Kamis, 04 September 2008

MUSIKALISASI PUISI
DALAM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(KTSP)

Oleh: Taufik Ampera
I. Pengantar

Karya sastra merupakan fakta historis yang berisi pemikiran dan pergulatan batin pengarang terhadap masalah-masalah kehidupan. Sebagai fakta historis sastra berisi nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran dan kehalusan budi, membangun dan mengembangkan emosi, moralitas dan nilai agama. Karena itu, pengajaran sastra memiliki peranan penting dalam pembangunan kultur bangsa. Melalui berbagai konstruk pemikiran dan ancangan pendekatan, pengajaran sastra dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan mental spritual dan membangun kepribadian bangsa.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh melalui pengajaran sastra. Melalui pengajaran sastra siswa akan memperoleh berbagai macam keuntungan, baik yang menyangkut pengetahuan maupun yang menyangkut keterampilan (berbahasa) dan berbagai kapasitas psikologis yang dibutuhkan oleh manusia atau individu yang sedang berkembang (Moody, 1971). Oleh karena itu, sudah selayaknya bahkan sudah seharusnya pengajaran sastra memperoleh perhatian yang memadai, baik mengenai kedudukannya di samping pengajaran bidang-bidang studi sastra lainnya maupun mengenai metode dan strategi mengajarkannya.
Pengajaran sastra yang memadai setidaknya mencakup dua hal, yakni memberikan pengetahuan dan menanamkan apresiasi. Pengetahuan meliputi informasi dan konsep, di dalamnya tercakup teori sastra dan sejarah sastra. Apresiasi berhubungan dengan sikap dan nilai, di dalamnya tercakup masalah penerimaan, pemberian tanggapan, serta pemberian nilai. Melalui dua hal tersebut, pengajaran sastra mengarah pada peningkatan kapasitas pikiran atau intelek dan peningkatan kapasitas perasaan atau emosi. Pada pelaksanaan pengajaran sastra, siswa atau subjek didik diberi kesempatan dan didorong untuk menghayati karya sastra. Di samping itu, siswa atau subjek didik dibimbing agar dapat memberikan tanggapan atas karya sastra bahkan dibimbing agar siswa mampu menghasilkan cipta sastra dan melakukan kolaborasi sastra. Hal itu dapat dicapai melalui sastra. Apresiasi dalam pengajaran sastra bukanlah hanya memberikan penghargaan atau penilaian terhadap karya sastra, tetapi lebih dari itu. Wardani (1981: 1-2) mengemukakan proses apresiasi sebagai berikut:
  1. Tingkatan menggemari, pada tingkatan ini apresiasi sastra ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku serta keinginan membacanya.
  2. Tingkatan menikmati, yaitu mulai dapat menikmati cipta sastra karena mulai tumbuhnya pengertian.
  3. Tingkatan mereaksi,yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati, misalnya dengan menulis sebuah resensi atau berdebat dalam diskusi sastra. Ke dalam tingkatan ini juga termasuk keinginan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra.
  4. Tingkatan Produktif, yaitu mulai ikut menghasilkan cipta sastra.


Apresiasi sastra dalam pengajaran sastra dapat dilakukan melalui kegiatan musikalisasi puisi. Musikalisasi mengandung pengertian; “hal menjadikan bersifat musik” (KBBI. 1996: 676). Melalui kegiatan musikalisasi puisi, siswa atau subjek didik sesungguhnya telah memperlihatkan sikap positif terhadap puisi sebagai karya sastra. Sikap positif adalah kecenderungan jiwa yang terbuka dan menerima terhadap sesuatu, termasuk melakukan improvisasi dan kreasi cipta sastra ke dalam bentuk cipta lainnya. Bila seorang siswa memiliki sikap positif seperti itu, maka hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Disadari atau tidak, seorang siswa yang memiliki sikap positif terhadap puisi mengetahui atau mengharapkan, bahwa puisi itu akan memberikan kebaikan atau manfaat bagi dirinya. Pemahaman itu sejalan dengan pandangan seorang pemikir Romawi, Horatius yang mengemukakan istilah dulce et utile, artinya sastra (termasuk puisi) mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk.
Kegunaan sastra dalam kehidupan sehari-hari, dapat dicermati pada penggunaan puisi sebagai alat untuk menyatakan perasaan (cinta, marah, atau benci). Dalam hal ini, sastra dapat berfungsi sebagai media komunikasi, yang melibatkan tiga komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai pesan itu sendiri, dan penerima pesan, yakni pembaca karya sastra maupun pembaca yang tersirat dalam teks atau yang dibayangkan oleh pengarangnya.


