Rabu, 16 Juni 2010

SEMINAR PENGAJARAN SASTRA

MENELUSURI KARYA YANG “TERSELIP”
DALAM PELAJARAN BAHASA SUNDA
[1]
Oleh: Taufik Ampera[2]
1. Pendahuluan

Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal merupakan masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas terselesaikan, dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal.

Tidak sedikit sastrawan dan ahli sastra menyoroti hal tersebut, seperti B. Rahmanto, Melani Budhianta, Taufik Ismail, Ahmad Samin Siregar, Atmazaki, Mursal Esten, Jakob Sumardjo, Sapardi Djoko Damono, dan Asrul Sani. Sastrawan dan para ahli tersebut mengeluhkan seputar kualitas lulusan, proses pengajaran, metode, guru, sarana, sampai ke kebijakan penyelenggaraan pengajaran. Berbagai keluhan itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengajaran sastra sehingga perlu ada upaya memperbaikinya.

Sisi lain yang sangat penting yang hingga kini terlupakan dan kurang mendapat perhatian dan sorotan adalah penempatan sastra anak dan sastra remaja sebagai genre sastra dalam pengajaran sastra di sekolah. Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkait dengan realitas pengajaran sastra saat ini, dampaknya terhadap pengajaran, serta alternatif jalan keluarnya. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Sunda pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.

2. Memaknai Karya yang “Terselip” dalam Pelajaran Bahasa Sunda

2.1 Pengajaran Sastra Sunda: Ada tetapi Tidak Terucap

Sistem pendidikan di Indonesia, belum menempatkan sastra sebagai bidang kajian yang penting dan berperan dalam perkembangan bangsa menuju masyarakat industri. Siswa lebih banyak diarahkan agar siap untuk menyambut derasnya perkembangan teknologi dan informasi, sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan utama. Sedikitnya perhatian terhadap sastra dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi adanya kecenderungan tersebut.

Kenyataan pengajaran sastra Sunda sebagai pelajaran yang dianggap tidak penting, dapat dibuktikan dalam muatan pelajaran bahasa Sunda. Sastra “terselip” dalam buku pelajaran tersebut. Pada setiap bagian pelajaran tidak secara jelas dibahas sebagai materi sastra. Sastra disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Sastra disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi. Lebih jelasnya pelajaran sastra terintegrasi pada pelajaran bahasa. Hal itu, menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah.

Ketidakpastian sastra dalam pelajaran bahasa Sunda, terbukti pula dengan tidak adanya ketegasan identitas pelajaran sastra. Buku-buku pelajaran selalu menampilkan “bahasa” sebagai label untuk menempatkannya sebagai bidang ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Berikut ini beragam judul buku yang menempatkan kerupawanan “bahasa”, yang sesungguhnya di dalamnya “terselip” sastra: Piwuruk Basa, Piwulang Basa, Penuntun Belajar Bahasa Sunda, Pelajaran Bahasa Sunda, Palajaran Basa Sunda, Banda Basa Sunda, dan Gapura Basa. Dalam setiap buku itu, sesungguhnya terdapat materi sastra dari berbagai genre sastra anak, sebut saja cerita fiksi, yaitu karangan yang ditulis secara prosa. Seperti berikut ini:

Mandi

Pukul lima Ida geus hudang. Tuluy ka kamar mandi, rék mandi. Mandina beresih, maké sabun mandi. Sanggeus ngosok huntu ku sikat gigi, tuluy Ida dianduk. Di kamarna Ida maké baju saragam nu bersih. Méméh indit ka sakola sasarap heula...(Iskandarwassid, 2006: 30).

Nonfiksi, yaitu karangan yang menunjuk pada kebenaran faktual, sejarah, atau sesuatu yang lain yang memiliki kerangka acuan pasti, seperti kutipan berikut:
Bumi Siliwangi

Bumi Siliwangi téh ngaran hiji gedong. Wangunna jangkung, éndah, agréng, tur sigrong. Éta gedong téh pernahna di kaléreun Kota Bandung.

Baheulana éta téh gedong anu Tuan Isola. Nu matak katelahna Gedong Isola. Dina jaman perang kamerdékaan, kungsi dipaké markas pajuang. Nya ti harita robah ngaran jadi Gedong Bumi Siliwangi...(
Sumarsono, 2003: 42).

