak akan merasa senang. Sebaliknya, ketika anak mendapatkan kisah-kisah yang sedih dan menakutkan, anak akan memperlihatkan perasaan yang ketakutan dan keadaan hati yang cemas.

Melalui tradisi mendongeng, kontak sosial akan terbina pula karena tradisi mendongeng mengedepankan arti penting perkembangan sosial anak. Adanya interaksi antara pendongeng dan pendengar akan membentuk proses sosialisasi sehingga anak akan mampu menjadi orang yang bermasyarakat. Agar tradisi mendongeng dapat membuka pola interaksi, maka ketika seorang penutur cerita setelah bercerita, anak diajak membahas cerita yang telah didengarnya. Ajak anak untuk menghayati kisah yang telah disampaikan hingga terjadi dialog. Kalau mungkin anak diharapkan menuturkan kembali kisahnya, disertai dengan komentarnya. Kemudian adakan pembicaraan tentang manfaat yang dapat dipetik dari cerita itu. Di sinilah peran orang tua dan guru diharapkan mampu membimbing anak dalam melestarikan tradisi mendongeng.

Tradisi mendongeng di sekolah perlu dihidupkan kembali. Untuk itu porsi pengajaran sastra di sekolah-sekolah perlu ditambah dan ditempatkan secara khusus dalam wadah tersendiri. Bukan seperti yang berlaku saat ini, seperti dikatakan Boen S. Oemarjati, bahwa sastra diajarkan sebagai sambilan dalam pengajaran bahasa Indonesia, sastra diomprengkan pada pengajaran bahasa (Kedaulatan Rakyat, 17 Juni 2001: 7).

Apabila dongeng sebagai warisan budaya akan menjadi andalan dalam pelestarian tradisi kelisanan pada anak, maka harus ada ‘modifikasi’ terhadap dongeng misalnya dalam struktur, pembahasaan, dan pengkarakteran. Hal itu perlu dilakukan karena target audience telah berubah. Dekontruksi terhadap dongeng perlu dilakukan agar dongeng tidak semakin ditinggalkan anak-anak, tetapi mampu bersaing dengan derasnya teks pop dan keberadaan media massa televisi.

Kalau film-film yang ditayangkan media televisi telah mewarnai dalam segala ‘alat-alat kehidupan’ anak, seperti pada kaos, buku, sepatu, misalnya teletubbies yang saat ini menjadi idola anak dan merupakan label yang menggiurkan bagi pengusaha, mengapa tidak diangkat tokoh-tokoh dongeng dengan latar budaya dan latar tempatnya sebagai ornamen yang artistik pada barang-barang konsumen yang diminati anak.

Tentunya akan lebih baik bila kreator, mencoba banyak mengegelar karya-karyanya yang berakar pada tradisi kelisanan lewat media televisi, seperti yang telah dilakukan oleh Garin Nugroho. Lewat Anak Seribu Pulau, Garin merintis tayangan pesan multikultur. Dalam Pustaka Anak Nusantara, Garin mencoba memperluas pemahaman itu dengan memberi penekanan pada aspek budi pekerti yang menjadi bagian dari civil education. Langkah tersebut perlu diikuti oleh kreator lainnya dalam mengangkat berbagai tradisi yang hampir punah.

VI. PENUTUP

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan akan membawa dampak pada tradisi yang telah berakar pada masyarakat. Pergeseran atau bahkan musnahnya sebuah tradisi merupakan suatu proses yang alamiah. Kelangsungan suatu tradisi tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang turut mempengaruhi serta memberikan kontribusi ke arah mana dapat membentuk kelestariannya.

Mengasingkan tradisi dari kontemporer yang menjamah berbagai bidang termasuk tradisi kelisanan pada anak-anak merupakan usaha memenjarakan tradisi itu sendiri. Dalam persentuhan budaya, tradisi dan kontemporer bukanlah dua konsep nilai yang dikotomis, keduanya merupakan bagian dari satu dunia yang utuh, yang tidak terbagi dalam pengkotakan.
Sebelum kita kehilangan kekayaan yang kita miliki, maka lebih baik kita bersikap bijak sebab hidup tidak surut ke belakang dan tidak pula tertambat di masa lalu.

1 komentar:

gian mengatakan...

jadi apakah dengan kita membuka kembali budaya kelisanan akan membuat masyarakat dan negri ini maju? saya pikir memang budaya lisan itu bagus untuk melatih cara berbicara seseorang, dan itu hanya pada umur tertentu. namun akan menjadi buruk jika seperti sekarang yang menempel pada kita sebagai masyarakat nusantara yang hanya memakai budaya lisan. dan kita bisa lihat hasilnya yang memang seperti kita bisa lihat yang bisa kita lakukan hanya mendengar perkataan orang lain kemudian berbicara . minat kita dalam hal kecil saja, yaitu membaca sangat kurang. sudah hilang ilmu dalam budaya lisan, tak mau pula kita membuka dalam budaya tulisan...