II. Musikalisasi Puisi sebagai Metode Pengajaran Sastra dalam KTSP
Pada awal pembahasan ini, perlu dikemukakan bahwa sesungguhnya kehidupan sehari-hari kaya dengan ekspresi puitis yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Artinya, bahwa kehidupan manusia sehari-hari sudah tidak lagi dapat dilepaskan dari kesusastraan, meskipun kegiatan “bersastra” tersebut dilakukan tanpa sadar. Sesungguhnya puisi bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia. Ungkapkan Situmorang (1983:11) mensugestikan bahwa ada beberapa alasan, mengapa orang mebaca puisi. Antara lain karena puisi dapat menggugah kita lebih dalam, puisi menggoncang imajinasi, mendorong pikiran, menggerakkan hati, untuk kesenangan dan hiburan. Puisi juga mengungkapkan pengalaman penyair, mengekspresikan semangat kemanusiaan, menyebabkan orang sadar diri dan sadar dunia, sehingga manusia lebih lengkap menjadi manusia.
Pradopo (1993: 13) menyatakan, bahwa puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya Dalam mencapai kepuitisan itu penyair mempergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970 dalam Pradopo, 1993: 13). Kepuitisan pada sebuah puisi tidak hanya untuk memenuhi puisi itu sendiri, melainkan dapat pula memberikan pemaknaan pada bentuk cipta lainnya. Dalam kaitannya dengan pengembangan sastra dan produksi bentuk cipta lainnya puisi dapat berperan:
Sebagai dasar penciptaan
Penghayatan yang telah mengendap terhadap puisi dapat menjadi dasar penciptaan baru. Tradisi yang telah berlangsung mengenai bentuk, isi dan gaya, dengan penafsiran dan kreativitas, dapat dijadikan dasar penciptaan seni lainnya, misalnya musikalisasi puisi.
Sebagai media komunikasi antarseni
Puisi bukan saja dapat dijadikan sebagai dasar penciptaan, akan tetapi juga untuk kepentingan komunikasi antarseni. Puisi akan menjadi jembatan penghubung antara seni sastra dengan seni lainnya, seperti seni musik, seni peran, dan seni vokal. Karena masyarakat telah mengenal puisi, maka ciptaan yang berdasarkan puisi akan mudah diterima dan dihayati, walaupun di dalamnya terdapat unsur dan susunan baru.
Sebagai bahan apresiasi
Dengan pembacaan puisi terjadi pergaulan antara masyarakat (pembaca sastra) dengan sastranya. Melalui pergaulan semacam itu tumbuhlah kesanggupan mengapresiasi sastra. Puisi membimbing masyarakat pembaca ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik yang terkandung dalam puisi (Ampera, 2006).

Kedudukan teks puisi itu sendiri dalam kaitannya dengan pengembangan sastra dan jalinan dengan cipta seni lainnya, yakni:

  1. Teks puisi sebagai teks yang utuh. Teks puisi sebagai teks yang utuh adalah cipta satra yang memiliki penyajian ciri tipografi tertentu, berbait dan berlarik yang membedakan dengan teks-teks sastra lainnya. Teks puisi sebagai teks yang utuh merupakan keindah yang menjelma dalam kata-kata. Manakala kita akan merebut makna yang melekat pada puisi, maka kita akan sampai pada kesadaran bahwa puisi memiliki unsur-unsur estetik tersendiri.
  2. Teks puisi sebagai syair lagu
    Larik-larik puisi tidak hanya otonom menjadi teks sastra, melainkan dapat direkontruksi menjadi syair lagu yang dapat melahirkan pengalaman baru yang bersifat estetis bagi para penikmatnya.
  3. Teks puisi sebagai teks monolog dan teks dialog
    Teks puisi sebagai teks sastra bukan merupakan teks yang statis, melainkan dapat menjadi teks yang dinamis. Masuknya seni peran pada tradisi pembacaan puisi akan mengukuhkan sebuah teks puisi menjadi teks monolog atau teks dialog. Rekontruksi itu mengukuhkan dramatisasi puisi. Teks puisi akan menjadi penting dalam transformasi sastra.


Dengan menempatkan teks puisi pada peran dan kedudukannya dalam pembelajaran sastra melalui kegiatan musikalisasi puisi, maka siswa atau subjek didik akan memperoleh pengalaman estetis. Dalam kaitan itu, Aftarudin (1986: 20) menegaskan bahwa ‘peristiwa besar’ menikmati puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens atau secara mendalam. Pengajaran tidak sekedar membaca huruf-huruf, namun menempatkan diri sebagai pencipta sehingga antara kita dengan penyair seakan-akan tak ada jarak. Hal tersebut menghendaki musikalisasi puisi sebagai kegiatan pembelajaran sastra sungguh-sungguh melibatkan jiwa. Dengan demikian, pengajaran puisi akan melibatkan subjek didik agar memperoleh penyegaran jiwa.
Menurut Appleman (1974: 69), kegagalan apresiasi sastra dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, sebagian besar pengajar melakukan dua prinsip kesalahan utama, yakni:

  1. Pengajar mengajar memulai dengan puisi-puisi yang panjang (the long poem). Prinsip tersebut dapat dipahami, lebih-lebih bila hal itu diterapkan pada subjek didik yang masih asing terhadap puisi.
  2. Tidak menerapkan pendekatan emosional. Emosi termasuk darah yang dapat menghidupkan puisi, karenanya menikmati puisi juga harus melibatkan perasaan.

Pengajar sastra adalah figur yang ikut menentukan keberhasilan pengajaran. Seorang pengajar harus dapat memegang kendali pengajaran menjadi semakin efektif dan efisien. Oleh karena itu seorang pengajar harus berupaya menerapkan kiat-kiat baru dalam pengajaran puisi sebagai karya sastra. Hal yang perlu diingat adalah setiap pengajar harus selalu memfokuskan subjek didik sebagai pusat garap.

Dalam kaitannya untuk menarik perhatian subjek didik ke dalam puisi, musikalisasi merupakan salah satu pilihan pengajaran puisi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Musikalisasi puisi termasuk ke dalam jenis pembacaan kolaboratif. Pembacaan puisi model ini lebih rumit dan memerlukan penggarapan yang matang. Model ini membutuhkan perpaduan yang harmonis dengan cipta seni yang lain, seperti seni musik, seni vokal, dan seni peran. Pada pembacaan kolaboratif, pembaca puisi sudah ke arah pertunjukan (performing art). Pembacaan model kolaboratif pada umumnya dilakukan untuk pembacaan yang bersifat hiburan, tetapi tidak menutup kemungkinan sebagai salah satu model sajian pengajaran. Pembacaan puisi kolaboratif membutuhkan ‘penata laku’ atau sutradara, yang akan memberikan warna pemenatasan. Pembacaan puisi kolaboratif menuntut ‘wajah’ puisi yang bervariasi, seperti ada monolog, dialog, ada unsur dramatis, ada sinyal ke arah gending, tembang, sulukan, wangsalan, parikan, lelagon dolanan. Puisi yang dipilih adalah puisi’panggung’ atau ‘auditorium’, yaitu puisi oral yang layak dipanggungkan (Endraswara, 2005: 147-148).
Puisi yang dipilih pada pembacaan puisi kolaboratif harus merupakan puisi yang sesuai dengan tingkat pendidikan. Hal itu bisa jadi tidak disadari, sehingga puisi yang dijadikan bahan pertunjukan adalah puisi yang tidak sesuai dengan usia subjek didik. Tidak sedikit yang belum menghayati bahwa dalam dunia sastra dikenal adanya ‘wilayah’ sastra; sastra anak, sastra remaja, dan sastra dewasa. Kurangnya pemahaman tersebut mengakibatkan kekeliruan dalam menentukan puisi yang akan dijadikan sebagai bahan ajar. Bandingkan dan hayati puisi berikut ini:

(1) SAKIT

Karya: Karsono H. Saputra

ibu guru, maafkan aku
pe-er belum selesai kukerjakan
dan sekarang tak bisa mengikuti pelajaran

kemarin dokter bilang
aku harus minum obat
dan hari ini harus istirahat


(2) JENDELA DI SEBERANG JALAN


Karya : Nening Shofiah Khasbullah


waktu aku berdiri di jendala, memandang ke seberang
kasihku, kejap matamu meruntuhkan sawan di kamarku
meruntuhkan daun pintu dan aku terkurung dalam cintamu
jendelamu yang muram, ingin sekali kubersihkan



(3) LAGU SIUL

Karya : Chairil Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sunpahi Eros
Aku merangkai dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka


Tiga judul puisi tersebut di atas, merupakan puisi-puisi yang memiliki karakteristik berbeda. Pada puisi (1) aspek bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut sangat sederhana dan mudah dimengerti karena puisi tersebut merupakan puisi anak-anak, bahasa puisi harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan bahasa anak. Demikian pula aspek lainnya akan berbeda dengan dua puisi tersebut di atas. Pada puisi tersebut, pengarang telah berhasil menggambarkan dunia anak lewat kata-kata. Hal seperti itu yang ditekankan dalam cipta sastra anak. Sastra anak, pada dasarnya merupakan “wajah sastra” yang fokus utamanya demi perkembangan anak. Di dalamnya, mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak (Endraswara, 205: 207).
Sastra anak termasuk di dalamnya puisi anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran orang dewasa tidak masuk akal pada sastra anak bisa saja terjadi. Pendek kata sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan, sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri bagi pembacanya. Huck dkk. (1987: 6) menekankan bahwa: buku anak, sastra anak, adalah buku yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan. Pandangan tersebut diperkuat Winch dan Saxby 1991:19) yang mengatakan bahwa buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Hal itu sudah merupakan isu fundamental dalam sastra anak, demikian pula pada puisi anak. Hal tersebut dapat merupakan “modal dasar” bagi anak untuk masuk ke dalam wilayah sastranya karena dalam sastra menawarkan imajinasi yang kaya. Lewat sastra anak berkesempatan untuk berfantasi mengarungi dunianya. Biarkan dan beri kesempatan anak-anak itu berkembang dan mengembangkan fantasinya (Winch dan Saxby 1991)
Pada puisi ke (2) dunia yang digambarkan adalah dunia remaja, puisi itu bercerita tentang kisah kasih remaja. Lambang-lambang yang terdapat pada puisi tersebut mencerminkan suasana hati remaja. Puisi itu pun telah berhasil menggambarkan dunia remaja. Dunia yang dibangun melalui kata-kata.
Puisi ke (3) jelas berbeda dengan dua puisi lainnya, puisi itu tidak sesederhana puisi anak dan puisi remaja. Meskipun bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut merupakan bahasa sehari-hari yang dapat memberi efek gaya yang realistis yang tidak menanggalkan efek romantis, namun pada puisi tersebut untuk memberikan efek puitis, penyair mempergunakan perbandingan Ahasveros dan Eros, nama-nama dari mite Yahudi dan Yunani: petualang dan dewi cinta. Penggunaan perbandingan tersebut bagi pembaca seusia anak akan menjadi kendala dalam pemaknaannya karena anak-anak belum memahami mite yang menjadi dasar penciptaan puisi tersebut.
Pada akhirnya, ketika kita memilih puisi untuk bahan pengajaran sudah seharusnya puisi itu disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan agar proses pembelajaran sastra lebih bermutu. Demikian pula aspek-aspek lainnya, misalnya ketika puisi itu ditransformasikan pada musikalisasi puisi, maka unsur-unsur penunjangnya harus diperhitungkan dengan cermat dan matang agar semua perpaduan yang diracik membangun harmonisasi. Aspek lagu, musik, segi pertunjukan harus sesuai dengan “dunia” subjek didik, sehingga bentuk tanggapan yang dilakukan pembaca terhadap sastra memperlihatkan unsur etika dan estetika.


III. Penutup
Pengajaran sastra yang baik akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembangunan mental spritual manusia Indonesia. Karena itu dalam pengajaran sastra, sastra harus diajarkan sebagai karya seni. Siswa harus mengenal dan membaca sastra, bahkan siswa harus dapat memberikan tanggapan terhadap sastra sebagai karya seni dengan nyata, diantaranya melalui upaya pentransformasian puisi ke dalam musikalisasi puisi.
Mengajarkan sastra memerlukan keluasan wawasan, pengetahuan, keterampilan, apresiasi, dan kemauan keras. Hal tersebut berlaku bukan hanya pada saat menyampaikan materi, tetapi juga pada saat pemilihan materi. (Disajikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Sastra, 26 April 2008 di Purwokerto).

2 komentar:

Dewi Oktaviani mengatakan...

se bapa,,,sae pisan arikelna kaango ku sadayna nu meryogikeunna,kalebet abdi,,, haturnuhan nya bapa.

foto-fotona ge sae,, arendah pisan...
ninggalkeun kaendahan yempat anu t acan ditinceuk ku abdi.

DRS. KASDI HARYANTA mengatakan...

Bagus, nambah referensi dan pengetahuan kita. Matur nuwun.