Genre puisi anak terdapat pula sebagai materi pelajaran bahasa Sunda. Puisi hadir dengan bahasa singkat dan padat, dengan larik-larik pendek yang mungkin membentuk bait-bait, seperti berikut:

Cipalebuh

Cipalebuh barétona,
ngagulidag cainéa,
ngagenyas hérangna,
arula-arileu ti girangna,
mapay lembur mapay désa,
ngamuara di Punaga.

Waktu caah waktu saat,
angger waé mikasobat,
dipibutuh ku rahayat.


...............................

(Rusyana. 2006: 32).

Di samping materi tersebut di atas, pada buku pelajaran bahasa Sunda terdapat pula sastra tradisional. Sastra tradisional adalah sastra rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Dilihat dari segi bentuknya, sastra tradisional dapat dibedakan ke dalam fiksi dan puisi. Fiksi yang termasuk ke dalam sastra tradisional dalam buku pelajaran basa Sunda, diantaranya; Sakadang Peucang Keuna Ku Leugeut (Sumarsono, 2004a: 21-22), Sireum jeung Gajah (Sumarsono, dkk. 2005: 39-42), Sasakala Uncal Tandukan (Sumarsono, 2003: 26-27) Budak Pahatu (Sumarsono, 2003: 38-40), Pangeran Tambakbaya (Sumarsono, 2004b: 27-28), Si Kabayan jeung Mitohana (Sumarsono, 2004b: 36-38), Sasakala Selat Sunda jeung Gunung Rakata (Sumarsono, 2004b: 45-47), dan Balap Melak Cau (Rusyana, 2007: 43-44). Di samping fiksi tradisional, dalam pelajaran bahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar, terdapat pula genre puisi tradisional seperti kakawihan barudak ‘nyanyian anak-anak’, pupujian, dan pupuh.

Mencermati uraian tersebut, sebenarnya pelajaran sastra Sunda di sekolah itu ada, tetapi bukan merupakan pelajaran yang khusus, melainkan terintegrasi dalam pelajaran bahasa Sunda. Bukan sesuatu yang mengherankan bila di sekolah dasar tidak dikenal adanya sastra anak atau dalam istilah bahasa Sunda sastra bacaan barudak. Di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, tidak mengherankan jika tidak dikenal sastra remaja.

Sebaliknya negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, Jepang, Australia, dan Canada telah lama berlomba-lomba untuk mengembangkan sastra sebagai bidang kajian di berbagai jenjang pendidikan. Negara-negara maju tersebut menempatkan sastra anak dan sastra remaja sebagai teks yang harus dipelajari dan dikaji secara khusus. Sastra anak dan remaja sudah merupakan disiplin ilmu yang mapan dan banyak diminati. Para pakar dan profesor giat mengembangkan keilmuannya, para sastrawan setia melahirkan karya-karyanya, kritikus sangat bertanggung jawab mendewasakan karya yang telah dihasilkan para sastrawan, serta pembaca sastra mampu memberikan sambutan yang mengesankan. Buku-buku dan jurnal-jurnal tentang perkembangan ilmu sastra anak dan remaja berkembang dengan pesat. Perpustakaan dan galeri buku memantapkan sastra anak dan sastra remaja sebagai disiplin ilmu yang bergengsi.

2.2 Diskriminasi Sastra Anak dan Remaja dalam Pelajaran Basa Sunda

Erat terkait dengan permasalahan di atas, sastra anak berbahasa Sunda dalam diskriminasi. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman berbagai kalangan mengenai adanya genre sastra anak dan sastra remaja. Perlu dijelaskan di sini bahwa, setiap pembaca berhak atas bacaannya masing-masing, anak memiliki dunia sastra yang sesuai dengan alam kehidupannya, begitu pula remaja memiliki dunia sastranya yang sesuai dengan kehidupan mereka. Pengajaran sastra yang tidak menempatkan materi sastra sesuai dengan kelompok umur pada setiap jenjang pendidikan, merupakan pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.

Diskriminasi terhadap sastra anak dan remaja disebabkan pula oleh sempitnya memaknai sastra anak dan remaja. Sastra anak dan remaja belum diperhitungkan sebagai sastra karena dianggap memiliki nilai susastra yang rendah. Hal itu, mengakibatkan sastra anak dan remaja nyaris tidak tersentuh, sepi dari perbincangan, apresiasi, kajian, dan kritik yang mendewasakan.

Pada uraian berikut, penting dikemukakan mengenai sastra anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak hidup dalam masa perkembangan yang pesat, terutama perkembangan fisik dan perkembangan mental. Untuk menunjang perkembangan fisik dan mental anak, sastra dapat dijadikan sebagai sarana penunjang, karena sastra dapat memberikan nilai-nilai tinggi bagi proses perkembangan bahasa, kognitif, personalitas, dan sosial anak-anak.

Menurut Lukens (2003: 9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran kehidupan yang ada dalam sastra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan menanggapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.

Kewajiban orang tua dan pengajar sastra untuk menentukan pilihan sastra yang sesuai dengan jiwa anak, yaitu sastra yang menempatkan anak sebagai pengamat utama dan sebagai pusat pemilik kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman dan mengembangkan fantasinya. Sastra yang dipilih pertama-tama harus mencerminkan perasaan dan pengalaman anak. Hunt (1995; 61) mengungkapkan definisi sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak. Sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak, yang secara khusus cocok dan dapat memuaskan sekelompok pembaca yang disebut anak. Dari definisi yang dikemukakan Hunt tersebut, dapat dipahami, bahwa sastra anak adalah buku-buku bacaan atau karya sastra yang sengaja ditulis sebagai bacaan anak, isinya sesuai dengan minat dan pengalaman anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosi dan intelektual anak.

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan dan semesta (Semi, 1993: 1). Sastra merupakan karya kreatif yang mengungkapkan masalah hidup. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari sudut pandang anak, dari kacamata anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan pikiran anak (Nurgiantoro, 2005: 8). Sastra anak sebagai bacaan anak harus memiliki karakter sederhana, isi dan bentuk sastra disesuaikan dengan tingkat pengalaman anak. Tingkat pengalaman dan kematangan anak, berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak belum memahami ungkapan-ungkapan yang kompleks, apalagi ungkapan yang termasuk kategori tidak lazim sebagaimana dalam bacaan dewasa.

Hubungannya dengan perbedaan antara bacaan untuk orang dewasa dengan bacaan untuk anak, Sarumpaet (1976; 23) membuat empat rumusan tentang cerita anak-anak yang diistilahkannya sebagai bacaan anak-anak, sebagai berikut:
1. Tradisional: bacaan anak-anak adalah bacaan yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng, legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis.
2. Idealistis: Bacaan anak-anak harus bersifat patut dan universal dalam arti, didasarkan pada bahan-bahan terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan karya-karya penulis terbaik masa kini.
3. Pupoler. Bacaan anak-anak adalah baacaan yang bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan anak-anak.
4. Teoritis: Bacaana anak-anak adalah bacaan yang dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota-anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisnya juga dilakukan oleh orang dewasa.
Selain mengungkapkan rumusan mengenai bacaan atau cerita anak, Sarumpaet (1976: 24) menyebutkan tiga ciri yang membedakan bacaan anak dengan bacaan orang dewasa, seperti berikut:
1. Adanya sejumlah pantangan. Artinya, karena pembacanya anak-anak dari berbagai kelompok usia, maka hanya hal-hal tertentu dapat dikisahkan pada anak-anak. Unsur pantangan menurut Sarumpaet berhubungan dengan tema dan amanat cerita. Kalau yang dimaksud tema adalah gagasan, ide, atau persoalan yang diungkapkan dalam cerita, kita harus mempertimbangkan tema apa yang sesuai untuk anak-anak berdasarkan kelompok usia.
2. Langsung. Penyajian cerita anak cenderung beralur datar, tidak menyajikan cerita bertele-tele ataupun berbelit-belit. Hal itu dapat dirumuskan bahwa cerita anak harus dideskripsikan sesingkat mungkin dan menuju sasaran langsung, mengetengahkan aksi yang dinamis dan jelas sebab-musababnya.
3. Terapan. Cerita anak biasanya digunakan sebagai sarana pedagogi, kerapkali cerita anak digunakan untuk menggurui anak.

Pandangan Sarumpaet tersebut, senada dengan pandangan Perry Noedelman (Hillman, 1995: 3) yang menyatakan bahwa ciri sastra anak adalah bersifat didaktik, dengan pesan budaya yang melekat kuat dalam cerita-cerita yang dirancang sebagai sarana belajar anak-anak bagaimana menjadi orang dewasa. O’Sullivan (2005: 13) menegaskan bahwa dalam kesejarahannya, sastra anak sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi berikutnya.

Cristantiowati (1996:13) mengungkapkan perbedaan antara sastra orang dewasa dengan sastra anak, yaitu dalam ”kedalaman”. Hal ini berkaitan erat dengan pengalaman anak yang lebih terbatas dari pada orang dewasa, sehingga anak belum dapat memahami ide-ide rumit. Ide dalam sastra anak harus disampaikan dalam bentuk dan bahasa yang lebih sederhana.

2.2 Otonomi Pelajaran Sastra Anak dan Remaja

Belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Dengan mempelajari sastra, siswa akan memperoleh pengalaman batin yang mengesankan. Lewat penjelajahan terhadap sastra, siswa akan memahami berbagai permasalahan dan dapat pula menentukan cara mengatasi berbagai permasalahan yang di hadapinya. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Sastra memiliki kontribusi besar dalam memperkaya batin, memperhalus budi, memahami keindahan, mengembangkan kecerdasan imajinasi, mengembangkan kognisi, mengembangkan kepribadian, mengembangkan rasa sosial, memperkaya bahasa dan budaya.

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Sehingga dapat dipastikan bahwa sastra anak dan remaja menjadi makin penting ditempatkan pada ruang khusus dalam institusi pendidikan. Namun, kenyataannya kedudukan sastra dalam kurikulum pendidikan belum memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Sastra masih terbelenggu dalam pelajaraan bahasa.

Otonomi pengajaran sastra menjadi amat penting mengingat pengajaran bahasa dan pengajaran sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda. Di samping itu, berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru bahasa dapat mengajar sastra dengan baik. Guru yang memiliki kemampuan mengajarkan bahasa belum tentu mampu mengajar sastra dengan baik. Hal lain yang perlu diperhatikan, tidak semua guru bahasa memiliki minat yang kuat pada sastra.
Sebagai contoh kasus, dalam salah satu buku Pelajaran Basa Sunda untuk kelas satu sekolah dasar mencantumkan contoh pupuh maskumambang, seperti berikut.

Piwuruk

Lamun urang beunghar ku pangarti,
loba pangabisa,
peupeujeuh sing daék mikir,
sing suhud kana diajar.

Bodo taya pangabisa bakal rugi,
hirup teu sugema,
lantaran bakal kalindih,
ku jalma loba élmuna.

Baris pertama pupuh tersebut kurang memenuhi aturan pupuh yang semestinya, sehingga sulit untuk dilantunkan. Bagi guru yang tidak memiliki talenta dalam melantunkan pupuh serta tidak memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai puisi tradisional tersebut, akan menghadapi kesulitan dalam menyajikan puisi, maka dapat dipastikan bahwa apresia terhadap sasatra tersebut tidak akan memenuhi harapan.
Contoh lain, dalam buku Pelajaran Basa Sunda lainnya, tertulis satu cerita Asal-usul Lutung Hitam. Pada akhir cerita mungkin karena kesalahan penulis, atau mungkin juga kesalahan cetak terdapat kesalahan yang sangat mengganggu, seperti dapat disimak pada kutipan berikut.

Bakal ku kagét, nepi ka cét téh ragrag ngabanjur Si Lutung nu keur diuk handapeun Si

Bagi guru yang tidak memiliki imajinasi yang tinggi menghadapi wacana yang terpotong itu, akan mengalami kesulitan untuk menuntaskan cerita. Namun, sebaliknya bagi seseorang yang telah terbiasa dan berpengalaman bersastra, hal itu akan membuka ruang untuk mengembangkan keliaran imajinasinya.

Adanya pemisahan spesialisasi bidang bahasa dan sastra, memberikan peluang besar kepada guru untuk lebih meningkatkan kemampuannya. Dengan cara seperti itu, seorang guru dapat menempatkan dirinya sebagai seorang ahli yang mampu menciptakan pengajaran sastra yang kondusif.


3. Simpulan

Permasalahan pengajaran sastra Sunda di sekolah harus segera diatasi agar pengajaran sastra lebih optimal, sehingga dapat melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan bersastra. Pelajaran sastra di sekolah harus ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya dalam sistem pendidikan yang menempatkan otonomi bidang ilmu.

Materi pembelajaran sastra harus disesuaikan dengan usia siswa, karena setiap kelompok usia memiliki kebutuhan untuk bersastra sesuai dengan pengalaman hidupnya. Langkah pengakraban siswa dengan karya sastra perlu terus dilakukan agar mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra sesuai dengan dunianya.

[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Pendidikan, Penyelenggara Perkumpulan Keluarga Besar Wargi Bogor, 18 Mei 2010.
[2] Pengajar dan Peneliti Sastra Anak dan Remaja Universitas Padjadjaran

Tidak ada komentar: