Kamis, 04 September 2008

STRATEGI PENJAGAAN DAN PEMULIHAN LINGKUNGAN: TAFSIR TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NUSANTARA*

Oleh: Taufik Ampera**

I. PENDAHULUAN
Dewasa ini masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan lingkungan hidup. Pesatnya pembangunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kearifan lingkungan yang selama ini menjadi pedoman dalam pengelolaan lingkungan telah mengalami pergeseran akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan persebaran nilai-nilai dan pranata sosial baru. Kearifan lokal cenderung diabaikan, baik oleh orang lain maupun pendukungnya.
Disaat lingkungan mulai hancur, berbagai pihak mulai sibuk mencari cara untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Diantaranya para pelaku di dunia pendidikan mulai
menyadari betapa pentingnya pendidikan lingkungan hidup menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah. Program tersebut tidak akan berarti apabila tidak berakar pada kearifan lokal. Karena betapapun sederhananya, setiap masyarakat akan mengembangkan sistem pengamanan diri dan lingkungannya, baik dengan mengembangkan sarana fisik atau pun organisasi sosial yang dapat menjamin rasa aman warganya. Masyarakat tradisional telah membuktikan bahwa dengan kearifan lokal, alam dapat terjaga kelestariannya.
Salah satu model kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan adalah terciptanya konsep hutan larangan pada beberapa kelompok masyarakat Nusantara. Konsep tersebut perlu dihayati dan ditafsirkan kembali agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipetik untuk kelangsungan hidup umat manusia.


II. KEARIFAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT NUSANTARA
2.1 Hutan Larangan sebagai Bentuk Kearifan Lokal
Bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, keberadaan hutan dengan seluruh potensi sumber alam yang terkandung di dalamnya, sangat penting bagi kelangsungan hidup komunitas masyarakat tersebut. Hutan memiliki fungsi: sebagai sumber makanan, minuman, obat-obatan, pemenuhan perlengkapan hidup, perlindungan dan kenyamanan, tempat aktualisasi diri, tempat ritual dan pranata kepercayaan, serta tempat mengembangkan kesetiakawanan sosial anggota masyarakat. Bahkan hutan berfungsi pula sebagai habitat warisan yang perlu dipertahankan. Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi kelangsungan hidup komunitas masyarakat yang hidup di sekitarnya, maka pada komunitas masyarakat tersebut terbentuk dan berkembanglah kearifan lokal yang ditujukan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Terbentuknya kearifan lokal tersebut sebagai hasil dari pola adaptasi atau bentuk-bentuk hubungan yang dikembangkan masyarakat dengan lingkungan hidupnya. Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakatnya sebagai landasan pengolahan dan pengelolaan lingkungan,
Di antara kearifan lokal yang dihasilkan dari pengalaman adaptasi masyarakat dengan lingkungannya adalah konsep "hutan larangan". Konsep tersebut merupakan pandangan yang bersumber pada pengetahuan masyarakat (traditional knowledge) dalam upaya pengelolaan lingkungan secara tradisional. Melalui konsep hutan larangan, masyarakat menerapkan norma pengendali sikap dan perilaku hidup dalam pengelolaan hutan dengan cara melakukan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian hutan.
Dibalik keragaman budaya masyarakat Nusantara terdapat kesamaan pemahaman masyarakat terhadap konsep hutan larangan yang dikembangkan dari lingkungan kebudayaan setempat. Masyarakat Talang Mamak Propinsi Riau mengenal hutan larangan dengan sebutan "rimba puaka”, masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mengenal hutan larangan dengan sebutan "pahewan", dan masyarakat Sunda di Propinsi Jawa Barat dan Banten mengenal "leuweung larangan". Konsep hutan larangan yang berkembang di setiap suku bangsa itu dihayati oleh pendukungnya sebagai acuan bersikap dan bertindak dalam menentukan pengelolaan hutan dan lingkungannya.
Konsep hutan larangan pada Masyarakat Talang Mamak sangat erat kaitannya dengan pola pertanian sistem berladang berpindah-pindah tempat yang mereka sebut ladang beringsut. Tempat berladang umumnya di sisi sungai dengan luas kurang lebih dua hektar. Perpindahan perladangan masyarakat Talang Mamak biasanya tiga sampai empat kali. Perpindahan dilakukan dengan cara berpindah tempat garapan dari yang sudah digarap ke arah aliran sungai. Luas lahan yang dibuka selama tinggal di permukiman kurang lebih enam sampai delapan bidang atau dua belas sampai enam belas hektar. Mereka tinggal di wilayah itu kurang lebih enam sampai delapan tahun. Ladang yang mereka buka ditanami dengan padi yang diselingi dengan tanaman lainnya. Waktu penanaman dilakukan secara berurutan, seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang dan terakhir karet yang semuanya ditanam pada lahan yang sama. Dengan demikian, lahan yang telah ditinggalkan akan ditumbuhi dengan pohon karet yang bermanfaat secara ekonomi.
Sistem berladang yang dilakukan oleh masyarakat Talang Mamak akan berhubungan dengan proses pembukaan hutan dengan didahului upacara ritual yang bertujuan untuk menetralisir lahan tersebut dari tempat keramat menjadi lahan yang profan. Pada acara itu, semua peralatan, seperti beliung dan parang yang akan digunakan dikumpulkan dan ditempatkan di tengah-tengah tempat berlangsungnya upacara. Upacara ritual tersebut dipimpin oleh seorang dukun yang disebut “kumantan”. Setelah dilakukan upacara ritual, dilanjutkan dengan pembukaan hutan untuk lahan perladangan dimulai dengan menebas yang dikerjakan secara gotong-royong. Kemudian dikeringkan dan akhirnya dibakar. Penanaman dilakukan setelah turun hujan yang tujuannya agar debu hasil pembakaran meresap ke dalam tanah sehingga tanah menjadi gembur dan tanaman tumbuh subur.
Masyarakat Talang Mamak membagi hutan berdasarkan kondisi hayati dan fungsinya. Hutan dikelompokkan mejadi hutan belukar, perimban (perimbaan), “rimba, puaka” (hutan larangan) dan “puhun” (hutan lindung). Hutan yang tergolong “puaka” dan “puhun” tidak boleh diganggu (Purba, 2003: 109). Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, hutan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat Dayak membuka hutan untuk digunakan lahan perladangan. Pembukaan hutan sebagai lahan perladangan berada di daerah pedalaman yang tidak mengalami pasang surut dan dilakukan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena kesuburan tanah ladang sudah habis. Hutan yang ditebang setelah dua minggu mengering kemudian dibakar, abunya serta humus yang berada pada bagian lapis teratas merupakan pupuk bagi tanaman padi. Keadaan seperti ini berlaku hanya satu kali tanam. Bekas ladang tersebut ditinggalkan penggarapnya dan dibabat kembali hutan lainnya sebagai perladangan. Jika selesai ditanam serta dipanen hasilnya lahan itu ditinggalkan pula. Demikian dilakukan sekitar tujuh sampai sepuluh tahun untuk kemudian kembali ke areal semula sebagai suatu siklus.
Masyarakat Dayak menganggap hutan sebagai milik mereka secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Hutan yang tidak bertuan boleh digarap siapa saja. Namun, ada aturan tidak tertulis yang melarang seseorang untuk menggarap bekas ladang (bahu) orang lain.
Bagi masyarakat Dayak, tidak semua petak hutan boleh dibabat. Terdapat hutan-hutan yang dibiarkan tetap seperti semula. Hutan-hutan seperti itu dikenal dengan sebutan “pahewan” Menurut Nahan (Purba, 2003: 215-216) pada masyarakat Dayak setidaknya dikenal terdapat dua belas kawasan hutan larangan atau “pahewan” yang masing-masing memiliki lebih dari seratus hektar.
1. Pahewan Huluk, berlokasi di Desa Bawan, Kabupaten Kapuas.
2. Pahewan Danau Lupun, berlokasi di Desa Pandewai, Kabupaten Kapuas.
3. Pahewan Bukit Alu, berlokasi di Desa Sungai Antai,Kabupaten Kapuas.
4. Pahewan Puruk Awai, berlokasi di Desa Dandang, Kabupaten Kapuas.
5. Pahewan Puruk Luap, berlokasi di Desa Tumbang Masukih, Kabupaten Kapuas.
6. Pahewan Sepan Lawang Bulan, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
7. Pahewan Sepan Da'i, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
8. Pahewan Datah Atap, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
9. Pahewan Puruk Panukan, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
10. Pahewan Puruk Pananda, berlokasi di Desa Tumbang Mahoroi, Kabupaten Kapuas.
11. Pahewan Nap Landing,berlokasi di Desa Samba Kahayan, Kabupaten Kotawaringin Timur.
12. Pahewan Batu Sibung,berlokasi di Desa Batuah, Kabupaten Barito Selatan.


Di samping pada kedua kelompok masyarakat tersebut, konsep hutan larangan dikenal pula pada masyarakat Sunda seperti pada kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, masyarakat kampung Kuta, dan masyarakat Kampung Dukuh. Kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan mendiami wilayah Taman Nasional Gunung Halimun, di Desa Sirna Rasa, Kabupaten Sukabumi. Dalam mengelola sumber daya alam masyarakat Sirna Rasa terikat kuat dengan adat dan tradisi yang masih berlaku melalui lembaga adat yang ada. Lembaga adat tersebut masih sangat kental dan mantap dengan pemimpin agama dan adat yang dikenal dengan Abah Anom. Religi masyarakat Banten Selatan khususnya kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan adalah bentuk penggabungan (sinkretisme) antara agama yang dianut (Islam) dengan penghormatan roh nenek moyang. Hal tersebut dibuktikan dengan pelaksanaan sholat mapun puasa di bulan Ramadhan yang dilaksanakan menurut ajaran Islam. Namun, pada kesempatan lain kelompok masyarakat tersebut pun melakukan penghormatan kepada ruh nenek moyang seperti bersemedi di makam leluhur dan penghormatan terhadap "Dewi Padi" dengan berbagai ritual.
Menurut Fournawaty, kelompok masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan percaya bahwa mereka merupakan keturunan yang bersumber dari "pancer pangawinan". Dalam bahasa Sunda “pancer” berarti “lulugu”, yaitu asal usul atau sumber. “Pangawinan” berasal dari kata “kawin” yang berarti menikah (bersatu). "Pancer pangawinan" merupakan barisan pengawinan yang berarti pasukan khusus kerajaan Sunda yang bersenjatakan tombak. Kepercayaan terhadap asal-usul keturunan itu, diwujudkan dalam bentuk adat kebiasaan pada setiap acara adat. Pada acara tersebut dilakukan “helaran” (arak-arakan keliling kampong) dengan menempatkan barisan pembawa tombak. Acara “helaran” dilaksanakan dengan maksud untuk mengusir roh jahat yang mungkin akan mengganggu pelaksanaan upacara. Kebiasaan melibatkan barisan pembawa tombak dalam berbagai acara adat merupakan bentuk pengakuan masyarakat Kasepuhan terhadap asal-usul keturunannya, mereka merasa yakin sebagai keturunan “Pancer Pangawinan” (Purba, 2003: 759).
Di samping itu, Fournawaty menjelaskan bahwa “pangawinan” oleh masyarakat Kasepuhan diartikan pula sebagai "kawin’ yang tidak saja memiliki arti mempertemukan antara dua jenis berbeda, melainkan juga mengawinkan atau mempersatukan dunia nyata dengan dunia gaib, mempersatukan Dewi Sri (Dewi Padi) dengan tanah, mempersatukan langit dengan bumi. Keyakinan tersebut, dipertegas lagi dengan penghayatan terhadap "wangsit" sebagai suatu doktrin yang dianut yang berbunyi; "Sing saha nu bisa ngawinkeun langi tjeung bumi, manusa jeung kamanusaanana eta nu disebut pancer pangawinan" artinya Barangsiapa yang mampu mengawinkan bumi dengan langit. manuia dengan kemanusiaannya itulah namanya “pancer pangawinan” (Purba, 2003: 759-760).
Dalam upaya melaksanakan "wangsit" tersebut, masyarakat Kasepuhan mengembangkan suatu ajaran dasar pembinaan roh yang disebut “ngaji diri” yang dapat diartikan sebagai mawas diri atau memahami diri sendiri. Mawas diri dilakukan sebagai upaya melawan sifat buruk dalam diri manusia agar manusia terhindar dari jalan yang bertentangan dengan ketentuan para leluhur. Pelaksanaan mawas diri diperlihatkan dalam bentuk upacara ritual berupa semedi atau “nyepi”, yaitu pelaksanaan upacara untuk mencapai ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan sosial di dunia serta sebagai bekal kehidupan di akhirat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kepercayaan tersebut, menurut pandangan masyarakat Kasepuhan, manusia diharuskan berucap dan berbuat baik tidak bertentangan satu sama lain. Perilaku tersebut tercermin dalam setiap aktivitas yang selalu didahului dengan ucapan berupa “doa amit”. Misalnya ketika mereka akan membuka ladang atau menanam padi di sawah, para pemimpin adat bersama pembantunya melakukan ziarah ke kuburan leluhurnya. Di hadapan pusara para leluhur, pemimpin adat mengucapkan doa (doa amit). Makna yang terkandung dari doa yang diucapkan adalah agar setiap orang di kalangan warga Kasepuhan memahami tugas dan tanggung jawabnya sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman, tertib, dan harmonis sesuai dengan pandangan hidup yang mereka anut.
Masyarakat adat Kasepuhan Pancer Pangawinan menganut faham bahwa hasil sumber daya alam adalah pemberian dari Yang Maha Agung untuk umat manusia yang membutuhkan. Bila ada kelebihan, maka harus dikembali kepada Yang Maha Agung melalui upacara-upacara selamatan dan syukuran yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Faham tersebut merupakan bentuk pemahaman masyarakat kasepuhan terhadap lingkungan hidupnya. Masyarakat Kasepuhan hidup di pemukiman sekitar hutan lindung yang merupakan rangkaian Taman Nasional Gunung Halimun. Di dalamnya terdapat beraneka ragam tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Tetapi ada peraturan larangan (sesuai dengan peraturan Perum Perhutani) bahwa mereka tidak boleh sembarangan menebang pohon atau mengambil hasil hutan yang masih hidup, cukup mengambil pohon yang tumbang atau yang sudah mati. Menurut masyarakat Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Leuweung kolot atau leuweung geledegan, yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
Leuweung titipan atau hutan keramat. Hutan keramat adalah hutan yang tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari para leluhur yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat terdapat di kawasan Gunung Ciawitali dan Gunung Girang Cibareno.
Leuweung Sampalan atau leuweung bukaan., yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga kasepuhan. Pada lahan hutan ini, warga diperbolehkan membuka ladang, kebun, sawah, mengembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Hutan bukaan ini merupakan lahan bukaan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas lahan ladang ataupun sawah yang sudah dipanen kemudian di tanami dengan tanaman musiman dan pohon-pohon lainnya sehingga membentuk hutan buatan disebut “talon”.

Selain pada kelompok masyarakat Kasepuhan, masyarakat Kampung Kuta pun mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi "kuta" atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahutu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari. Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat. (Kusumah dalam Purba, 2003: 766-767).
Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka.
Di tatar Sunda konsep hutan larangan dikenal pula oleh kelompok masyarakat adat Kampung Dukuh. Kampung Dukuh termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Garut bagian Selatan. Menurut Indrawati (Purba, 2003: 774) asal-usul masyarakat Kampung Dukuh berhubungan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat warga Kampung Dukuh merupakan orang-orang yang melarikan diri karena tidak mau takluk pada Kerajaan Mataram. Versi cerita lainnya menyebutkan bahwa mereka adalah pelarian tentara Banten yang berada di sekitar Garut, tetapi tidak mau menjadi jajahan Kerajaan Mataram.
Sistem kepercayaan dan pengetahuan masyarakat Kampung Dukuh berkaitan erat dengan lingkungan, berpengaruh kuat terhadap mata pencaharian hidup mereka. Kepercayaan atau keyakinan itu diwujudkan dalam praktek-praktek larangan dan anjuran yang berpusat pada “pakuncen”, yaitu orang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan mengenai adat-istiadat dan tata karma dalam upacara serta segala bentuk peraturan yang berlaku. Kedudukan sebagai “pakuncen” diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak harus dalam satu garis lurus (dari ayah ke anak laki-lakinya). Bila tidak memiliki anak laki-laki, kedudukan sebagai “pakuncen” boleh dijabat oleh saudara laki-lakinya atau anak laki-laki dari saudara laki-lakinya itu.
Sebagai masyarakat agraris yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam, penduduk Kampung Dukuh masih menjalankan pertanian secara tradisional dan sangat akrab dengan lingkungan hidupnya. Tanah dan air bukan hanya dijadikan sebagai sumber kehidupan, melainkan juga dianggap sebagai sesuatu yang suci yang perlu dihormati. Bahkan beberapa unsur alam dianggap tabu untuk diganggu. Pemanfaatan sumber daya alam dibatasi dengan diberlakukannya beberapa tabu dan larangan, yang disebut dengan “larangan sasih”, Masyarakat kampung Dukuh dilarang memasuki kawasan atau wilayah hutan keramat, apalagi mengambil sesuatu dari dalamnya.

2.2 Sistem Kepercayaan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Masyarakat yang hidup di sekitar hutan larangan memiliki sistem kepercayaan terhadap makhluk halus. Peran makhluk halus dipercaya sebagai penunggu, penjaga, pemelihara, pengendali dan penguasa sumber daya alam. Karena itu pemanfaatan sumber daya alam sangat diupayakan agar tidak mengganggu kehidupan makhluk halus tersebut. Adanya kepercayaan tersebut dapat mengekalkan konsep pelestarian lingkungan hidup. Sistem kepercayaan yang berlaku di suatu kelompok masyarakat memiliki peran yang kuat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
Selain menganut sistem kepercayaan yang kuat, masyarakat yang hidup di sekitar hutan larangan memiliki pula kearifan tradisional berupa sistem etika lingkungan. Melalui etika lingkungan masyarakat mengetahui tempat-tempat yang dianggap sakral dan profan, hal-hal yang dianggap tabu dan ideal dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam. Untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan roh-roh halus, masyarakat memanfaatkan tempat-tempat yang dianggap sakral dan profan, memanfaatkan sumber daya alam yang tidak tabu dan sekaligus menghormati sumber daya alam yang dianggap tabu serta menghormati tempat-tempat yang dianggap keramat. Masyarakat meyakini bahwa semua jenis sumber daya alam seperti tanah, hutan, flora, fauna dan unsur-unsur alam lainnya, diyakini dan dikendalikan oleh roh-roh gaib tertentu. Karena itu, penggarap lahan tempat untuk berladang dalam melakukan kegiatan memilih lokasi, menebas dan menebang pohon, membakar, merawat tanaman hingga panen selalu berpedoman pada aturan-aturan yang mempunyai kearifan ekologis.
Masyarakat Talang Mamak Riau mempercayai berbagai roh yang menempati hutan-hutan dan tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker, Selain itu, mereka pun percaya terhadap roh nenek moyang yang dapat membantu dalam berbagai kesulitan, pengobatan, menangkal marabahaya yang dilakukan dengan upacara ritual yang dipimpin oleh dukun. Sebaliknya, roh tersebut dapat mendatangkan malapetaka kepada orang yang berbuat salah atau melanggar pantangan pada tempat-tempat keramat. Konsep hutan larangan yang dipercayai masyarakat memiliki hubungan kuat dengan kehadiran makhluk gaib telah lama dikenal pula oleh masyarakat Dayak. Kelangsungan hutan larangan didukung oleh kuatnya mitos tentang kawasan tersebut, serta keyakinan akan adanya makhluk halus penghuni hutan larangan yang memiliki kekuatan gaib serta dapat mengawasi tindakan manusia. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak hutan larangan dihuni oleh makhluk halus yang ganas dan agar tidak mengganggu kadang kala diberikan sesajian. Roh nenek moyang penghuni hutan larangan sengaja membuat takut manusia agar tidak sembarang menebang pohon. Bila ada yang melanggar pantangan, maka orang tersebut akan menderita sakit sampai meninggal.
Masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat pun memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan keyakinan terhadap makhluk gaib. Masyarakat Kampung Kuta meyakini di dalam hutan keramat tinggal makhluk-makhluk gaib yang menguasai serta mengendalikan seluruh wilayah kampung Kuta. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa makhluk-makhluk gaib itulah yang menetapkan aturan-aturan yang berupa tabu-tabu yang secara turun-temurun ditaati oleh semua orang termasuk Kuncen. Ketaatan terhadap tabu yang berlaku tersebut, didasarkan oleh rasa takut akan akibat yang harus ditanggung, jika melanggarnya. Di samping itu, pada masyarakat Kampung Dukuh berlaku pula larangan berkata kotor “sompra” dan berperilaku kasar ketika memasuki hutan keramat. Larangan yang berlaku pada masyarakat Kampung Kuta yang ditopang oleh sistem kepercayaan dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hutan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tabu atau “pamali” yang berlaku pada masyarakat Kampung Kuta secara tidak langsung mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Dukuh di Jawa Barat yang berhubungan dengan lingkungan dan keberadaan makhluk gaib diwujudkan dalam praktek-praktek larangan dan anjuran yang berpusat pada “pakuncen”. Masyarakat Kampung Dukuh percaya akan adanya roh-roh di sekeliling mereka, yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghancurkan atau sebaliknya membantu mereka. Roh-roh halus diyakini menempati pohon besar, mata air, ladang, sawah, dan hutan yang terdapat di sekitar permukiman penduduk. Dengan adanya sistem kepercayaan itu mengharuskan masyarakat setempat menjaga lingkungan hidup mereka. Pohon-pohon besar tempat bersemayam roh-roh tidak pernah diganggu. Mengganggu pohon-pohon besar sama saja membangkitkan kemarahan roh-roh yang dapat mendatangkan musibah. Oleh karena itu pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh, sehingga dapat tetap lestari. Sesungguhnya keberadaan pohon-pohon besar sangat penting bagi kehidupan dan keselamatan masyarakat Kampung Dukuh, mengingat wilayah permukiman mereka berbukit-bukit yang rawan tanah longsor. Bila saja sistem kepercayaan itu tidak dimiliki penduduk, sudah sejak lama wilayah itu tertimbun tanah. Oleh karenanya penduduk selalu menjaga pohon-pohon besar untuk menahan tanah agar tidak longsor.
Demikian pula halnya dengan mata air, sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kampung Dukuh. Untuk itu mata air dijaga keberadaannya agar tidak rusak atau hilang. Masyarakat Kampung Dukuh menyadari, kalau mata air tidak dijaga dengan baik akibatnya akan terjadi kekeringan. Setiap saat “pakuncen” selalu mengingatkan warga akan kemarahan roh-roh halus bila ada yang merusak lingkungan.
Berlakuknya sistem kepercayaan pada beberapa suku bangsa di Nusantara dapat mengingat perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Mac Kinnon (1990) dan Wilson (1991) mengungkapkan bahwa peranan kepercayaan lokal terutama yang berkaitan dengan dengan keberadaan makhluk-makhluk halus, sangat efektif bagi pelestarian lingkungan (sumber daya alam). Bahkan menurut Gray (1993) bagi masyarakat setempat atau penduduk asli, pengetahuan tentang lingkungan tergantung pada kontak dengan dunia roh halus yang memainkan peran penting dalam menjamin kelangsungan produksi madsyarakat, kebudayaan dan lingkungan.

III. SIMPULAN
Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat yang bermukim di sekitar hutan larangan melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan berpedoman pada aturan yang berlaku, yang bersumber pada kearifan lokal.
Melalaui pemahaman tentang konsep hutan larangan dapat ditemukan keuntungan dalam pengelolaan hutan. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana besar dan mengerahkan sejumlah jagawana. Namun, cukup memfasilitasi masyarakat lokal agar masyarakat dapat melakukan pengaturan sendiri. Dengan konsep hutan larangan, masyarakat akan ikut berperan dalam pengelolaan hutan, serta bertanggungjawab untuk melestarikannya.
Sistem kepercayaan dapat dijadikan sebagai pengikat perilaku dalam pengelolaan lingkungan. Sistem kepercayaan secara tidak langsung mengatur hubungan manusia dengan alam. Sistem kepercayaan yang berkembang secara turun-temurun menjadi penting artinya bagi pelestarian alam. Alam bagi manusia di samping bermakna simbolik juga bernilai sakral dan profan.
Untuk mengekalkan sistem kepercayaan peran pemuka adat sangat diperlukan, Pemuka adat di samping sebagai pemangku adat yang dipercaya masyarakat, juga sebagai mediator dengan para leluhur yang diyakini sebagai pemelihara dan pengendalikan lingkungan. dan dipelihara.


* Disampaikan pada Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia (SKIM-X) di UKM
* *Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad

Tidak ada komentar: